Periset Bidang Studi Kebijakan Publik dan Advokasi HAM. Social-Politic & Human Right Law Writer Specialist

Mampukah BPI Danantara Menjaga Kepercayaan Publik?

Uray Andre Baharudin

3 min read

Sejak Presiden Prabowo Subianto mengumumkan tentang peluncuran Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara), berbagai respons tajam muncul. Bagaimana nasib bank-bank pelat merah seperti Bank Mandiri, BRI, dan BNI? Pelantikan Rosan Roeslani sebagai CEO Danantara, bersama Pandu Patria Sjahrir dan Dony Oskaria sebagai pejabat kunci juga membawa saya pada serangkaian pertanyaan mengenai kepercayaan publik dan dampaknya terhadap sistem keuangan nasional.

Dinamika Peluncuran BPI Danantara

Ketika mendengar kabar tentang peluncuran Danantara, perasaan saya campur aduk antara optimisme dan cemas. Di satu sisi, penunjukan tokoh-tokoh yang sudah dikenal di dunia investasi seperti Rosan Roeslani, yang juga menjabat sebagai Menteri Investasi dan Hilirisasi, menimbulkan harapan akan adanya pengelolaan investasi yang lebih terintegrasi dari dividen 65 BUMN.

Di sisi lain, kehadiran sosok-sosok yang memiliki hubungan erat dengan jajaran pemerintahan dan BUMN, seperti Pandu Patria Sjahrir—keponakan Luhut Binsar Pandjaitan—memunculkan skeptisisme di kalangan sebagian masyarakat. Saya pun mulai berpikir, apakah struktur kepengurusan seperti ini akan mampu menghadirkan transparansi dan akuntabilitas yang selama ini diharapkan oleh publik?

Baca juga:

Dalam obrolan saya dengan beberapa teman, terselip perasaan bahwa dinamika ini lebih dari sekadar penataan ulang birokrasi. Saya melihatnya sebagai cermin dari bagaimana kebijakan investasi nasional kini dipengaruhi oleh jaringan relasi yang sangat erat. Seiring berjalannya waktu, saya memperhatikan bagaimana berbagai pendapat muncul di media sosial. Ada yang mendukung penuh dengan keyakinan bahwa langkah ini akan membawa perubahan positif, dan ada pula yang mendesak untuk menarik tabungan dari bank BUMN agar dana masyarakat mengalir ke sektor swasta. Saya pribadi merasa bahwa semua itu adalah refleksi dari perasaan tak pasti yang muncul ketika kepercayaan publik atas kebijakan yang sangat strategis diuji.

Dr. Bambang Brodjonegoro dalam salah satu buku ekonomi populer menyatakan, “Stabilitas keuangan merupakan hasil dari kepercayaan masyarakat yang terjaga dalam setiap lapisan sistem perekonomian.” Kalimat tersebut menggema dalam benak saya ketika menghadapi realita bahwa setiap kebijakan, sekecil apa pun, akan berdampak pada persepsi publik. Perpaduan antara aspirasi reformasi dan ketidakpastian mekanisme pelaksanaannya membuat saya terus mempertanyakan bagaimana sistem ini nantinya akan memberikan manfaat yang nyata bagi perekonomian kita tanpa mengorbankan stabilitas.

Kepercayaan Publik dan Dampak pada Perbankan BUMN

Di tengah euforia dan kecemasan yang menyelimuti peluncuran Danantara, seruan untuk menarik uang tabungan dari bank pelat merah pun semakin menggema di jagat maya. Dalam keheningan waktu, saya mendapati diri saya terpaku pada sejumlah opini yang begitu tajam. Saya memahami kekhawatiran itu; kepercayaan adalah elemen penting dalam setiap sistem keuangan.

Saya tidak pernah merasa bahwa suatu kebijakan dapat berdampak langsung pada hubungan emosional masyarakat dengan lembaga keuangan. Namun, pengalaman hidup saya mengajarkan bahwa perasaan aman dalam menyimpan tabungan tidak hanya bergantung pada laporan keuangan semata, melainkan juga pada narasi yang berkembang di tengah masyarakat.

Melihat fenomena ini, saya mencoba mengurai benang merah antara kebijakan investasi nasional dan respons publik terhadap bank BUMN. Apakah seruan untuk memindahkan dana ke bank swasta merupakan cerminan kekhawatiran atas manajemen yang dianggap terlalu politis? Ataukah ini hanya reaksi berlebihan yang bisa menimbulkan kepanikan massal?

Saya percaya bahwa setiap keputusan yang diambil oleh para pengambil kebijakan memiliki dasar pertimbangan yang mendalam. Di balik kekhawatiran yang tersaji di media sosial, tersimpan pelajaran bahwa kepercayaan publik perlu dibangun melalui komunikasi yang jelas dan keterbukaan informasi.

Saya pun merenung lebih dalam. Seberapa besar dampak dari pergeseran kepercayaan ini terhadap kestabilan ekonomi nasional? Jika benar masyarakat dalam jumlah besar menarik dana mereka dari bank BUMN, tentu hal ini bisa memicu gejolak likuiditas yang tidak bisa dianggap remeh. Di sisi lain, apakah benar memindahkan uang ke bank swasta merupakan solusi? Saya melihat ada semacam paradoks di sini—di satu sisi, masyarakat ingin transparansi dan pengelolaan dana yang lebih profesional, tetapi di sisi lain, langkah ekstrem seperti penarikan dana massal justru berpotensi merugikan diri sendiri dalam jangka panjang.

Polemik ini mengingatkan saya pada konsep self-fulfilling prophecy dalam ekonomi. Ketika masyarakat percaya bahwa sistem perbankan sedang dalam masalah, mereka bertindak berdasarkan ketakutan tersebut—menarik dana, menyebarkan kekhawatiran—hingga akhirnya kekhawatiran itu benar-benar terjadi.

Saya teringat pada krisis keuangan di beberapa negara, di mana kepercayaan yang runtuh bisa menyebabkan instabilitas yang sulit dipulihkan dalam waktu singkat. Jika hal ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin bank-bank pelat merah akan mengalami tekanan besar yang berdampak pada sektor ekonomi yang lebih luas.

Baca juga:

Namun, saya juga tidak ingin menutup mata terhadap keresahan yang ada. Kepercayaan publik terhadap institusi keuangan memang tidak bisa dipaksakan; ia tumbuh dari pengalaman dan persepsi yang dibentuk oleh kebijakan serta transparansi yang ditunjukkan oleh pemerintah. Mungkin, bukan reaksi spontan berupa boikot atau pemindahan dana yang menjadi inti permasalahan, melainkan ketidakjelasan komunikasi yang membuat publik merasa tidak dilibatkan dalam kebijakan yang menyangkut dana mereka.

Saya merasa bahwa kunci dari permasalahan ini adalah keterbukaan. Jika pemerintah ingin meredam keresahan, pendekatan yang lebih komunikatif perlu dilakukan. Bukan sekadar memberikan pernyataan resmi, tetapi juga melibatkan masyarakat dalam diskusi yang terbuka, menjelaskan bagaimana investasi ini akan dikelola, dan apa jaminan bahwa kepentingan publik tetap menjadi prioritas. Tanpa kejelasan ini, polemik serupa akan terus berulang, karena akar masalahnya bukan sekadar pada teknis pengelolaan dana, tetapi pada psikologi massa yang merasa hak mereka untuk mengetahui ke mana uang mereka dialokasikan tidak sepenuhnya dihormati.

Pada akhirnya, saya menyadari bahwa kepercayaan bukan sesuatu yang bisa diperintahkan atau dibentuk dalam semalam. Ia adalah hasil dari proses panjang yang melibatkan keterbukaan, akuntabilitas, dan bukti nyata bahwa kebijakan yang diambil benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat. Polemik BPI Danantara ini bukan sekadar isu ekonomi, tetapi juga refleksi dari bagaimana kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara diuji di era digital yang serba transparan.

Jika pemerintah ingin mempertahankan stabilitas ekonomi dan kepercayaan publik, jawaban yang paling masuk akal bukanlah membungkam kritik, melainkan merangkul kegelisahan masyarakat dan menjadikannya sebagai pijakan untuk membangun sistem yang lebih kredibel dan berkelanjutan.

 

 

Editor: Prihandini N

Uray Andre Baharudin
Uray Andre Baharudin Periset Bidang Studi Kebijakan Publik dan Advokasi HAM. Social-Politic & Human Right Law Writer Specialist

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email