Saya mulai tertarik dengan istilah jamet ini ketika nongkrong di suatu kedai kopi yang sederhana. Saat itu ada teman saya yang berganti merk rokok dari Magnum Mild Blue menjadi Sampoerna Mild. Alasannya cukup tidak masuk akal, yaitu karena rokok Magnum Mild Blue dianggap sebagai rokok jamet. Sebenarnya saya sendiri sudah tahu istilah jamet ini sejak lama. Namun dengan adanya satu momen tadi, maka saya merasa bahwa ada “tragedi kebudayaan” dalam istilah jamet tersebut.
Istilah jamet sebenarnya sudah populer sejak tahun 2010-an. Pada masa sekarang, istilah ini kembali populer setelah dibangkitkan oleh munculnya video-video TikTok yang mengidentifikasi orang-orang atau kelompok sosial dengan fesyen dan model rambut yang dianggap norak dan tidak luwes—untuk standar kaum urban kelas menengah ke atas. Jamet sendiri diartikan sebagai “jablay metal”, “janda metal”, “jajal metal”, namun kemudian lebih populer sebagai “Jawa metal”. Istilah yang bersifat peyoratif ini merujuk pada suatu gaya, di mana ada kelompok sosial dengan gaya yang dianggap kampungan, norak, dan tidak matching. Orang-orang dengan gaya rambut emo, celana pensil yang ketat atau robek, maupun pakaian yang kedodoran diidentifikasi oleh kaum urban sebagai golongan jamet.
Sebenarnya istilah jamet dapat disandingkan dengan istilah alay—istilah yang pernah populer juga di era 2000-an ke atas. Kita juga bisa menandai bahwa jamet adalah rekonstruksi istilah alay dengan bentuknya yang baru. Kategorisasi jamet meliputi banyak hal, mulai dari ideologi, selera, tingkah laku, fesyen, hingga model typing di media sosial. Bahkan kategorisasi ini meluas sampai pada penggunaan kendaraan dan jenis rokok tertentu. Dalam konteks sekarang, jamet disandingkan dengan kuproy (kuli proyek). Kemunculan istilah kuproy ini diawali dengan beredarnya video tarian sekelompok orang yang pernah viral di media sosial. Sekelompok orang yang diduga sebagai pekerja kuli proyek itu menampilkan Tari Indang (Dindin Badindin).
Penyematan istilah peyoratif jamet kuproy terhadap orang-orang Jawa dengan gaya tertentu umumnya dilakukan oleh kaum urban kelas menengah perkotaan. Mereka merasa bahwa selera jamet kuproy ini cukup tertinggal dan terbelakang. Di sini kita bisa memahami bahwa identitas kaum urban perkotaan adalah identitas kekinian yang dibawa oleh budaya global, sedangkan jamet kuproy sendiri dapat kita identifikasi sebagai kelompok sosial dengan identitas subkultur di dalam arus globalisasi atau universalisme identitas kaum urban modern. Namun pertanyaannya: bagaimana sebuah identitas dapat dikatakan tertinggal dan terbelakang? Lalu apakah jamet kuproy ini hanyalah sebuah wacana atau memang eksis di dunia nyata?
Selera Sosial
Michel Foucault, seorang filsuf post-strukturalisme berargumen bahwa wacana adalah cara-cara tertentu yang digunakan untuk mengorganisir pengetahuan untuk melayani jenis-jenis kekuasaan. Di satu sisi, kekuasaan menghasilkan pengetahuan. Di sisi lain, pengetahuan juga menghasilkan kekuasaan. Di sini media memiliki peran kunci dalam memainkan dinamika sosial.
Baca juga: Apa itu Cantik?
Mengingat permulaan istilah jamet kuproy ini hadir dalam wacana publik melalui media sosial, maka dapat dikatakan bahwa jamet kuproy adalah sebuah wacana yang sengaja diciptakan oleh jenis khusus kekuasaan untuk membentuk pengetahuan orang-orang mengenai kategorisasi identitas jamet kuproy itu sendiri. Kemudian jamet kuproy menjadi sebuah istilah peyoratif yang digunakan untuk memberikan makna “merendahkan” orang-orang dengan selera sosial dan kecenderungan tertentu. Dalam artian bahwa jamet kuproy adalah istilah yang sengaja diciptakan untuk mendefinisikan orang-orang dengan gaya atau selera tertentu.
Wacana-wacana yang sudah dijelaskan tadi mampu membuat orang-orang dapat mengkategorisasikan seseorang atau kelompok sosial yang dianggap sebagai jamet kuproy. Jamet kuproy diidentikkan dengan kesamaan selera dalam hal penggunaan objek-objek budaya—sama halnya dengan kaum urban. Gagasan tentang jamet kuproy sendiri digunakan sebagai legitimasi bagi upaya superioritas kaum urban terhadap inferioritas kelompok yang dikategorikan sebagai jamet kuproy.
Seperti halnya anggapan tentang “kampungan” yang disematkan pada jamet kuproy menyiratkan adanya penyimpangan makna mengenai istilah itu sendiri. Kampung diidentikkan dengan tradisionalisme dan keterbelakangan budaya; sedangkan kota diidentikkan dengan modernisme dan kemajuan. Konsekuensi yang hadir adalah munculnya perasaan malu dan inferior ketika seseorang dikatakan sebagai golongan jamet kuproy ataupun “kampungan”. Hal inilah yang menjadi indikasi kekerasan simbolik.
Kekerasan simbolik sendiri merupakan gagasan populer dari sosiolog asal Prancis, Pierre Bourdieu. Kekerasan simbolik adalah suatu wujud kekerasan nonfisik yang terwujud dalam perbedaan kekuasaan antar kelompok sosial. Kekerasan jenis ini mencerminkan adanya pemaksaan preferensi dalam nilai-nilai budaya, selera, gaya, dan keyakinan dari tipe ideal dan nilai-nilai yang dominan. Hal ini dianggap sebagai sesuatu yang wajar karena kelompok urban yang mendominasi mampu membuat kelompok yang didominasi menerima keadaan mereka sebagai sesuatu yang sah atau “begitulah kenyataannya”. Selain itu, kekerasan simbolik ini dinormalisasi karena adanya konsep kemajuan dalam era modern.
Kelompok urban mendefiniskan diri mereka sebagai bagian dari orang kota yang gaul, trendi, modern, dan mampu untuk mengikuti perkembangan jaman—dalam hal fesyen, pengetahuan, budaya maupun tingkah laku. Jika kita merujuk pada pemikiran Baudrillard, seorang tokoh postmodernisme ekstrem, maka dapat dikatakan bahwa kelompok urban tersebut mengikuti “logika tanda” yang ada pada objek-objek konsumsi dan budaya.
Menurut Baudrillard, sistem produksi dan konsumsi pada masa sekarang mampu menanamkan nilai, gagasan, dan konsep tentang kemajuan pada objek-objek tersebut. Ditambah lagi, makna tentang penggunaan objek-objek konsumsi tersebut disebabkan oleh penyusupan nilai-nilai pada berbagai tontonan—televisi, iklan, media sosial—yang mampu mendorong seseorang untuk lebih banyak membeli, mengonsumsi, dan mengubah identitasnya sesuai dengan kepentingan pasar. Dalam hal ini, kapitalisme menyediakan nilai-nilai kemajuan melalui permainan “nilai tanda” yang ada pada objek-objek konsumsi dan budaya.
Dimunculkannya wacana jamet kuproy oleh kaum urban sendiri tidak lain sebagai upaya untuk meng-eksis-kan identitas kaum urban yang fashionable. Hal ini dikarenakan suatu identitas hanya dapat eksis ketika ada identitas yang lain. Dalam artian bahwa identitas terbentuk melalui mekanisme pembedaan dalam hubungan sosial yang lebih luas.
Namun superioritas yang dilakukan oleh kaum urban kepada kelompok yang disebut sebagai jamet kuproy menyiratkan adanya pemaksaan untuk mematuhi aturan-aturan tren yang selalu berkembang, sesuai dengan selera sosial kaum urban yang modern. Jika mereka tidak mampu mematuhi aturan-aturan tren dan selera sosial yang universal, maka mereka tidak dapat menjadi bagian dari orang-orang modern yang dianggap maju dalam segi pengetahuan, selera, dan budaya.
Dari sini jelas bahwa konsep kemajuan membawa efek kuasa dari kaum urban dalam memosisikan dirinya “lebih tinggi” dari kelompok yang diidentifikasi sebagai jamet kuproy. Mereka jauh lebih mampu untuk berbicara tentang istilah yang disematkan terhadap kelompok tertentu yang mereka ciptakan sendiri dalam bentuk diskursus. Selain itu terdapat adanya oposisi biner mengenai selera sosial. Bourdieu juga pernah mengatakan bahwa selera hanya dapat eksis ketika ada barang-barang atau hal-hal yang dikelas-kelaskan. Pemaksaan preferensi sosial-budaya secara tersirat ini justru melahirkan bentuk kekerasan simbolik yang dinormalisasi dan dianggap sebagai sesuatu yang “wajar” dalam kehidupan sosial.