Bilik pengakuan terasa panas meski ada kipas angin kecil mengarah padaku. Aku melirik arloji. Sudah lewat sepuluh menit sejak orang terakhir meninggalkan ruangan ini. Harusnya aku tak ada di sini, tak boleh ada di ruangan ini.
Tapi, gereja ini membutuhkan bantuan. Saat ini masa adven, masa menjelang natal. Pengakuan dosa dijadwalkan hari ini dan masih tersisa tiga puluh menit lagi.
Bilik pengakuan ini sebenarnya dua ruangan berbeda yang dipisah jendela kecil untuk berkomunikasi. Jika ingin melihat siapa yang ada di ruang sebelah, aku harus sedikit membungkuk. Namun toh aku nyaris tak melakukan itu. Aku hanyalah perantara bagi mereka yang mengaku dosa. Itu sebabnya aku tak pernah merasa perlu tahu siapa yang ada di bilik sebelah.
Meski kecil, kedua bilik ini menjadi tempat yang banyak menyimpan rahasia. Dosa kecil dan dosa besar.
Aku meluruskan punggung ketika seorang berkata, “Bapa, saya mau mengaku dosa.” Aku terkejut. Tanpa perlu melihat, aku mengenali pemilik suara itu.
Dia Magda, mahasiswi Fakultas Ilmu Pendidikan. Rambutnya serupa gelombang laut yang bergulung perlahan membingkai wajah ovalnya. Senyumnya manis dengan takaran yang pas bagai kembang gula di Sekaten. Sementara matanya bulat seperti bianglala, begitu besar dan kerap berbinar jika membicarakan sesuatu yang dia suka. Dia menjadi perwujudan fajar cemerlang yang kutemukan dalam Kidung Zakharia, meski sebenarnya frasa itu ditujukan untuk Sang Pemberi Hidup.
Mungkin karena aku diam saja, gadis itu berdeham lalu kembali bersuara, “Bapa, saya mau mengaku dosa.”
Suara lembut Magda membawaku kembali pada bilik sempit ini. “Kamu belum mengaku dosa, Magda?” tanyaku heran. Aku tidak menyangka gadis itu masuk ke bilik pengakuan dosa ini. Apakah dia tak tahu bahwa akulah yang ada di dalamnya? Atau dia sengaja?
“Bapa, saya telah melakukan dosa berat.” Suara Magda lirih. Namun, aku mendengarnya dengan jelas. Sangat jelas.
“Magda, anakku….” Aku nyaris menggigit lidahku karena terbersit keinginan mengganti kata anakku dengan kekasihku. Aku sedikit menurunkan bahu hingga bisa melihat jemari Magda meremas sapu tangan dan kukenali sapu tangan berwarna biru itu.
Aku masih ingat, pertama melihatnya di mata kuliah Pengantar Pendidikan yang kuampu. Ia salah satu mahasiswi cerdas yang membantu teman-temannya memahami materi yang kuberikan. Beberapa kali aku melihatnya mengerjakan tugas di teras kapel kampus. “Magda? Namamu Magda, bukan?” tanyaku setelah aku melihatnya lagi di teras kapel.
Ia menoleh dan dadaku berdebar melihat mata bulatnya. Senyumnya merekah seperti matahari menghalau mendung. “Oh, selamat siang, Romo Ari. Maaf, saya numpang di sini.”
Aku mengangguk. Lalu memberi kode padanya bahwa aku akan masuk ke dalam kapel. Saat itu lonceng kapel berdentang dan tiba waktunya berdoa Malaikat Tuhan. Magda mengangguk dan kembali tersenyum.
Kuamati Magda memang kerap berada di teras kapel di siang hari. Kadang bersama teman perempuannya, meski lebih banyak sendirian. Hingga pada suatu siang aku melihatnya duduk bersandar kuyu di depan pintu kapel. “Magda?”
Ia tergagap. Kemudian berdiri seraya menepuk-nepuk celananya. “Maaf, Romo Ari, saya….”
Aku melihat mukanya pucat. Rambutnya sedikit kusut, mungkin karena dipermainkan angin yang sedikit kencang siang itu. Ada jejak air mata dan hidungnya yang mungil itu tampak memerah. “Kamu kenapa?”
“Tidak.”
“Tidak?”
Ia menggeleng. Gadis itu kemudian menunduk mencoba menyembunyikan air mata. Kubuka pintu kapel dan kuajak gadis itu masuk. Kami duduk bersisian di bangku paling belakang. Sama-sama memandangi tabernakel dan altar. Ada lilin yang menyala di sisi tabernakel. Semburat cahaya matahari menelusup dan sinarnya jatuh tepat di tengah altar. Sempurna.
Seekor burung gereja melesat masuk. Ia berputar sebentar lalu hinggap di patung Bunda Maria yang ada di sisi kiri altar. Tak lama burung itu terbang lagi, pergi meninggalkan kapel.
Biasanya aku membawa sapu tangan. Seingatku, sapu tangan di saku celanaku masih bersih. Jadi, kuambil dan kuulurkan padanya. Magda masih terisak di sisiku. Aku ingat betul, saat itu dia bercerita sambil menangis tentang kekasihnya. Mantan kekasihnya.
Aku membiarkannya menumpahkan perasaan. Lalu kuberi dia penghiburan. Lelaki berengsek yang meninggalkan seorang gadis manis sepertinya tentu tidak pantas ditangisi, bukan? Peristiwa itulah yang membuatku terjerat padanya. Uhm, begini, maksudku aku jadi sering memikirkannya.
Makin lama, Magda makin menguasai pikiranku. Hal itu membuatku lupa tujuanku pergi ke kapel adalah berdoa bukan bertemu dengannya. Aku pun kerap alpa bahwa di kelas aku harusnya memberi materi, bukan diam-diam mengamatinya.
Kulihat sapu tangan dalam genggaman Magda kusut karena remasan jemari mungil nan halus itu. “Saya merasa sangat kotor dan hina….” Magda kembali bersuara.
“Magda, apa yang terjadi pada hari itu… aku sungguh minta maaf.”
“Bapa, apakah saya bisa kembali suci setelah melakukan pengakuan dosa? Apakah sungguh saya akan diterima sebagai anak Allah meski orangtua saya memaki dan seluruh dunia mengatakan bahwa saya adalah seorang jalang?”
“Magda, apa yang kau katakan?”
“Bapa, di dunia ini tidak ada lagi yang percaya bahwa saya tidak ingin melakukan itu. Semua orang akan tahu sayalah yang datang ke sana. Semua orang akan bilang bahwa sayalah yang jalang.”
Aku menunduk. Kupandangi jubahku yang berwarna putih seolah mewakili kesucian. Entah mengapa, jubah itu terasa seperti sebuah ejekan. Magda terisak. Aku menunggu, hanya bisa menunggunya berkata-kata. Saat kudengar gadis itu membersit hidung, aku melirik ke jendela kecil yang menghubungkan kami. Ingin rasanya aku keluar dari bilikku dan masuk ke biliknya, memeluk, dan menenangkannya.
“Saya berdosa… saya sangat berdosa.” Magda kembali terisak lalu berusaha melanjutkan kata-katanya. “Saya ingin bilang saya diperkosa karena saya sungguh tidak menginginkan hal itu. Tapi, tak akan ada yang mempercayainya.”
Ada sesuatu yang mencekik leherku, membuatku merasa akan meledak dalam beberapa waktu mendatang. Ruang pengakuan ini menjadi dingin, sangat dingin, teramat dingin. Aku menggigil.
“Saya membenci dia, dan itu dosa baru. Tapi itu tidak ada artinya buat saya. Sama saja.” Magda kembali membersihkan hidungnya. “Orang-orang tak akan pernah mempercayai apa yang saya katakan. Jika… jika saya katakan bahwa… bahwa saya tidak ingin melakukan itu. Tidak. Tak akan ada yang percaya. Sekarang, saya ingin membalas apa yang dilakukan orang itu pada saya?”
Aku terdiam. Kembali kuingat pada malam-malam rawan tatkala aku begitu merindukan Magda. Aku merasa seperti membaca Kidung Agung dan frustrasi ketika larik puitis di sana membawa imajiku pada sosoknya. Untuk beberapa saat, bilik pengakuan ini sepi. Aku bahkan tidak mendengar isak tangis tertahan Magda. Kembali sedikit kurendahkan tubuhku dan kutemukan gadis itu menunduk di balik pengakuannya. Jelas, gadis itu hancur.
“Saya adalah Magda, sang pendosa. Saya merasa kotor dan….”
“Anakku….” Ah, haruskah kupanggil dia kekasihku? Kupotong kalimatnya yang mungkin akan menjadi rangkaian panjang kalimat menyakitkan, untuknya dan untukku.
“Saya hancur… saya tidak lagi berharga. Semua orang akan memandang saya hina….”
“Apakah ada yang mengetahui ini?” BAJINGAN! Aku memaki dalam hati karena pertanyaanku itu.
Magda diam sesaat sebelum menjawab, “Bapa, maafkan saya yang berpikir bahwa sesungguhnya Engkau tidak tahu, atau tidak mau tahu. Saya bahkan terus berpikir bahwa Engkau melindungi orang itu hanya karena ia kerap memuji-Mu pada waktu-waktu tertentu.”
Rasanya ada sesuatu memukulku dan jantungku loncat dari tempatnya. “Mengapa kamu berpikir demikian?”
“Bapa, jikalau memang benar Engkau ada, jika memang benar Engkau melindungi umat-Mu yang lemah, disebut apakah yang terjadi pada saya ini? Cobaan? Hukuman? Atau… berkat?”
Aku menggeleng. Oh Magda-ku, maafkan aku. Aku tidak punya jawaban untuk pertanyaanmu itu. “Apakah kau memiliki perasaan khusus padanya?” Apa aku sudah gila? Sempat-sempatnya aku bertanya demikian. Sudah terlanjur terucap, jadi aku dengan berdebar menunggu jawaban Magda.
“Allah Bapa yang Maha Tahu, andaikan ada sedikit saja rasa cinta di hati saya, apakah itu membenarkan apa yang dia lakukan? Apakah saya pantas diperlakukan demikian? Jika pun saya mencintainya, apakah saya boleh dilecehkan?”
Aku yakin untuk sesaat jiwaku tercerabut dan mengambang di udara. Kemudian hempas jatuh berderak patah, terutama saat mendengar isak tangisnya lagi.
“Saya ingin membunuhnya. Saya ingin mencari keadilan meski tahu bahwa memang tidak akan ada keadilan di dunia untuk kasus seperti ini. Dengan demikian, hanya pada-Mu harusnya saya kembali.”
Aku terkesiap. Nada suara Magda berubah dingin. Aku merasa tengah bersandar di balok es yang besar. Lengket dan beku.
“Bapa, aku tahu soal hidup dan mati adalah kehendak-Mu. Hanya saja, jika memang apa yang terjadi padaku seluruhnya adalah kehendak-Mu, mengapa harus sehancur ini?” Suara isak tangis menutup pertanyaan penuh kepedihan yang diucapkan Magda.
Aku menghela napas. Aku harus mengakhiri ini. Magda harus tahu bahwa bukan hanya dia yang tersiksa dengan ini. “Kita kerap tak tahu apa yang menyebabkan semua hal buruk terjadi. Tapi bisa kukatakan padamu bahwa Allah itu adalah kasih. Ia mengasihi anak-anaknya dan….”
Aku merasa jijik pada diriku sendiri karena mampu berkotbah tentang cinta kasih di saat begini. Aku bahkan mengutip perikop Alkitab dan menyusunnya menjadi kata penghiburan yang klise.
Gilanya, semua kulakukan dengan membayangkan tubuh mungil Magda. Bukan. Lebih tepatnya aku seperti tengah menonton film hitam putih dengan tokoh film itu adalah aku dan Magda.
Seminggu lalu, aku meminta Magda ke ruanganku. Kami duduk bersebelahan di sofa. Kami berdiskusi tentang kegiatan camp rohani yang akan dilaksanakan awal tahun. Saat kami berbincang, aku terpukau pada bibirnya yang merah kemilau. Magda berbicara seraya tersenyum. Aku lupa hal yang kutanyakan, tapi aku masih ingat senyumnya malu-malu. Mukanya kemerahan. Jemarinya menyelipkan helai rambut yang menjuntai ke telinga kirinya. Seketika otakku pampat.
Aku lekas meraihnya. Kureguk hingga tandas rasa manis di bibirnya. Sesuatu seperti alarm berdering di otakku. Tapi, aku tak peduli.
Aku memejamkan mata berharap dengan demikian aku tidak perlu melihat film hitam putih itu. Meski rasanya aku malah merasakan sesuatu yang meledak, berhamburan tanpa pola tak seperti bintang di angkasa. Dadaku terasa nyeri. Terlalu nyeri.
“Magda, maafkan aku. Aku jauh lebih berdosa darimu….” Suaraku terdengar bergetar. Untuk beberapa saat Magda diam. Aku ingin bicara dan terus bicara supaya dia tidak mengingat peristiwa itu. Tentu saja aku tak mau dia mengingat peristiwa itu sedemikian rupa. Bukankah semua orang punya sisi yang… sangat manusiawi? Sesuatu yang mengingatkanku tentang roh penurut, tapi daging begitu lemah.
“Bapa, aku tak tahu siapa yang berdosa. Tapi, aku salah karena datang ke ruangan itu, terlepas aku tidak tahu mengapa tidak bisa menolak kejadian itu. Bapa, masih pantaskah aku menjadi anak-Mu?”
Pertanyaan Magda terasa sangat menyakitkan untukku. Sejak awal tadi, ia tidak menganggapku sebagai Ari. Bisa jadi tidak menganggapku ada. Ah, Tuhan, masih pantaskah aku menjadi pelayan-Mu? Aku menunduk.
Aku tak bisa menjumpai Magda setelah hari itu, hari ketika pengendalian diriku begitu lemah. Dia menghilang dan aku selalu malu pada jubah berwarna putih ini. Jauh di lubuk hatiku, aku ingin melepas semua janji setiaku untuk menjaga kemurnian, kesucian, dan ketaatan yang telah kuikrarkan sepuluh tahun lalu.
“Bapa, jikalau sungguh aku bisa kembali seperti sedia kala, apakah yang harus kulakukan?”
Lidahku kelu. Namun, ada rasa lega mendengar pertanyaan Magda itu. Setidaknya ini pertanda bahwa sesi pengakuan dosa di bilik penuh rahasia ini akan segera berakhir. Dengan sigap kubuka buku doa yang ada di pangkuanku. “Tuhan itu Maha Pengampun. Ia memahami dan akan memberikan penghiburan bagi hati yang hancur. Namun, tentu saja kita perlu menunjukkan kepada-Nya bahwa kita sungguh menyesali dosa-dosa kita.”
Aku diam sejenak setelah bibirku mengucap menyesali dosa itu. “Sebagai manusia lemah, kita menyadari dosa-dosa kita itu. Oleh sebab itu, memohon ampun kepada-Nya dan sadarilah hal itu. Marilah kita berdoa, Doa Tobat. Allah yang maharahim, aku menyesal atas dosa-dosaku. Aku sungguh patut Engkau hukum….”
Aku heran karena Magda diam. Setengah membungkukkan badan kuintip bilik sebelah. Sapu tangan biru yang kusut ada di sana, tanpa ada Magda. Aku menyandarkan tubuh ke kursi dan meremas rambutku. Kemudian kulanjutkan doa yang tak selesai itu, “…terutama karena aku telah tidak setia kepada Engkau….”
Aku terdiam. Teringat belum membuka sesi pengakuan ini dengan tanda salib. Lagipula lidahku kaku. Aku tak sanggup menyelesaikan doa itu. Tidak pernah sanggup.
***
Editor: Ghufroni An’ars