Pangan, Tanah, dan Kekuasaan

Sekar Jatiningrum

4 min read

Food estate bukan hanya soal pangan, tetapi juga soal sejarah luka yang terpendam dalam tanah. Proyek besar yang dijanjikan sebagai solusi ketahanan pangan justru menorehkan luka sosial dan ekologis yang mendalam. Dari tanah gambut yang dirusak hingga hutan adat yang dibabat, setiap proyek ini menciptakan keretakan dalam hubungan manusia dengan alam dan merusak tatanan hidup yang telah terjalin lama. Tanah yang semula tempat hidup, kini menjadi objek kekuasaan yang tak lagi menghormati tradisi, hanya mengutamakan produktivitas.

Jejak Luka dalam Tanah Pangan

Food estate bukanlah gagasan segar yang tumbuh dari iklim ide kekuasaan hari ini. Ia adalah repetisi dari sejarah panjang pembangunan agraria Indonesia—sejarah yang kerap diwarnai ambisi besar, pengabaian terhadap kearifan lokal, dan jejak luka ekologis yang belum kunjung sembuh.

Kita pernah menyaksikan proyek ambisius pada era Orde Baru: Presiden Soeharto meluncurkan program Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah pada 1995, dengan mimpi menjadikannya lumbung pangan nasional.

Namun, proyek ini segera berubah menjadi bencana. Kekeliruan memahami karakter tanah gambut yang rapuh, ditambah rancangan irigasi yang gegabah, menjadikan proyek ini tidak hanya gagal, tapi juga mewariskan kerusakan ekologis lintas generasi.

Kanal-kanal yang dibuat tidak menyatu dengan denyut tanah, malah merusak keseimbangan air, mengeringkan yang lembab, dan menenggelamkan yang kering. Ekosistem pun runtuh, dan tanah penuh potensi berubah menjadi ladang kematian bagi keanekaragaman hayati.

Satu dekade kemudian, semangat serupa kembali hadir dalam wajah berbeda. Tahun 2010, proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) digagas dengan mengincar 1,2 juta hektare tanah di Papua. Tujuannya: menjadikan Merauke sentra pangan dan energi.

Baca juga:

Namun di balik angka-angka dan jargon kemajuan itu, tersembunyi kehancuran yang lebih dalam. Bagi masyarakat adat Marind Anim, hutan bukan hanya sumber pangan, tetapi juga nadi kehidupan dan ruang spiritual. Ketika hutan dirampas, yang hilang bukan sekadar sumber nafkah, tapi juga relasi mereka dengan semesta, identitas, dan tatanan sosial yang telah dirawat turun-temurun.

Di era Presiden Joko Widodo, proyek food estate kembali digalakkan dengan skala dan ambisi yang lebih besar. Prabowo Subianto—yang kala itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan kini terpilih sebagai Presiden 2024—menjadi salah satu penggerak utama ekspansi proyek ini ke berbagai wilayah.

Namun, janji kemandirian pangan dan kesejahteraan petani tak kunjung terwujud. Di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, sekitar 90 persen lahan food estate yang dibuka kini terbengkalai. Petani dipaksa menanam bawang merah dan kentang—komoditas asing yang tak selaras dengan tradisi dan kebutuhan lokal. Pembangunan yang seharusnya menjadi ruang partisipasi malah menjadi proyek top-down yang menjadikan tanah sebagai objek eksploitasi, bukan sebagai ibu bumi yang layak dihormati.

Proyek-proyek lumbung pangan terus mengulang pola yang sama: mengabaikan ekologi, menyingkirkan kearifan lokal, dan memperlakukan alam sebagai objek eksploitasi semata, bukan sebagai entitas yang setara dan perlu dihormati. Kegagalan-kegagalan ini bukan persoalan teknis atau logistik, tapi akibat dari cara pandang pembangunan yang menanggalkan kemanusiaan.

Realitas ini tak berdiri sendiri. Menurut Global Forest Review yang dirilis oleh World Resources Institute (WRI), Indonesia menyumbang sekitar 5,6 persen dari kehilangan hutan primer dunia pada 2022—sekitar 230 ribu hektare.

Pada 2023, angka itu meningkat menjadi sekitar 290 ribu hektare. Angka-angka ini bukan sekadar statistik; ia adalah penanda bahwa proyek-proyek pembangunan yang mengabaikan relasi manusia dan alam tengah membawa kita menuju krisis yang lebih dalam.

Ketika Pangan Menjadi Arena Kuasa

Pangan tak pernah hanya soal mengisi perut. Ia adalah narasi yang mengalir dalam darah manusia, kisah yang tumbuh dari tanah, dan hubungan purba antara tubuh, tanah, dan waktu. Jenis makanan yang kita konsumsi, cara kita memperolehnya, serta makna yang melekat di setiap gigitannya—semuanya mencerminkan siapa kita, dari mana kita berasal, dan bagaimana kita memahami dunia.

Pemikiran ini bergema dalam karya Sidney Mintz, Sweetness and Power (1985), yang menyelami sejarah gula bukan sebagai komoditas semata, melainkan sebagai penanda relasi kuasa yang getir. Gula, dalam narasi Mintz, menjelma menjadi alat yang mengubah orang Karibia dari penanam menjadi buruh, dari subjek budaya menjadi objek ekonomi.

Mereka yang dahulu menanam tebu untuk kehidupan sehari-hari, kini bekerja di ladang-ladang kolonial, memproduksi manis yang hanya bisa dinikmati oleh kekuasaan di seberang lautan. Dalam proses itu, mereka kehilangan kedekatan intim dengan tanaman yang tumbuh di tanah mereka sendiri. Relasi yang dahulu bersifat langsung dan penuh makna kini terpecah oleh kuasa kapital—sebuah keretakan yang, dalam ekologi Marx, dikenal sebagai metabolic rift, yakni keretakan metabolik antara manusia dan alam.

Di Indonesia, gema keretakan ini terpantul dalam kisah orang Moi yang diangkat oleh Laksmi A. Savitri dan Zuhdi Siswanto dalam Malamoi: Budaya Pangan, Tanah, dan Identitas. Orang Moi, masyarakat adat yang mendiami wilayah Sorong hingga Raja Ampat, mengalami perubahan besar sejak dibangunnya ladang minyak pada 1928 oleh pemerinta Kolonial.

Bukan hanya struktur ekonomi dan ruang hidup mereka yang bergeser, tetapi juga pola makan mereka yang semula berakar pada sagu perlahan tergantikan oleh nasi. Sebuah makanan yang datang dari luar, dari sistem pangan global yang membawa serta nilai-nilai baru—seringkali bertentangan dengan cara hidup mereka selama berabad-abad.

Perubahan ini bukan sekadar pergeseran konsumsi, melainkan pergeseran ontologis. Ketika tanah adat mulai tergeser oleh logika industri dan negara, orang Moi tak hanya kehilangan akses terhadap sumber pangannya, tetapi juga kehilangan hubungan spiritual dan sosial dengan tanah yang telah menjadi ibu bagi kehidupan mereka. Tanah yang dahulu memberi, kini ditarik dari mereka. Yang tersisa hanyalah bekas luka, dan kehampaan identitas.

Dalam kerangka pemikiran Marx (1981), kerja manusia merupakan jembatan yang menghubungkan manusia dengan alam—sebuah proses metabolisme sosial. Di masa pra-industri, siklus antara tanah, manusia, dan hasil kerja berjalan selaras: limbah kembali menyuburkan bumi, dan bumi kembali memberi hasil. Tapi semua itu terganggu ketika agribisnis mengambil alih, mengubah tanah menjadi komoditas, dan memutus siklus tersebut.

Ketika nilai kerja manusia dirampas dan disulap menjadi keuntungan bagi segelintir elite, relasi sosial dan ekologis pun tercerabut. Dalam pandangan Foster Clark dan York (2011), serta Saito (2017), inilah titik di mana alienasi merajalela: manusia terasing dari tanah, dari hasil kerja mereka, dan dari komunitas yang selama ini menopang kehidupan bersama.

Baca juga:

Makanan sejatinya adalah medium sakral yang menghubungkan manusia dengan alam, budaya, dan sesama. Tapi hari ini, proyek-proyek besar seperti food estate hadir dengan janji ketersediaan pangan, namun sering mengabaikan keberlanjutan relasi ekologis dan kultural.

Dalam nama produksi massal, hutan-hutan dibabat, tanah-tanah adat direnggut, dan masyarakat kehilangan lebih dari sekadar ruang tanam. Mereka kehilangan warisan yang tak tergantikan: ritus hidup yang tumbuh dari tanah, dari pengetahuan lokal, dari sejarah panjang hidup bersama alam.

Kisah orang Moi menjadi cermin, betapa pangan bukan hanya soal biologis, tapi juga soal kuasa, identitas, dan relasi dengan dunia. Jika pendekatan terhadap pangan terus didorong oleh logika perampasan alih-alih pemuliaan terhadap tanah dan penghormatan terhadap masyarakat adat, yang kita ciptakan bukan ketahanan, melainkan keterasingan. Bukan keberlimpahan, melainkan luka yang sunyi—tersembunyi di balik kata “pembangunan.”

Membangun Pangan, Menghancurkan Kehidupan

Food estate, sebagaimana banyak proyek pembangunan berskala besar, mencerminkan cara kekuasaan memandang tanah—bukan sebagai ruang kehidupan, melainkan sebagai alat produksi yang harus dioptimalkan. Dalam logika ini, tanah menjadi ladang yang harus digarap, bukan ruang yang dihormati; masyarakat adat menjadi data dalam peta kebijakan, bukan penjaga lanskap kehidupan.

Kisah masyarakat Moi memperlihatkan bagaimana perubahan pola pangan bukan hanya urusan perut, melainkan pergolakan yang menyentuh akar identitas, ingatan kolektif, dan relasi spiritual dengan tanah. Pergeseran dari sagu ke nasi bukan sekadar perubahan menu, melainkan perubahan makna. Dan ketika pangan kehilangan konteks budayanya, yang lahir adalah keterputusan—antara manusia dan alam, antara tradisi dan kehidupan hari ini.

Dari sini, kita dapat melihat bahwa pendekatan terhadap pangan yang semata-mata digerakkan oleh logika produksi besar-besaran berisiko mengulangi luka yang sama: meretakkan hubungan yang selama ini terjaga, menggusur bukan hanya lahan tapi juga cara hidup. Jika tanah dipahami hanya sebagai komoditas, maka setiap proyek pangan akan membawa serta ancaman penghilangan, bukan penghidupan.

Oleh karena itu, membicarakan pangan adalah membicarakan bagaimana kita ingin hidup bersama alam: apakah dengan logika akumulasi dan kontrol, atau dengan laku yang memuliakan tanah, memanusiakan masyarakat, dan merawat relasi yang selama ini menopang kehidupan.

 

 

Editor: Prihandini N 

Sekar Jatiningrum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email