“Warga Yogyakarta Melawan Klitih”
Tulisan dalam spanduk yang terpasang di salah satu sudut Yogyakarta itu menyatakan kegelisahan masyarakat pada fenomena klitih sekaligus menunjukkan bagaimana klitih telah menjadi ancaman serius yang meneror warga.
Yang disebut sebagai klitih adalah sekelompok remaja yang menyerang warga biasa di jalanan secara acak. Bukan untuk mengambil harta layaknya begal, klithih hanya sekadar menyerang saja. Klitih pada awalnya adalah istilah dalam bahasa Jawa yang berarti aktivitas santai yang dilakukan dengan berkeluyuran di malam hari. Makna istilah ini mulai bergeser ketika klitih dikaitkan dengan adanya tindak kekerasan jalanan, seperti perkelahian antar kelompok, geng motor, hingga tawuran remaja.
Klitih bukan lagi sebuah kenakalan remaja, namun telah menjadi kriminalitas remaja. Meskipun begitu, saya tetap tidak setuju dengan pendapat bahwa klitih harus dihukum layaknya kriminal dewasa. Suatu penyimpangan oleh remaja tidak bisa kita hadapi dengan langkah-langkah represif. Perlu adanya pendekatan yang kuratif dengan melibatkan semua peran yang terkait, khususnya keluarga dan pendidikan. Di samping itu kita perlu mempertanyakan, mengapa seseorang tetap melakukan penyimpangan meskipun dia tahu bahwa perilakunya adalah sesuatu yang menyimpang? Tentu ada persoalan yang menjadi akar dari fenomena klitih ini.
Akar Masalah
Dalam opininya di Kedaulatan Rakyat, Bernando J Sujibto, dosen sosiologi di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, mengemukakan beberapa hal yang mendasari kemunculan klitih. Menurutnya, sebagai produk dari sistem sosial yang terisolasi dan terfragmentasi, fenomena klithih telah menjadi konsekuensi logis dari sistem integrasi sosial yang lemah dari kondisi masyarakat urban Yogyakarta. Saya setuju dengan argumen tersebut. Namun kemudian, Bernando menyoroti faktor-faktor yang memungkinkan remaja terjerembab dalam dunia klitih: lahir dari keluarga dengan sistem integrasi yang lemah, kekerasan, terkucilkan dalam pendidikan, broken home, ekonomi yang menurunkan tingkat kesejahteraan, hingga agama. Faktor-faktor ini memang sangat memungkinkan, namun dalam pandangan saya cenderung terlalu normatif.
Kita tidak bisa mengatakan secara dini bahwa klitih, secara umum, disebabkan oleh faktor keluarga yang broken, tingkat kesejahteraan yang rendah maupun terkucilkan dari lingkungan pendidikan. Dalam video tentang klithih yang diunggah oleh Kumparan di YouTube, disebutkan bahwa 70% dari tersangka klithih di Yogyakarta adalah remaja belasan tahun yang duduk di bangku SMP ataupun SMA. Mereka adalah remaja yang berkesempatan untuk mengenyam pendidikan yang setara seperti remaja umumnya.
Para remaja ini berusaha merumuskan ulang identitas dirinya melalui proses aktualisasi diri di dalam lingkungan kelompok tertentu yang dikehendaki termasuk dalam aktivitas yang merangsang kegairahannya. Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh Kumparan terhadap anggota geng klitih yang sedang menjalani masa hukuman di lembaga pembinaan khusus anak kelas II Wonosari, Gunungkidul, disebutkan bahwa pada mulanya individu remaja memiliki relasi dengan kakak kelasnya setelah melalui proses uji coba (rayen/ospek). Hal itu membuat rasa bangga dan hebat tertanam di dalam benak individu remaja.
Dari pengakuan anggota geng tersebut, terlihat bahwa klitih terorganisir dengan baik. Ini bertentangan dengan pendapat Bernando yang menyatakan bahwa secara teori klitih ini belum memiliki kematangan gerakan, strategi yang terstruktur, dan bentuk-bentuk relasi finansial yang kuat. Pada kenyataannya, sifat geng mereka cukup terorganisir dengan adanya pembagian tugas, yakni koordinator, leader jalan, bendahara, dan anggota. Kemudian mereka membagi aktor aksi menjadi dua peran, yakni jongki (penyetir) dan fighter (penyerang). Bahkan dalam geng terdapat aturan kas untuk kepentingan geng itu sendiri.
Imbalan dan Eksistensi
Klitih telah menjadi subkultur yang menggairahkan bagi sebagian remaja. Eksistensi klitih ini didasarkan pada solidaritas yang kuat di dalam geng tersebut. Relasi yang dibangun juga bersifat timbal-balik. Individu remaja akan menginternalisasi nilai-nilai yang dianut oleh suatu kelompok; sedangkan kelompok mentransformasikan nilai-nilai yang dianutnya terhadap individu remaja. Pola-pola dalam kompleksitas kehidupan sosial di dalam kelompok ini tentu dijembatani oleh konsensus dari nilai-nilai sosial yang melembaga. Di samping itu, individu remaja pasti akan tertarik masuk ke dalam suatu kelompok di mana ia merasakan bahwa relasi yang dibangun cukup memberikannya penghargaan daripada kelompok-kelompok atau lingkungan yang lain.
Baca juga Siapa Itu Jamet Kuproy?
Merujuk pada pandangan sosiolog Austria Peter Blau, kita bisa mengatakan bahwa individu remaja tertarik masuk ke dalam suatu kelompok dengan tujuan agar bisa diterima dalam pergaulan. Blau menggunakan konsep cost (biaya) dan reward (imbalan) dalam menjelaskan teori pertukaran sosialnya. Keinginan individu remaja untuk dapat diterima dalam suatu kelompok adalah dengan berupaya mengesankan kelompok tersebut.
Hal yang mendasari proses ini adalah fenomena daya tarik imbalan. Imbalan yang dimaksud di sini berupa afeksi, kasih sayang, pengakuan, ataupun kehormatan. Individu remaja yang telah mengaktualisasikan keberadaan dirinya dengan aksi klithih untuk tujuan-tujuan di atas mengindikasikan adanya “transaksi sosial”, yakni ketika individu remaja telah melakukan aksinya, maka dia akan diterima dalam lingkungan pergaulan ataupun mendapatkan pengakuan eksistensial.
Imbalan-imbalan yang datang adalah mekanisme pemeliharaan kekuatan kelompok. Imbalan ini mencerminkan tindakan persetujuan dari individu remaja terhadap nilai atau norma kelompok yang sudah disepakati bersama. Nantinya individu remaja akan mendapatkan imbalan yang bersifat afeksi dari kelompok tersebut.
Mereka menjadi klitih bukan karena keluarga yang broken, kondisi ekonomi yang lemah, atau terkucilkan dari pendidikan formal. Mereka menjadi klitih didorong oleh kebebasan, kesenangan, dan kegairahan. Mereka menemukan kegairahan dan kesenangan yang tidak ditemukan di dalam budaya arus utama, keluarga maupun pendidikan formal.
Ketika kita mengetahui alasan remaja menjadi bagian klitih, kita bisa mencari cara yang tepat untuk membuat mereka tak lagi mencari kegairahan lewat klitih.