Tak Terlihat dan Puisi Lainnya

Ryan Agustian

2 min read

Kelahiran

aku adalah buah yang menggelinding jatuh paling akhir dan kau pungut sore itu.
pohon tempatku bernaung sudah tua. batang besarnya kini berongga.
tepuk-tepuklah dan kulit pohon berhamburan menimpamu.
berjatuhan ranting-ranting menghantam rambut panjangmu
yang bagus itu, yang baru kau cat lagi. kini warnanya biru galaksi. 

di tempatku jatuh, kau temukan buah-buah lain telah tumbuh jadi tunas. telah
tumbuh bertangkai-tangkai seukuran lenganmu, telah tumbuh tiga kali tinggi
badanmu. 

ketika aku jatuh, daun-daun baru tidak pernah muncul. udara kering dan bau. tapi
bisa kau rasakan angin mendadak menyapu seluruh tubuh. dan kotorlah kaus
lengan panjang bergaris biru dan putih dan celana jin hitam itu. sebongkah batang
raksasa jatuh menyusulku. kau mundur beberapa langkah, belum menemukanku.

ketika aku jatuh, pohon ini condong ke barat. ia ingin terbenam seperti matahari.
tapi pohon muda itu, yang telah tumbuh tiga kali tinggi badanmu memaksanya
berdiri. sulur-sulurnya hijau dan segar, menyusup ke sela-sela pohon tua
kopong ini. ia ingin serap semua nutrisi bahkan yang bukan miliknya lagi.

ketika aku jatuh, mereka telah tumbuh,
kau masih belum menemukanku.

ketika aku jatuh, kupu-kupu migrasi melahirkan generasi berikutnya dan mereka
mati untuk keturunannya. seekor laba-laba betina memakan jantannya. sepasang
tupai mencuri kacang dari burung pelatuk. dan sebuah tirani runtuh. dan revolusi
pecah. dan aku sebiji buah. jatuh pukul sepuluh sewaktu udara kering di antara
bunyi kendaraan berat menyapu tanah. dan para tukang menggali parit, menebas
gulma, melempar batu: membangun rumah.

suara kendaraan berat itu semakin dekat. aku telah jatuh dan pohon tua ini sekarat.
kau menemukan dan membersihkan aku dari debu yang melekat. kendaraan berat
itu datang, pohon tua itu jatuh, dan tanah penuh debu. tapi kau telah menjauh dan
aku bersamamu.

Tak Terlihat

bukalah semua jendela dan kau akan tahu dunia sudah jadi artefak. tubuh mati
anak-anak menutupi muka bumi dan kau sedang merobek struk belanjaan Januari.
bukalah semua jendela dan kau akan tahu dunia sudah jadi potongan-potongan
acak. dan yang bisa menyatukannya sedang cekcok di tengah pesta. (atau sedang
wisata?) dan kita sedang nikmati fastfood di pusat kota. 

bukalah semua jendela dan kau akan tahu dunia sudah retak. tapi kau tak akan tahu
kalau kau tak menyimak. di hadapanmu cuma ada tembok bata rumah
tetangga. atap seng karatan, tiang antena, dan langit yang cerah. 

di mana neraka itu? kau tak melihatnya. di mana samsara itu? kau tak
melihatnya. tapi di televisi mereka jadi teman santap siang kita. dan kau ingin
merobek dadamu sendiri dan melempar semua isinya. tapi yang mestinya kau
buka adalah jendela dan pintu. bukan dirimu. 

Pintu

meja itu retak dan kau kutuk aku jadi abu. dan kita bukan siapa-siapa. berapa lama
lagi aku mesti menunggu kata-kata tumpul dan bahasa jadi pintu yang menutup
untukmu? agar kubukakan yang lain dan kita bisa bicara perihal yang kecil-kecil
saja. bahasa Tuhan adalah bahasa langit. kau meminjam frasa dan makna
dari-Nya. dan yang tersisa untuk kami hanya sumpah serapah.

Cahaya

kau seperti kukang kecil melekat di dada ibunya sewaktu memanjat kayu. seperti
anak kanguru. seperti panda terlelap memeluk bambu. juga seperti ulat, soft
structure carrier berwarna coklat tua itu: seperti lapis kepompong
melindungimu dari banyak omong kosong.
kau meregangkan tangan dan kaki seperti hendak bertransformasi. ibumu
mengelus punggungmu dan aku bisa mendengar ia berkata, “Aku ada di sini.” 
aku ada di sini.

aku tahu kau lebih tangguh dariku. sebab aku baru saja mengeluh. puasa, panas
cuaca, dan lampu merah lamanya na’uźu billàh. kau tidak protes apa-apa kau
cuma bingung sedang berada di mana.
kau yang pernah tinggal di rahimnya, berlindung di dadanya. kau dengar gemuruh
air di mana-mana. ia menyusup ke sel-sel tubuh ibumu menujumu agar kamu
bercahaya. agar sayapmu punya daya. karena ibumu cuma pohon dan dunia
amat berbahaya. 
aku melihatmu, aku melihatmu bercahaya.

Api

bukan kau yang membuka lahan dan membabat gulma.
bukan tanganmu yang memelihara. tapi semua orang kira
kau petani yang mulia. meski bukan kau yang muncul dan
beberes ketika badai tiba. (karena kaulah badainya).
semua yang kau lakukan selalu hampir. tapi selalu kami
yang kau sebut vampir. kau datang ketika buah ranum dan lebat.
kau buka box merah muda dan kau masukkan semua yang bisa muat.
kau bilang aku tidak berhak penuhi dahaga dari kemarau. aku tahu kau
tidak sedang bergurau. aku tidak berhak, aku tidak boleh berontak.
kau menukar hujan jadi uap panas. 
kau mengubah air jadi senjata. 
matahari nyangkut di horizon dan batal keluar. kau bisa bedakan
salah dan benar. tapi kesulitan kenali nanah dari cacar. dan di hadapan
kami semua kau ingin jadi pagar. kau ingin jadi tuan tanah, sementara kami
tanaman tak bernyawa.

Duka

andai rentang dua lenganku
lebih luas dari semua hal
aku ingin memelukmu
dan mendekap seluruh dukamu.

apa daya rentang dua lenganku
pendek, dan sudah kubagi habis
dengan saudari-saudariku. 

aku ingin jadi egois satu hari saja
tapi duka yang mereka punya
adalah dukaku juga.

aku ingin hanya memikirkanmu
tapi pikiranku penuh jebakan
dan aku tidak leluasa untuk hanya memikirkanmu
selalu ada yang lain, selalu ada.

(April 2022)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Ryan Agustian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email