Arus informasi semakin tidak terbendung lagi. Di era digital, media massa telah bersaing dengan media sosial terkait kecepatan memberikan informasi kepada masyarakat. Tentu informasi yang diterima bukan sekadar cepat, melainkan juga dapat dipercaya. Melalui proses wawancara, investigasi, dan verifikasi yang sangat ketat. Apalagi prinsip ‘pagar api’ yang semestinya dipatuhi, kini justru malah dilanggar.
Padahal adanya prinsip ‘pagar api’, agar media massa bisa memisahkan wilayah redaksi dan iklan. Namun kuatnya tuntutan pendapatan, menjadikan pemilik media seakan-akan sudah tidak lagi memedulikan prinsip tersebut. Sehingga terfokus bagaimana mencari pemasukan dari luar media. Dengan begitu, menular pada kinerja para jurnalis yang bukan hanya mencari berita, tetapi juga ditarget mencari iklan.
Ekosistem media massa (pers) memang dihadapkan dengan dilema, antara garis redaksi untuk menegakkan demokrasi dan mencari iklan demi menggaji. Sebagai pilar keempat demokrasi, peran media massa sangat membantu masyarakat dalam menyuarakan kebebasan pendapatnya. Oleh karena itu, kemerdekaan pers telah dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 2: “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.”
Di sisi lain, mencari iklan memang penting. Sebab iklan merupakan bahan bakar berjalanya sebuah media. Meskipun media massa bergerak pada bisnis gagasan. Tapi ada batasan yang semestinya tidak dicampuradukkan. Antara redaksi dan iklan. Karena media bukan corong pemerintah dan alat rekomendasi barang dagangan. Lebih dari itu, media ialah anjing penjaga (watchdog) yang setia mengawal demokrasi dan mengawasi kinerja pemerintah.
Sesuai data yang terverifikasi oleh Dewan Pers, ada sejumlah 1.798 media massa di Indonesia sejak tahun 2018 hingga 2023. Jumlah perusahaan media yang tidak sedikit. Jelasnya, pasti ada alasan untuk tetap bertahan di tengah masifnya media sosial. Belum lagi harus berhadapan dengan persaingan media massa, yang terus membuka ruang tawar menawar pada pihak lain atau kelompok tertentu. Di posisi inilah, prinsip ‘pagar api’ rentan tidak dipatuhi lagi. Salah satunya ketika pemilik media massa menganggap jika para jurnalisnya mencari iklan itu sudah merupakan hal yang wajar.
Baca juga:
- Ingatan tentang Aceh, Jurnalisme, dan Sahabat
- Konten Prank dan Pembodohan di Media Massa
- Dilarang Berharap pada Konglomerasi Media
Apabila hal demikian tetap dinormalisasi, jurnalis akan tidak ada bedanya dengan influencer yang ikut serta mempromosikan barang dagangan. Dampaknya kerja-kerja jurnalis yang telah diberi payung hukum oleh negara dan kode etik usang tiada guna. Dengan demikian, sebelum ruh jurnalisme hilang ditelan iklan, maka ‘pagar api’ perlu diselamatkan.
Limitasi Bisnis
Media massa memang berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Dalam sektor bisnis, media boleh saja ikut mempromosikan iklan asalkan pihak yang menangani sektor tersebut bukan jurnalis, melainkan bagian marketing. Namun ada limitasi ketika melakukan kontrak dengan pemilik iklan. Terlebih terkait pemuatan iklan yang tidak dicampuradukkan dalam tatanan redaksi berita. Memang jatah bingkisan iklan yang seharusnya mengalir di media massa, kini sudah masuk di influencer. Tapi sebagai tempat penyebar fakta, bodoh sekali jika ikut mencicipi iklan sampai rela merusak kredibilitas produk jurnalistik.
Sering kali demi meraup rupiah, media massa tidak segan-segan untuk memanipulasi konten seolah berita, padahal itu jenis iklan. Paling menonjol terlihat pada tulisan feature. Berita yang dikemas berbentuk cerita dengan diselubungi promosi. Oleh karena itu, Andreas Harsono (2010 : 45) secara tegas menjelaskan, bahwa harus ada garis tipis (pagar api) untuk memisahkan antara iklan dan berita. Karena iklan dengan berita, merupakan dua hal yang berbeda dalam ranah media massa. Keduanya tidak boleh dicampuradukkan.
Netralitas dan Sanksi Etis Pemilik Media
Upaya untuk menjadikan media massa kehilangan prinsip ‘pagar api’ tak kunjung selesai. Sekalipun praktik ‘cover both side’ telah diterapkan di masing-masing media. Namun ingat, bahwa pemilik media juga bagian aktor sentrum keberpihakan. Jadi sedikit rumit, kalau media terlihat netral secara redaksional, tapi ternyata dibaliknya main kongkalikong. Termasuk jika ada momentum politik. Keberpihakan pemilik media jadi rebutan peserta Pemilu (Pemilihan Umum).
Para jurnalis yang seakan-akan dituntut netral tidak ikut campur persoalan iklan demi menjaga ‘pagar api’. Tapi karena pemilik media memiliki irisan kepentingan politik. Tanpa tanggung-tanggung berita kampanye peserta Pemilu turut serta menyumbang rusaknya wilayah redaksi.
Iklan yang demikian, bukan lagi berbentuk promosi untuk ketertarikan konsumen, melainkan elektabilitas dan narsistik peserta Pemilu. Oleh karena itu, sikap netralitas pemilik media jangan dianggap remeh. Sebab arah gerak para jurnalis juga dipengaruhi oleh pemilik media.
Secara prinsip, ‘pagar api’ dalam dunia jurnalistik memuat nilai etis yang harus ditegakkan. Apabila pemilik media mencoba menyalahgunakannya, perlu kiranya ada sanksi etis dari Dewan Pers. Dari sinilah posisi ‘pagar api’ media massa begitu penting. Dengan adanya ‘pagar api’, para jurnalis tidak terbelenggu lagi oleh intervensi pemilik media. Masyarakat pun sebagai pembaca tidak terdistorsi oleh sajian produk jurnalistik. (*)
Editor: Kukuh Basuki