Gairah para mufasir menggali kandungan makna-makna al-Qur’an yang diyakini cukup relevan untuk menjawab berbagai aspek kehidupan berimplikasi kepada lahirnya berbagai metodologi tafsir. Metodologi ini dibangun berdasarkan asumsi bahwa kandungan makna-makna al-Qur’an memiliki hubungan yang signifikan dengan perkembangan kehidupan manusia.
Adanya hubungan yang signifikan ini memberi dorongan bagi para mufasir untuk mencari kandungan makna-makna dimaksud dengan bertitik tolak dari sebuah keyakinan bahwa al-Qur’an adalah sumber petunjuk.
Karena itu, konsekuensi menjadikan al-Qur’an sebagai sumber petunjuk atau sumber inspirasi akan membawa kepada suatu pemahaman bahwa makna-makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur’an tidak pernah berhenti kepada satu penafsiran. Maka, diperlukan penafsiran-penafsiran baru atau memakai penafsiran lama yang masih relevan supaya petunjuk al-Qur’an dapat dipahami di setiap masa dan tempat.
Keharusan melakukan penafsiran baru terhadap ayat-ayat al-Qur’an dapat diinspirasi melalui salah satu ciri khasnya yang fleksibel. Ciri khas ini menjadikan al-Qur’an bagaikan sebuah wadah yang siap menampung segala bentuk pemaknaan terhadapnya. Sekalipun pola penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an terus saja mengalami penambahan bahkan perubahan, namun sama sekali tidak mengurangi esensi dan eksistensi al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan. Justru, penafsiran dengan metode apapun yang digunakan, semakin menambah khazanah dan kekayaan makna-makna dari ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri.
Syahdan hal ini, kemunculan terma aliran modern dalam Islam sama sekali tidak pada tempatnya untuk dipertentangkan dengan pesan-pesan al-Qur’an. Semangat aliran modern ini adalah untuk menggali pesan-pesan al-Qur’an dengan alasan bahwa, pesan-pesannya tetap relevan dengan perkembangan sosio-kultural manusia. Dengan demikian, terma yang seperti ini harus dipandang secara objektif dengan melihat kontribusi yang disumbangkannya untuk menggali khazanah di dalam al-Qur’an.
Benih munculnya aliran modern dalam Islam ini sudah dimulai pada masa kehidupan Ibn Taymiyyah. Pada masa ini, Ibn Taymiyyah sudah mulai melakukan peninjauan ulang terhadap kajian-kajian keagamaan yang dilakukan oleh para pendahulunya. Melalui tinjauan ulang ini maka, pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh Ibn Taymiyyah banyak yang berbeda bila dibanding dengan pemikiran-pemikiran para pendahulunya.
Kita tahu bahwa, al-Qur’an juga turun membawa pesan-pesan pembaharuan dan karena itu semangat pesan al-Qur’an ini harus ditangkap supaya dapat diejewantahkan dalam kehidupan sehari-hari. Bertitik dari pengalaman sejarah, maka pada masa sahabat telah terjadi kemajuan pemikiran di mana mereka memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan cara yang beragam.
Menurut al-Hajwi bahwa pada masa al-khulafa’ al-rasyidun (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali) adalah masa pengembangan pemikiran karena para sahabat langsung melihat ayat-ayat al-Qur’an sebagai sumber dan memberikan berbagai penafsiran.
Kemajuan pemikiran pada masa khalifah yang empat ini disebabkan kejelian mereka memanfaatkan momen terbukanya keran ijtihad yang dapat memotivasi kebebasan berpikir mereka, serta munculnya kasus-kasus yang belum ada format sebelumnya.
Tak heran jika hasil ijtihad yang mereka lakukan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sangat layak dijadikan sebagai referensi bagi generasi berikutnya. Peran aktif ijtihad pasca sahabat diyakini tidak akan jauh terpisah dari bingkai ijtihad sahabat sebelumnya.
Memosisikan al-Qur’an sebagai petunjuk berarti harus ada upaya yang dilakukan secara terus-menerus untuk menggali makna-makna yang terkandung di dalamnya dan tidak hanya mencukupkan makna-makna yang sudah dicetuskan oleh para pendahulu. Untuk mendapatkan penambahan dan peralihan makna-makna ini, maka kondisi sosial sudah seharusnya dipertimbangkan dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.
Kondisi sosial inilah yang digunakan Nabi Muhammad SAW ketika memberikan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an kepada masyarakat sehingga al-Qur’an dapat mereka jadikan sebagai solusi alternatif terhadap problema-problema yang berkaitan dengan kehidupan mereka ketika itu.
Sebagai solusi alternatif, maka ayat-ayat al-Qur’an selalu berbicara pada tataran universal yang tingkat akurasinya dapat diinterpretasikan dalam konteks lokal agar ayat-ayat al-Qur’an terkesan lebih dinamis, cocok, dan sesuai dengan kapan dan di mana saja. Berdasarkan hal ini, maka pengkajian terhadap ayat-ayat al-Qur’an terus saja berlanjut karena kandungan makna yang terdapat di dalam al-Qur’an memiliki cakupan yang sangat luas.
Isyarat tentang keluasan makna ini disebutkan juga di dalam al-Qur’an yang sekiranya lautan dijadikan tinta dan pohon-pohon dijadikan pena niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah, sebagaimana disebutkan pada surah al-Kahfi 18: 109, surah Luqman 31: 27.
Kedua ayat ini mengisyaratkan bahwa ayat-ayat al-Qur’an adalah multimakna dan karenanya manusia hanya tinggal mencari makna yang sesuai dengan kulturnya. Isyarat ayat ini menurut al-Tsa’alabi menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah lautan penelitian dan pemikiran. Dengan demikian, Allah telah memberikan cahaya ke dalam hati seorang Muslim masing-masing dengan menjadikannya sebagai petunjuk. Pernyataan ayat ini juga dapat dipahami sebagai pernyataan tentang luasnya ilmu Allah dan sifat-Nya yang mutakallim sehingga setiap perkataan-Nya sesuai di segala situasi dan kondisi.
Menurut Ibn Katsir, ayat ini menceritakan tentang kebesaran, keagungan dan kemuliaan Tuhan, nama-nama-Nya yang baik dan sifat-sifat-Nya yang tinggi. Demikian juga halnya dengan kalimat-kalimat-Nya yang sempurna yang tidak dapat dikuasai seorang pun sehingga tidak ada seorang manusia yang mampu mengkaji hakikat dan menghitungnya.
Keluasan makna inilah yang menempatkan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk sehingga setiap generasi sah-sah saja memberikan penafsiran yang berbeda dengan penafsiran sebelumnya sesuai dengan sosio-kultural kehidupan masing-masing. Karena itu, jika ayat-ayat al-Qur’an dipahami hanya memiliki satu makna berarti sudah terjadi pengklaiman terhadap otoritas Tuhan yang memiliki hak paten terhadap makna yang sebenarnya. Jika hal ini terjadi, maka kehadiran al-Qur’an sebagai kitab petunjuk patut dipertanyakan karena penafsiran orang-orang terdahulu terhadap ayat-ayat al-Qur’an boleh jadi tidak relevan lagi dalam konteks kekinian.
Khaled M. Abou el-Fadl sebagaimana yang digambarkan oleh M. Amin Abdullah telah menunjukkan kecemasannya tentang adanya upaya pihak reader (pembaca) yang melangkahi atau ingin menyamai wewenang author (pengarang). Kecemasan Abou elFadl ini disebabkan adanya klaim dari pihak reader yang memberikan pengertian tunggal terhadap teks yang dalam hal ini adalah al-Qur’an yang seolah-olah maknanya hanya satu. Menurutnya, sekiranya hal ini terjadi maka tindakan tersebut dapat dinyatakan sebagai bentuk “despotisme” dan sekaligus sebagai bentuk penyelewengan.
Esensi dan eksistensi al-Qur’an, selain sebagai sumber petunjuk maka al-Qur’an juga adalah sumber utama dan pertama dalam ajaran Islam yang diyakini tetap sesuai dengan perkembangan zaman. Pernyataan yang menyebut bahwa ayat-ayat al-Qur’an shalih li kulli zaman wa makan cocok di segala situasi dan kondisi menunjukkan bahwa penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an tidak pernah berhenti pada suatu masa, tempat, dan generasi.
Mengingat bahwa luasnya cakupan makna yang dapat digali dari ayat-ayat al-Qur’an, maka perangkat-perangkat keilmuan kontemporer seperti bidang sosiologi dan antropologi patut dijadikan sebagai alat bantu untuk memahami keluasan makna-makna dari ayat-ayat al-Qur’an.
Dalam tataran ini, diperlukan sifat selektif dalam menggunakan perangkat-perangkat klasik karena dikhawatirkan bahwa perangkat-perangkat yang dimaksud dapat membatasi keluasan makna ayat-ayat al-Qur’an. Pembatasan makna ini akan berimplikasi kepada esensi dan eksistensi al-Qur’an yang kemungkinan pemaknaan terhadap suatu ayat dapat menjadi petunjuk pada suatu masa, tetapi tidak pada masa-masa berikutnya. Karena itu, penggunaan perangkat sabab al-nuzûl harus dipahami sebagai alat bantu untuk memahami ayat-ayat bukan untuk mencari makna satu-satunya.
Ungkapan bahwa yang dilihat dari al-Qur’an adalah “lafaznya yang umum bukan sebab yang khusus”, pada dasarnya mengindikasikan bahwa pesan-pesan al-Qur’an tetap sejalan dengan perubahan sosial. Di sinilah letak pentingnya mendudukkan posisi al-Qur’an sebagai kitab petunjuk yang kehadirannya dapat dijadikan kontribusi oleh semua pihak. Karena itu, ayat-ayat al-Qur’an pada prinsipnya adalah acuan pada tataran filosofis, bukan pada tataran praktis.
Ketika al-Qur’an menyatakan bahwa hukuman bagi seorang pembunuh adalah dibunuh (qishash), maka yang seharusnya menjadi kajian adalah kriteria dari suatu pembunuhan, bukan alat yang digunakan untuk membunuh. Melalui kriteria ini, maka perbuatan-perbuatan lain yang berindikasi kepada pembunuhan dalam kehidupan modern ini dapat dimasukkan ke dalam kriteria yang terdapat dalam ayat.
Bila al-Qur’an dipahami sebagai acuan pada tataran filosofis, maka petunjuk-petunjuk al-Qur’an dimaksud tidak mesti diterjemahkan dalam format yang kaku, karena al-Qur’an tidak pernah menetapkan hukum dalam format tertentu dan begitu juga cara pelaksanaannya. Adapun yang ditetapkan al-Qur’an adalah prinsip-prinsip dasar untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.
Kemaslahatan yang dimaksud tidak mesti mengacu kepada satu format tertentu karena lingkungan, masa, dan situasi yang manusia hidup di dalamnya senantiasa mengalami perubahan. Karena itu, suatu hukum dapat mewujudkan kemaslahatan pada waktu tertentu, akan tetapi belum tentu dapat diwujudkan pada waktu yang lain.
Petunjuk ini diuraikan dalam bentuk aturan-aturan yang kadang-kadang dilakukan melalui perintah dan larangan. Konsekwensi dari aturan-aturan ini dapat ditandai dengan penghargaan bagi yang menaatinya dan hukuman bagi yang melanggarnya. Para ulama sepakat menempatkan al-Qur’an pada posisi pertama dalam menetapkan hukum, meskipun al-Qur’an sendiri tidak pernah menyatakan hal ini secara tegas. Kesepakatan ini dilandasi melalui pernyataan al-Qur’an bahwa ia sebagai kitab petunjuk bagi semua umat manusia.
Menurut catatan Abd al-Wahhab Khallaf bahwa penafsiran yang beragam terhadap ayat-ayat al-Qur’an sudah pernah dilakukan pada masa sahabat khususnya ketika menafsirkan nash-nash hukum dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Interpretasi sahabat yang beragam ini, menurut Khallaf, dapat dijadikan sebagai referensi hukum dan begitu juga hasil fatwa-fatwa mereka yang tidak ada ketentuannya dalam nash dapat dianggap sebagai dasar ijtihad dan istinbath.
Adapun sumber tasyri’ pada fase ini menurut Shubhi al-Mahmashani adalah al-Qur’an dan al-sunnah, kemudian ijtihad (bila mana tidak terdapat informasi dari kedua sumber ini). Metode yang mereka tempuh ialah berpegang kepada ma’qul al-nash (yaitu illat yang dimaksudkan oleh Syari’ dalam hukum syariat yang kadang-kadang bisa saja berbeda dengan zhahir nash). Mereka juga menggunakan qiyas dengan melihat hikmah dan illat. Adapun keputusan yang tidak ada nash, maka para sahabat ini mengambil jalan musyawarah yang disebut dengan ijma’.
Terinspirasi dari perbuatan sahabat ini, maka terma-terma yang selama ini sudah dianggap baku oleh sebagian orang dicoba ditafsirkan ulang (reinterpretasi) karena terma-terma yang lama sudah tidak sesuai lagi dengan keberadaan masyarakat sekarang. Sebagai contoh, ulama dahulu memahami bahwa yang dimaksud dengan pencuri dalam ayat al-Qur’an adalah “seseorang yang mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi”.
Penafsiran ini tentu saja masih relevan dalam dunia modern, namun tidak harus terhenti kepada satu makna, karena pencuri dalam dunia modern sekarang tidak hanya terbatas kepada harta, tetapi merambah ke format-format yang lain dengan modus yang berbeda-beda pula.
Kelompok yang merasa kurang puas dengan penafsiran tunggal ini akhirnya berusaha menggali pesan-pesan al-Qur’an melalui pendekatan yang berbeda-beda. Bila pada pemikiran klasik mendekati ayat-ayat al-Qur’an hanya melalui satu metode saja, maka pemikiran modern akan mendekatinya melalui berbagai aspek seperti kebudayaan dan teknologi.
Tak hanya itu, kemudian kelompok ini juga tidak menutup diri dari teori-teori dan metode-metode yang diketemukan oleh orang-orang yang non-Muslim dan bahkan penemuan mereka ini dianggap sebagai kontribusi dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.
Ketidakpuasan sebagian orang kepada penafsiran tunggal terhadap ayat-ayat al-Qur’an menyebabkan muncul upaya-upaya reinterpretasi. Kemunculan pemikiran ini disebabkan bahwa penafsiran tunggal terhadap pesan-pesan al-Qur’an tidak membumi dalam kehidupan masyarakat karena perubahan sosio-kultural sudah semakin jauh.
Beranjak dari ketidakpuasan inilah, maka muncul pemikiran untuk menafsirkan kembali ayat-ayat al-Qur’an yang sesuai dengan konteks budaya atau (kalau di Indonesia) yang bercorak Indonesia agar posisi al-Qur’an sebagai kitab petunjuk benar-benar membumi dalam kehidupan. Wallahu a’lam bisshawaab.
*****
Editor: Moch Aldy MA