Dalam teori tabula rasa, John Locke menyebut bahwa anak lahir bagai kertas kosong. Lembar kertas tersebut nantinya akan dipenuhi oleh goresan yang ditempa dari pengalaman sehari-hari. Lingkungan berkontribusi besar dalam memutuskan jenis, bentuk, dan arah goresan tersebut. Pilihan-pilihan tersebut kelak akan bermuara pada cara mereka bersikap, berpikir, dan merasa. Tak ayal, memahami kepolosan dan keluguan dalam diri anak kecil membuat saya bertanya-tanya: kira-kira lingkungan seperti apa yang bisa membuat mereka menumbuhkan rasa benci dan prasangka terhadap seseorang atau kelompok tertentu?
Saya membayangkan bagaimana jadinya bila pengalaman dan perasaan tersebut dibawa hingga mereka dewasa. Pasti akan mudah sekali tercipta individu bersumbu pendek dan sensitif terhadap percikan persoalan kecil.
Pertanyaan di atas tercetus ketika saya berkesempatan mengajar siswa sekolah dasar di wilayah tengah Kabupaten Sleman, Yogyakarta, selama satu semester kuliah. Saya menemui total 48 murid dalam satu sekolah dengan beragam karakter dan kepribadian. Beberapa di antara mereka sempat membuat saya tertegun dan menghela napas sejenak.
Persoalan Toleransi di Pendidikan Kita
Lingkungan di sekolah dasar tempat saya mengajar mayoritas penduduknya adalah penganut agama Islam. Daerah di dekat sekolah masih terbagi dalam kelompok-kelompok permukiman berbasis agama yang kental. Akan mudah mendapati desa A dengan masyarakat yang menganut agama Katolik, kemudian desa B dengan penduduk mayoritas beragama Islam. Hal ini turut menyumbang keprihatinan karena anak-anak tidak pernah merasakan ataupun menerima pengalaman secara langsung dalam memahami arti perbedaan sesungguhnya.
Suatu kali, di sekolah tempat saya mengajar, salah satu siswa laki-laki kelas lima membuat siswa perempuan di kelasnya menangis. Siswa perempuan tersebut adalah satu-satunya murid yang beragama Katolik di sekolah. Setelah diusut, ternyata siswa laki-laki tersebut mengolok-olok siswa perempuan dengan sebutan “kafir” dan ungkapan semacam “kamu akan masuk neraka”. Padahal, sejak kelas rendah mereka telah diajarkan materi toleransi, saling menghargai perbedaan, mencari persamaan pada tiap perbedaan, hingga filosofi bhinneka tunggal ika. Akan tetapi, tidak adanya pengalaman yang membawa mereka pada situasi bersentuhan langsung dengan perbedaan—sesederhana perbedaan agama—membuat pikiran kritis mereka tergusur oleh beragam prasangka dan label negatif. Ini bisa menjadi masalah besar jika prasangka tersebut melekat hingga dewasa dan dianggap sebagai suatu kebenaran tunggal.
Melihat hal di atas, tampak bahwa toleransi masih terpaku pada tahapan menghafal, belum sampai pada level pemahaman ataupun praktik dan implementasi. Kurikulum mesti memfasilitasi bentuk pengajaran baru yang dapat mengakomondasi kebutuhan akan celah tersebut. Selain dibutuhkan pengajaran berpikir kritis, diperlukan pula kegiatan praktik secara langsung, seperti kegiatan kokurikuler dengan mempertemukan anak-anak dari latar belakang kepercayaan yang berbeda untuk saling bertanya, berdiskusi, berunding mengenai keresahan dan keingintahuan terkait kepercayaan satu sama lain. Hal itu akan memancing anak-anak untuk melepaskan stigma dan pikiran negatif tidak berdasar terhadap suatu hal, sekaligus mengajarkan mereka untuk berpikir kritis dengan tidak menjustifikasi sesuatu tanpa adanya fakta berupa data terpercaya.
Baca juga:
Kesadaran Gender dan Beragam Keresahan di Sekolah
Kejadian yang memunculkan tanda tanya terkait sejauh mana pendidikan kita sanggup menumbuhkan empati dan kehalusan budi belum berhenti pada cerita di atas. Prasangka tersebut berlanjut pada cara anak-anak memandang perempuan dan kesadaran gender. Anak-anak masih memandang segala sesuatu dalam kerangka pikir biner putih abu-abu dan cenderung menihilkan sejumlah identitas gender minoritas.
Suatu kali, saya pernah mengajak kelompok siswa laki-laki berbaur dengan kelompok siswa perempuan untuk berdiskusi. Salah satu di antara mereka merespons dengan jawaban “anak laki-laki enggak boleh terlalu sering bermain dengan anak perempuan. Nanti bisa kecewek-cewekan.” Mereka masih belum memahami garis batas antara jenis kelamin sebagai aspek fisiologis dan gender sebagai kontruksi budaya, demikian juga dengan kebebasan individu dalam mengekspresikan gender.
Hal tersebut merembet pada pemahaman mereka mengenai orientasi seksual. Mereka hanya memahami bahwa laki-laki menyukai perempuan dan sebaliknya. Selain itu, mereka juga masih belum memiliki pandangan yang benar terkait keberagaman gender. Contohnya, beberapa siswa pernah melontarkan bahwa, menurut mereka, boyband grup Korea merupakan kelompok gay dan banci. Masih banyak dari mereka yang salah memahami keberagaman gender.
Mengetahui hal ini, kita perlu merefleksikan kembali posisi kurikulum dalam menyoal dan menyinggung spektrum gender. Saya pernah mendapati pertanyaan di buku paket kelas dua sekolah dasar yang meminta siswa untuk memilih mana nama yang cocok untuk anak perempuan dan mana yang cocok untuk anak laki-laki. Hal tersebut sama anehnya dengan pengotak-ngotakan warna perempuan dan warna laki-laki, ataupun barang perempuan dan barang laki-laki. Jika diteruskan, hal tersebut akan merembet pada pengotakan profesi atau pekerjaan laki-laki dan perempuan. Sebab, saat mengajar siswa kelas tiga dan meminta mereka untuk menggambarkan cita-cita, kelompok siswa laki-laki masih terbatas pada pekerjaan yang berkaitan dengan fisik atau teknik, seperti pilot dan polisi. Sedangkan siswa perempuan memilih pekerjaan yang sifatnya mengasuh atau mengayomi, seperti guru, perawat, atau dokter.
Bias gender yang menghantui siswa ini tak ayal dilandasi pula oleh pengajaran dan pembelajaran yang belum berperspektif gender. Perlu adanya integrasi isu-isu gender ke dalam kurikulum pendidikan, baik sebagai materi komprehensif ataupun penerapan perspekif gender dalam praktik pengajaran sehari-hari.
Editor: Prihandini N