Setelah tuntas menumpas Portugis, Senapati Wiranggaleng bersama empat orang pimpinan pasukan lain menyingkir ke sebuah bukit di selatan Kota Tuban. Walaupun pelabuhan dan kota Tuban berhasil mereka ambil alih, sebenarnya perasaan cemas masih menyangkut di benak mereka. Situasi yang tak begitu mengenakkan masih terpampang jelas. Bala tentara Demak yang dipimpin Trenggono sewaktu-waktu masih bisa mengancam lewat pedalaman Tuban. Malaka yang terletak di Semenanjung pun masih dikuasai Portugis, membuat Bandar Tuban tak lagi disinggahi kapal-kapal yang mengalirkan rempah dan kemakmuran bagi para kawulanya.
Dalam Arus Balik, Pramoedya Ananta Toer bercerita mengenai kemaritiman dan musabab merosotnya peradaban Nusantara, khususnya di Jawa. Novel ini mengambil latar abad ke-16. Ketika itu, Kekaisaran Majapahit yang menguasai seluruh Nusantara telah runtuh lantaran intrik politik di internalnya hingga pecah perang saudara. Di saat yang sama, kerajaan-kerajaan lain mulai mencoba melepaskan diri dari dominasi Majapahit. Di Jawa sendiri, terdapat beberapa kerajaan seperti Tuban, Blambangan, Pajajaran, dan Kesultanan Demak.
Masa-masa ini juga ditandai dengan datangnya bangsa Portugis ke Nusantara—dari Utara ke Selatan. Seperti yang kita tahu, pelayaran yang dilakukan Portugis memang tak sekadar untuk kegiatan dagang, tapi juga menguasai bandar dan pusat rempah-rempah di belahan dunia lain. Di bumi bagian selatan, Malaka yang terletak di Semenanjung merupakan kota bandar pertama yang berhasil dikuasai oleh Portugis. Karena posisinya begitu strategis, penguasaan Portugis atas Malaka membuat pelayaran yang dilakukan bangsa-bangsa lain ke Nusantara menjadi pampat.
Baca juga:
Namun, di tengah situasi yang tak menentu seperti itu, kerajaan-kerajaan di Nusantara justru terjebak pada siasat mempertahankan dan memperluas daerah kekuasaan masing-masing. Keberadaan pemimpin yang serakah dan culas membuat masyarakat kalangan bawah semakin tertindas. Pada titik ini, Portugis yang sudah berkuasa pun makin leluasa membentangkan layar kapalnya. Gelombang dari Utara semakin menjadi-jadi, Nusantara semakin terdesak.
Memang, gabungan bala tentara yang dipimpin oleh Adipati Unus dari Kesultanan Demak pernah melancarkan serangan kepada Portugis yang saat itu sudah menguasai Malaka. Sayangnya, ketidaksolidan kerajaan yang terlibat dalam penyerangan tersebut membuat rencana Adipati gagal. Percobaan kedua yang dilakukan oleh Senapati Wiranggaleng dari Tuban lewat prakarsa Ratu Aisah dari Demak pun juga berakhir dengan hasil yang tak berbeda. Malahan, di saat serangan yang dipimpin Wiranggaleng itu dilakukan, kekuasaan Tuban terancam oleh bala tentara Kesultanan Demak pimpinan Trenggono.
Dengan kekuatan pasukannya yang unggul, bala tentara Demak berhasil menguasai Tuban. Tak berselang lama, Kerajaan Tuban juga mendapat serangan dari Portugis. Namun, pada akhirnya, bala tentara Tuban berhasil menghalau Portugis dari pusat kota dan bandar, juga menjauhkan bala tentara Demak dari pedalaman Tuban.
Senapati Wiranggaleng
Peran Senapati Wiranggaleng dalam pertempuran itu begitu penting. Kedatangannya dari Semenanjung setelah gagal mengusir Portugis di Malaka berhasil memulihkan moril dan semangat bala tentara Tuban. Galang, nama aslinya, adalah seorang pemuda yang berasal dari sebuah desa bernama Awis Krambil, dulunya bernama Desa Sumber Raja. Walaupun bukan keturunan ningrat, Wiranggaleng menjadi sosok yang dielu-elukan dan dihormati penduduk Tuban. Sikap penduduk Tuban tersebut juga tercurahkan pada sosok Idayu, kekasih Wiranggaleng yang belakangan menjadi istrinya. Sama halnya dengan Galang, Idayu juga berasal dari Desa Awis Krambil.
Setelah menikah, mereka “terpaksa” hidup di Kota Tuban. Wiranggaleng memulai kariernya menjadi Syahbandar Muda yang bertugas mengawasi Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa. Wiranggaleng mendapat tugas tersebut karena Sang Syahbandar diduga merupakan antek Portugis yang kapan pun bisa meluluhlantakkan Tuban—belakangan, hal tersebut memang terjadi. Wiranggaleng juga pernah diangkat menjadi Pemimpin Angkatan Laut Tuban serta Patih-Senapati Tuban setelah ia mau tak mau menikam Patih Tuban dengan kerisnya. Ia melakukan itu karena Patih Tuban dianggap sudah tak mampu lagi melaksanakan perintah Adipati Tuban.
Baca juga:
Novel ini memang banyak bercerita mengenai sosok Wiranggaleng. Juara gulat Tuban tiga kali berturut-turut itu memang memiliki keistimewaan tersendiri—paling tidak jika dilihat dari lompatan posisinya, dari yang semula seorang anak desa biasa menjadi Senapati yang perannya amat besar dalam bala tentara Tuban. Sebagai pemimpin pasukan, ia merupakan sosok yang bijaksana. Wiranggaleng tak akan membunuh musuhnya yang sudah tersudut dan tak berdaya, betapa pun itu adalah musuh yang paling berbahaya sekali pun. Bagi bala tentara Tuban, atau mungkin bala tentara kebanyakan di muka bumi, tentu saja sikap seperti itu adalah hal yang tak biasa.
Yang menarik dalam Arus Balik, kehadiran Wiranggaleng yang menjadi tokoh protagonis mendapat topangan dari sosok lain. Sosok lain itu bernama Rama Cluring, seorang pria tua yang sering menyinggahi desa-desa untuk berpetuah di hadapan orang-orang. Ia memiliki karakter yang bijaksana dan mencintai kebenaran. Hal yang sering ia bicarakan adalah merosotnya ningrat Jawa dan rakyat Jawa yang kadang kala secara blak-blakan mengkritik Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta. Perkataan dan kritik Rama Cluring yang tegas dan tanpa tedeng aling-aling mengenai situasi zaman diresapi betul oleh Galang.
Namun, perkataan Rama Cluring yang blak-blakan ternyata tak diindahkan oleh kebanyakan orang yang masih terbelenggu oleh kultur feodal. Kritik Rama Cluring pun malah dianggap sebagai provokasi atau kejahatan. Pada akhirnya, Rama Cluring mati terbunuh oleh racun Kepala Desa Awis Krambil. Kematiannya dilihat langsung oleh Wiranggaleng dan Idayu. Walau Rama Cluring terbunuh di awal babak Arus Balik, tapi dengung suaranya masih terasa betul sampai novel ini selesai lewat sosok Wiranggaleng dan keluarganya.
Narasi Pram yang Otentik
Melalui riset yang mendalam, Pram berhasil menarasikan dengan apik betapa dulu bandar dan laut merupakan sumber kemakmuran yang membawa dan mengalirkan rempah-rempah Nusantara. Sepanjang waktu, kemakmuran berpindah dari bandar ke bandar, tergantung situasi yang mengiringinya. Kedatangan bangsa-bangsa lain juga menjadikan bandar-bandar di pesisir Nusantara kian plural. Karena situasi itulah, gesekan peradaban yang ditandai masuknya kepercayaan dan dewa baru juga kerap terjadi.
Dalam Arus Balik, narasi sejarah dan karakter tokoh yang dibangun oleh Pram saling berpilin-pilin menjadi satu. Gaya tutur Pram yang otentik makin membuat Arus Balik terasa beda dari yang lain. Terlebih lagi, sastrawan dari Blora itu sering menyisipkan kosakata Melayu yang umum dipakai pada masa itu. Hal tersebut membuat pembaca terasa dekat dengan masa lampau yang menjadi latar cerita.
Baca juga:
Buku ini enak dibaca terutama bagi mereka yang sebelumnya sudah mengetahui sekelumit pengetahuan mengenai sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara. Bagi penggemar novel genre fiksi sejarah, percayalah, buku ini layak mendapat posisi yang istimewa.
Seperti tulisan Pram pada bukunya yang lain, Arus Balik juga banyak menampilkan kutipan-kutipan langsung dari para tokohnya. Menulis kutipan langsung sebanyak satu lembar penuh adalah hal yang biasa bagi Pram—sesuatu yang sering dihindari oleh para penulis lain lantaran rawan membuat pembaca cepat bosan. Di tangan Pram, yang demikian itu sama sekali tak terasa membuat pembaca jadi suntuk. Itu anehnya.
Namun, bukan berarti Arus Balik merupakan karya yang sepenuhnya sempurna. Dalam buku tersebut, Pram tampak terlalu membesar-besarkan Majapahit. Padahal, dalam catatan sejarah di Nusantara, terdapat kerajaan seperti Sriwijaya yang tak kalah besar dengan umur kekuasaan yang relatif lebih panjang. Bahkan, Kerajaan Sriwijaya pernah terlibat perang laut di Asia Tenggara ketika seratus ribu tentaranya turun melawan Funan. Sayangnya, Kerajaan Sriwijaya sangat jarang disebutkan oleh Pram di novel ini.
Yang membikin pembaca gentar barangkali adalah jumlah halamannya. Sebab, buku terbitan Hasta Mitra tahun 1955 ini tebalnya nyaris 800 halaman. Namun, tak ada yang perlu dikhawatirkan sebenarnya karena Arus Balik terbagi sampai 45 bagian. Selain mudah mengenal karakter tiap tokoh, banyaknya pembagian yang dilakukan oleh Pram membuat buku tersebut terasa tak melelahkan untuk dibaca. Apalagi, buku ini lebih banyak menerapkan alur cerita maju yang mempermudah pembaca menangkap maksud penulis—dan soal ini, tampaknya Pram tak pernah gagal.
Editor: Emma Amelia