Domisili di Sleman, Yogyakarta.

Bahasa Tubuh dan Jiwa-Jiwa Muda dalam Percakapan Sore Hari

Airlangga Wibisono

4 min read

Sudah pasti nama Haruki Murakami atau Kazuo Ishiguro lebih familiar didengar dari pada Ryonusuke Akutagawa. Beberapa mungkin meganggap nama ketiga tersebut akan lebih mudah diingat ketika menjadi sebuah karakter pada anime Bungo Stray Dogs dari pada sebagai  seorang penulis. Tapi, ini musti dikatakan, nama Ryonusukue Akutagawa juga termasuk salah satu pengarang besar dari Jepang seperti halnya nama pertama dan kedua. Bahkan namanya menjadi nama sebuah penghargaan bergengsi kepenulisan di Jepang sampai sekarang.

Bagi yang mengenal Akutagawa sebagai penulis, barangkali dua karyanya yang mudah diingat adalah yang berjudul Kappa atau Rashomon. Kedua karya Akutagawa ini sudah ada terjemahan dalam bahasa Indonesia. Selain dua karangan tersebut, Akutagawa merupakan seorang pembuat cerpen. Sebagai cerpenis dia sungguh produktif. Jumlah cerpennya 150-an lebih. Dan dapat dikatakan Akutagawa adalah bapak cerpen modern Jepang.

Baca juga:

Beberapa penerbit di Indonesia, yang ingin menghadirkan karya Akutagawa kepada para pembaca Indonesia, lantas mengumpulkan beberapa cerpen Akutagawa dan diwujudkan dalam bentuk sebuah buku kumpulan cerpen. Beberapa kumpulan cerpen karya Akutagawa dapat dicari di pasaran. Salah satuya adalah kumpulan cerpen yang berjudul “Percakapan Sore Hari.”

Cetakan pertama buku ini tertulis pada bulan Mei 2021. Buku ini tidak besar apalagi tebal, sehingga mudah dibawa kemana-mana. Sampul buku ini menarik. Berwarna dasar orange dengan gambar seorang wanita yang sedang membelakangi kita. Wanita tersebut memakai pakaian tradisional Jepang dengan motif bunga dan warna yang terang. Dalam kumpulan cerpen ini terdapat tujuh cerpen karya Akutagawa. Tujuh cerpen tersebut antara lain: (1) Percakapan Sore Hari, (2) Jeruk Mandarin, (3) Di Tepi Pantai, (4) Saputangan, (5) Kesa dan Morito, (6) Musim Dingin, (7) Keberuntungan.

Membaca Cerpen Akutagawa, Membaca Bahasa Tubuh

Ada anggapan bahwa dalam komunikasi sehari-hari, kata-kata, baik dalam percakapan atau tulisan, sangat mudah jikalau digunakan untuk menyembunyikan sebuah kebenaran. Tapi terdapat sebuah bahasa yang sulit sekali untuk menutupi sebuah kebenaran. Bahasa itu adalah bahasa tubuh.

Seorang esais Inggris, George Orwell, pada satu esainya yang populer berjudul The Hanging atau dalam terjemahan bahasa Indonesia berjudul “Hukuman Gantung, menjadikan bahasa tubuh sebagai “pijakan awal” sebelum masuk ke analisa inti esai tersebut. “Pijakan awal” itu tertulis begini:

Ia berjalan dengan kagok karena tangannya terikat, tapi perlahan tapi pasti ia melangkah menuju ajalnya, dengan cara berjalan khas orang India yang tidak pernah meluruskan kakinya. Bersama setiap langkahnya, ototnya bergerak-gerak, rambut di atas kepalanya bergoyang naik turun, dan telapak kakinya meninggalkan jejak di tanah yang becek. Dan Meski pundaknya dipegang erat-erat oleh dua orang sipir, ia sempat sedikit membelokkan jalannya untuk menghindari genangan air di depannya.

Lalu Orwell memperhatikan tanda itu. Tanda yang mungkin kebanyakan orang mengabaikannya sebab tanda itu sangatlah biasa-biasa aja. Tanda itu adalah saat si tahanan mati, yang sedang melangkahkan dirinya ke tiang gantungan, menghindari sebuah genangan air. Orwell yang menyadari bahwa dengan si tahanan menghindari genangan air, mengartikan bahwa tahanan ini masih seorang manusia yang waras dan sehat seperti kedua sipir yang berada di samping kanan-kirinya. Tapi si tahanan, yang merupakan manusia yang hidup, sebentar lagi harus meninggalkan bumi sebab hukuman mati yang ia terima. Orwell menganggap ini adalah sebuah kesalahan dan ketidak adilan. Sebab manusia itu masih normal dan barangkali masih bisa diperbaiki. Dan begitulah esai tersebut merupakan tulisan kritik Orwell kepada hukuman mati.

Baca juga:

Esai Orwell tersebut terbit pada tahun 1931, empat tahun setelah kematian Akutagawa. Dan menariknya, Akutagawa pada salah satu cerpen di kumpulan cerpen “Percakapan Sore Hari” menggunakan bahasa tubuh untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada karakter cerpen-cerpennya. Seperti contoh pada cerpen Saputangan. Cerpen yang menceritakan seorang dosen yang sedang bersantai di rumahnya, lalu kemudian didatangi oleh salah satu orang tua mahasiswa. Mahasiswa itu adalah murid kesayangan. Orang tua mahasiswa itu mengabarkan bahwa anaknya sudah meninggal dan sang dosen tidak mengetahui kabar itu sebelumnya.

Dalam situasi duka tersebut sang profesor merasa ada sesuatu yang janggal. Orang tua tersebut mengabarkan kematian anaknya itu tanpa emosi, seolah-olah itu kabar rumah tangga biasa.

“Dia berbicara dengan nada suara normal, tanpa air mata, dan sudut mulutnya bahkan menunjukkan sedikit senyum.”

Setelah mengabarkan kematian anaknya, mereka berdua terlibat pada perbincangan berbagai topik. Hawa panas saat itu menyebabkan sang profesor gerah dan ia perlu menggunakan kipas tangan. Di tengah perbincangan, kipas itu terlepas dari tangan si profesor, tergeleteak di bawah meja. Sang Professor kemudian menundukkan badannya dan melihat “kebenaran” di kolong meja.

“dia juga melihat bahwa tangan wanita itu gemetar hebat dan mungkin dalam upaya putus asa untuk menekan perasaan batinnya yang bergejolak ini, dia menarik sapautangan itu begitu erat seolah-olah ia ingin merobeknya.”

Sang Profesor sadar bahwa saat itu sebenarnya situasi tidak biasa-biasa saja. Tamunya sedang menahan emosi yang sebenarnya terjadi. Tentu, dia menahannya karena adab kepantasan seorang bertamu. Sang Profesor segera ingin menyudahi perbincangan tersebut.

“Terlepas dari senyum yang menghiasi wajahnya, seluruh tubuhnya dari awal telah diguncang oleh tangisan yang hebat.”

Belajar bahasa tubuh lewat membaca cerpen dapat memberi pengalaman dan meningkatkan kepekaan dalam diri seseorang. Lebih lagi, bila apa yang diperoleh dengan membaca cerpen ternyata pernah terjadi pada kehidupan yang sebenarnya. Memang, tidak mudah mengetarai emosi karakter lewat tingkah laku dalam kata-kata yang tertuang cerpen. Dan ini seperti saat  Orwell melihat seorang tahanan mati yang menghindari genangan air atau kisah sang profesor yang perlu melihat ke kolong meja untuk mengetahui “kebenaran” yang terjadi.

Rekaman Jiwa-Jiwa Muda

Dari ketujuh cerpen yang berada dalam buku tersebut, hampir keseluruhan tokoh-tokohnya adalah orang-orang berusia muda. Akutagawa menjadikan anak muda sebagai bagian dari apa yang ingin disampaikannya. Dalam cerpen Di Tepi Pantai kita dapat merasakan apa yang berada dalam kepalanya. Pikiran-pikiran anak muda yang diceritakan dalam cerpen tersebut, pada abad 20 di Jepang, mungkin sama seperti pikiran anak muda sekarang. Apalagi menyangkut tentang kegelisahan mereka.

Pada cerpen ini Akutagawa menceritakan beberapa pemuda yang sedang berwisata di pesisir Jepang. Tentu, jalannya cerita cerpen ini seputar wisata yang mereka lakukan. Dan pada jalannya cerita yang alurnya maju, diselipkan pikiran-pikiran yang dapat membuat kalut seorang remaja. Pikiran itu terkait dengan pasangan hidup, pekerjaan serta uang, dan masa depan. Akutagawa menyajikan itu semua dalam narasi yang gamblang ataupun humor.

Contohnya saat memikirkan pekerjaan tokoh utama dan kawannya, yang karena mereka adalah lulusan universitas, gengsi apabila melakukan pekerjaan kasar dan berkeinginan pekerjaan yang modern. Dalam konteks jaman itu, menjadi kontributor kepenulisan merupakan salah satu jenis pekerjaan yang anak muda banget. Dan saat duduk bersantai di pinggir pantai, mereka dilewati oleh beberapa nelayan kerang. Melihat nelayan lewat itu, salah satu tokoh mengemukakana bahwa ia tidak ingin bekerja keras seperti itu. Bahkan untuk menegaskannya, mereka membuat mitos tentang pekerjaan nelayan yang terkait dengan lubang hitam dan sosok hantu laut.

Dan yang paling mencolok cerpen Akutagawa bertemakan anak muda adalah cerpen yang berjudul “Keberuntungan.”  Cerpen yang sangat mudah dipahami bagi mereka yang muda atau yang pernah muda. Cerpen yang bercerita apabila “sebuah kesempatan” itu diambil berdasar usia. Dan yang utama cerpen ini menampakan sikap hati-hatinya orang yang berumur atau keberanian yang biasanya tanpa pikir panjang yang dimiliki anak muda dalam menyikapi suatu persoalan. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Airlangga Wibisono
Airlangga Wibisono Domisili di Sleman, Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email