Parkir Liar yang Meresahkan

Vaesnavadeva Adhyatma

2 min read

Bila digambar segitiga, ada hiriarki yang menyusun level pekerjaan dari yang paling berisiko sampai yang paling minim risiko. Gaji seorang pengebor minyak memang menggiurkan, tapi apakah sebanding dengan hidup berbulan-bulan di tengah lautan dan jauh dari keluarga. Gaji seorang direktur memang tinggi, namun harus bertanggungjawab atas operasional ribuan karyawannya. Seorang investor berisiko kehilangan 100% kekayaannya apabila perusahaan yang dia miliki bermasalah. Tentara, pemadam kebakaran, polisi punya risiko meninggal saat bertugas. Intinya, semua pekerjaan pasti memiliki risiko.

Tapi tukang parkir liar?

Saat helm hilang, di karcis sudah tertulis “Kehilangan Bukan Tanggungjawab Pengelola”. Motor hilang? Mendadak tukang parkirnya juga ikut hilang dan malah melempar tanggungjawab kepada pemilik kendaraan. Tapi masalah meniup peluit saat kendaraan sedang mundur? Huh! Sebalnya mereka jadi yang utama dan paling cepat muncul.

Pekerjaan tukang parkir liar bukannya tanpa risiko, lebih tepatnya minim risiko. Contohnya seperti babak belur karena berkelahi berebut lahan parkir dengan tukang parkir lain, atau risiko tertangkap polisi saat razia pungli di jalanan.

Tapi serius deh! Para tukang pakir liar ini adalah aktor parasit yang tidak punya kontribusi apapun kepada negara. Namanya saja ‘LIAR’, yang penyetoran uang parkirnya saja entah tersetor kemana. Uang yang harusnya bisa masuk ke kas negara dan dipakai untuk membangun infrastruktur, malah jatuh ke oknum tak bertanggungjawab yang memakai uang hasil parkir itu untuk kebutuhan pribadi mereka.

Menurut Indonesian Parking Association, estimasi perputaran parkir liar di minimarket secara nasional menembus angka 254 miliar rupiah per bulan. Dan ini adalah uang parkir ilegal yang tidak masuk ke dalam kas negara. Bayangkan apabila uang ini tersalurkan dengan baik ke dalam bentuk penerimaan negara, mungkin bisa membantu peningkatan sosial-ekonomi kepada masyarakat kita.

Tukang parkir liar adalah pekerjaan yang sangat gampang. Tidak butuh ijazah, skill, ataupun pelatihan lama untuk melakoninya. Hanya bermodalkan peluit, dan pakaian seadanya, anda sudah bisa menerima pundi-pundi rupiah. Berdasarkan Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS), pendapatan tukang parkir liar dalam sehari bisa sampai 200 ribu rupiah. Mereka kadang bekerja bergilir,untuk memberikan jatah uang kepada sesamanya.

Namun masalah parkir liar tidak berhenti di situ saja. Premanisme, pemalakan, mayoritarisme jadi problem yang mengikuti praktik liar ini. Berita tawuran antar ormas yang kerap terjadi muncul karena perebutan lahan parkir liar ini. Pemalakan, dan pengancaman terhadap pedagang-pedagang yang menolak praktik ini kerap muncul dan berakhir dengan kericuhan. Kenapa sampai sejauh itu? Ya sekali lagi : Karena parkir liar adalah lahan uang yang mudah.

Acap kali hal ini menimbulkan keresahan di masyarakat. Tidak hanya mengancam dalam segi sosial, praktik parkir liar juga memberikan dampak yang negatif kepada ekonomi. Terlebih kepada pelaku usaha UMKM dengan modal dan pertumbuhan yang terbatas. Sering kali parkir liar muncul di lahan-lahan usaha yang dimiliki oleh bisnis-bisnis kecil. Parkir liar kerap kali menghadang minat para pembeli yang hendak membeli sesuatu di toko. Perkara uang 1000 atau 2000 rupiah tentu memberatkan untuk pembeli yang hanya berniat membeli barang yang harganya tidak lebih daripada itu.

Ambil contoh kasus ini. Selesai membeli makan di sebuah warteg, Andi membayar Rp13.000 rupiah untuk nasi, sayur dan tempe. Setelah itu Andi ternyata harus membayar Rp2000 kepada seorang tukang parkir yang berjaga di depan warteg itu. Kalau dihitung-hitung hanya Rp2000 saja, tapi karena Andi pandai berhitung, Rp2000 itu adalah 15% dari harga makan yang dia bayar. Itu bahkan lebih mahal dari PPN yang hanya 11%. Itu artinya, Andi membayar lebih mahal dibandingkan pajak resmi pemerintah.

Itu belum seberapa. Lintang contohnya, yang pergi ke fotokopian terdekat untuk memfotokopi tugas kuliahnya. Setelah mencetak 3 lembar kertas, Lintang harus membayar Rp2000 untuk parkir. Sedangkan biaya fotokopiannya saja hanya Rp1500. Secara hitung-hitungan, ini sangat memberatkan.

Praktik parkir liar ini apabila terus dibiarkan akan berakibat buruk kepada sosial-ekonomi kita. Tawuran, pemerasan mungkin akan semakin sering terjadi. Dan sayangnya, mungkin pemerintah kita tidak bisa berbuat banyak untuk mengatasi praktik ini. Parkir liar kerap kali dibacking oleh ormas-ormas yang banyak kita kenal saat ini. Ormas-ormas ini banyak yang anggotanya adalah orang dari pemerintahan, saat pemerintahan sudah dimasuki oleh ormas yang memiliki kepentingan tersendiri, tentu banyak kebijakan akan sulit untuk dibenarkan.

Menghapus parkir liar seutuhnya tentu menjadi tugas yang sangat berat. Lahan uang ilegal yang begitu besar, juga setoran yang banyak kepada ormas-ormas akan sangat sulit dipisahkan. Butuh tenaga dan komitmen kuat bagi pemangku kebijakan untuk bisa menyelesaikan masalah ini. Karena apabila masalah ini tak kunjung terselesaikan, harapan Indonesia Emas yang kita idam-idamkan, sayangnya harus terkubur.

Vaesnavadeva Adhyatma

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email