Hari mulai gelap, jam dinding yang digantung pada sisi tengah gardu pos satpam menunjukkan pukul lima lebih empat puluh lima menit. Azan magrib telah selesai dikumandangkan, orang-orang sedang khusyuk beribadah salat magrib di rumahnya masing-masing. Ada juga yang salat berjamaah di musala dekat pertigaan desa. Bu Rusmi dan anak perempuan bungsunya yang masih berumur empat tahun tampak duduk termenung di bawah gapura desa dengan sepeda ontel yang bersandar lesu bersama dua karung jeruk dagangannya. Ia masih menunggu pengepul jeruk yang biasa mengambil dagangannya itu.
Biasanya dagangannya itu diambil setiap lima hari sekali, tepatnya pada hari pasaran Pahing pada pukul tiga sore atau paling lambat pukul empat. Namun berbeda dari hari biasanya, kali ini Bu Rusmi harus menunggu pengepul itu datang sedikit lebih lama. Sorot lampu mobil kap terbuka dari arah timur selalu mengagetkannya, berharap kalau itu adalah mobil si pengepul. Sayang, sudah lebih dari tiga jam ia menunggu di bawah gapura tua itu, si pengepul tak kunjung datang.
Hati Bu Rusmi semakin resah. Selain karena harus segera mendapat uang untuk kebutuhan sehari-hari, jeruk-jeruk itu harus segera dijual dan didistribusikan kepada para konsumen agar tidak membusuk dan sia-sia. Kalau tidak ada pengepul yang mengambilnya malam ini, bagaimana ia bisa berbelanja kebutuhan dapur besok pagi?
Belum lagi suami dan ibu mertuanya di rumah yang siap membanjirinya dengan cercaan dan amarah yang meledak-ledak lantaran ia tidak bisa bertanggung jawab atas jeruk-jeruk hasil panennya itu. Dengan hati yang cemas dan resah, Bu Rusmi tiba-tiba teringat dengan seorang pedagang buah yang pernah dikenalkan oleh saudaranya. Rumahnya tak jauh dari gapura itu. Paling-paling jika ditempuh dengan sepeda motor hanya membutuhkan waktu lima belas menit saja. Namun jika ditempuh dengan sepeda ontel dengan beban dua karung jeruk dan seorang anak yang terkadang rewel bisa-bisa memakan waktu satu sampai dua jam. “Ah, sudah biasa.” katanya dalam hati sebelum sepeda ontel itu ia kayuh ke arah barat.
Dan benar saja, di tengah perjalanan saat nafasnya terengah-engah mengayuh sepeda pada jalan tanjakan, anak perempuan itu benar-benar rewel. Ia tiba-tiba menangis merengek minta dibelikan mainan yang dilihatnya di pinggir jalan. Mulanya Bu Rusmi tak peduli. Mana bisa ia menuruti rengekan Riri, anak perempuannya itu sedangkan sepeser pun ia belum menerima uang hari ini.
“Riri! Kamu bisa diam tidak?” bentak Bu Rusmi dengan nafasnya yang masih terengah-engah.
“Aku mau dibelikan mainan truk tadi, Bu!” rengek Riri sambil menangis di pinggir jalan.
“Riri, mainan truk itu untuk anak laki-laki. Lagian kamu kan juga sudah besar?”
Dasar anak nakal, tangisan Riri makin menjadi. Sambil menangis di pinggir jalan, jeruk-jeruk dalam karung itu ia tendang dan pukul untuk meluapkan amarahnya dan tentu saja, agar Bu Rusmi mau menuruti keinginannya. Lagi-lagi, Bu Rusmi harus mengalah dengan keadaan. Tanpa sepeserpun uang ia datangi penjual mainan itu. Bu Rusmi bernegosiasi dengan pelik agar bisa mendapatkan mainan itu lalu membayarnya nanti setelah jeruk-jeruk itu laku terjual.
“Namanya juga anak kecil, Bu. Ndakpapa! Tapi kok ya mintanya yang paling mahal to, Nduk? Sudah tahu ibunya gak punya uang. Hehehe!” kata si penjual mainan sebelum merelakan dagangannya dibawa pergi Bu Riri tanpa jaminan apapun.
Dengan rasa tak enak hati, cemas bercampur was-was, Bu Rusmi memberikan truk mainan itu pada Riri yang duduk di bagian boncengan sepeda, di antara dua karung jeruk yang tergantung di sisi kanan dan kiri sepeda ontelnya. Dalam hatinya was-was, apakah penjual buah yang bukan pengepul itu mau membeli dagangannya? Apakah uang hasil penjualan jeruknya malam itu cukup untuk membayar truk mainan Riri? Dan akan semarah apa suami dan ibu mertuanya nanti setibanya ia di rumah? Pikiran itu terus menyelimuti hati Bu Rusmi, sampai ia benar-benar tiba di rumah pak Banu, pedagang buah yang ia tuju malam itu.
“Sebenarnya nanti malam juga mau datang jeruk yang dari Jember Bu, tapi ya wes ndakpapa. Daripada Njenengan pulang bawa dua karung lagi, kasihan.” Kata Pak Banu iba.
Dua karung jeruk itu ditimbang bergantian. Masing-masing beratnya dua puluh dan dua puluh satu kilo. Ternyata, dengan kakinya yang varises itu, Bu Rusmi telah mengayuh dengan hampir lima puluh kilo beban ditambah berat badannya sendiri, pada sepeda ontel yang selama hampir sepuluh tahun telah menjadi kawan banting tulangnya. “Sudah biasa.”
Lagi-lagi hatinya berbisik bahwa ia kuat dan sudah terbiasa dengan puluhan kilo beban yang harus diboncengnya.
Baginya, puluhan kilo beban itu tidak ada apa-apanya dibanding beban yang ia rasakan tatkala berada di rumah bersama suami dan ibu mertuanya. Suaminya yang bekerja sebagai petani itu hobi sekali berjudi. Uang-uang yang dikumpulkan Bu Rusmi untuk keperluan penting dan mendesak acap kali raib dirampas suaminya untuk berjudi.
“Nanti kan kalau aku menang kamu pasti dapat dua kali lipat dari ini! Jadi istri kok gak manut suami!” Hardik suaminya sesekali dikala uangnya telah raib kalah judi.
“Pak! Judi itu dosa lo!” ribuan kali kalimat itu keluar dari mulut Bu Rusmi, terhitung sejak awal pernikahan mereka dua puluh tahun lalu.
“Halah! SD gak lulus aja, berani-beraninya nyeramahin suami! Mau kualat kamu?” Ancam suami Bu Rusmi sebelum kembali pergi ke tempat perjudiannya. Lagi-lagi Bu Rusmi hanya bisa mengelus dadanya yang acap kali sesak menahan kecewa.
Sebenarnya, saudara-saudaranya sudah sedari dulu mengingatkan Bu Rusmi untuk meminta cerai dari suaminya. Begitu juga anak sulungnya yang kini berusia sembilan belas tahun—yang sebentar lagi akan menikah. Sejak masih berusia lima belas tahun, saat ia duduk di bangku kelas tiga SMP, ia sudah sangat siap hidup berdua saja dengan ibunya. Sayang, tak lama kemudian ia mendapati ibunya mengandung adik perempuannya itu. Keinginannya untuk terbebas dari ayah dan neneknya harus ia urungkan entah sampai kapan.
Fitri, anak sulung Bu Rusmi itu, benar-benar membenci ayah kandungnya sendiri. Meskipun ayahnya tak pernah memukul, mencubit, atau melukai dirinya, namun perlakuan ayah pada ibunya membuat Fitri benar-benar muak. Kejadian terakhir sebelum Fitri benar-benar ingin membakar ayahnya hidup-hidup adalah pada saat ia mendengar ayahnya mengancam Bu Rusmi, bahwa ia akan menjual ladangnya jika Bu Rusmi tidak mau membujuk Fitri untuk segera menikah dengan laki-laki kaya yang menyukai anak perempuannya itu. Dengan begitu, Pak Kasmin, begitu ia akrab disapa, bisa memanfaatkan kekayaan calon menantunya itu.
Dalam hati Fitri, sebenarnya ia masih ingin bekerja dan mengumpulkan uang agar bisa membawa ibunya pergi dari neraka kecil itu. Namun di sisi lain, ia tidak tega apabila ibunya mendapati ladangnya benar-benar dijual oleh laki-laki yang sering ia sebut “berandal” itu. Padahal ia tahu, ladang yang akan dijual itu adalah peninggalan kakeknya dan dari situlah keluarga itu bisa hidup dan makan sehari-hari. Mau tidak mau, Fitri mesti mengalah. Lagi-lagi untuk siapa kalau bukan untuk Bu Rusmi seorang.
Bu Rusmi sebenarnya sudah bernegosiasi dan mengusahakan agar anak sulungnya bisa bekerja dan melanjutkan impiannya. Namun suaranya selalu kalah dua-satu dengan suami dan ibu mertuanya.
“Kamu tuh jadi istri mbok ya sing manut sama suamimu! Wong sudah berumah tangga puluhan tahun kok ya gak pinter-pinter kamu itu, Mi!” Hardik ibu mertua yang selalu membela anak laki-laki kesayangannya.
“Fitri itu masih sembilan belas tahun lo, Buk. Baru lulus SMA. Dia juga pengen cari uang seperti teman-temannya.”
“Kamu itu goblok ya, Mi! Anakmu itu mau dinikahi anaknya Pak Bandi, yang punya toko kelontong paling besar di desa ini. Orang kaya raya itu, Mi! Kalau anakmu dinikahi anaknya Pak Bandi, ngapain harus repot-repot kerja cari duit? Otakmu itu ke mana?” lagi-lagi ibu mertuanya menghardiknya dengan berbagai cercaan dan Bu Rusmi hanya bisa diam sambil menghela nafas panjang-panjang.
Di lain hari, sepulangnya Bu Rusmi dari ladang untuk memanen jeruk yang akan ia antar ke pengepul seperti biasa, Fitri telah menyambutnya dengan secangkir teh hangat, sehangat kasihnya kepada ibunya itu.
“Bu, aku nikah aja deh. Gak tega aku lihat Ibu dirundung dua manusia itu tiap hari.” pasrah Fitri di depan ibunya yang masih bercucuran keringat siang itu.
“Terus mimpimu buat kerja kaya teman-teman kamu, gimana?” sambil memegangi gagang cangkir berisi teh hangat, mata Bu Rusmi mulai berkaca-kaca.
“Nggak.” Fitri mulai putus asa.
“Nanti kalau aku nikah sama Mas Reno, anaknya Pak Bandi, aku bisa hidup layak. Aku pasti akan bawa Ibu pergi dari neraka kecil ini dan tinggalin berandal kesayangan Ibu itu!” tambahnya.
“Sssshhh!! Ndak baik bilang begitu! Biar begitu, dia tetap bapakmu.” Bu Rusmi tenang.
“Biar bagaimanapun, Ibu ndak mungkin ninggalin bapak dan nenekmu. Nenekmu semakin tua, bapakmu juga. Siapa yang akan merawat mereka kalau bukan Ibu? Ibu ndak mau durhaka. Kasihan juga adikmu, masih kecil masa harus berpisah dari bapaknya.” tambahnya, tetap tenang.
“Bu! Sejak aku masih kecil, aku memang hidup satu atap dengan bapak. Tapi apa pernah bapak menunjukkan figurnya sebagai bapak? Laki-laki bisanya cuma minta duit, kalau nggak ke istrinya ya ke ibunya. Laki-laki macam apa itu? Dasar berandal!” sambil marah, mata Fitri mulai berkaca-kaca. Ia pun beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan Ibunya bersama secangkir teh yang ia seduhkan tadi.
Seperti biasa, Pak Kasmin sedang tidak ada di rumah saat istrinya sedang sibuk bekerja. Ia sedang asyik berjudi togel di siang hari, dan bermain remi saat malam tiba. Sedang ibu mertuanya, sudah pasti sedang tidur siang karena tugas-tugas nya seperti menyapu halaman, menyapu lantai ruang tamu, dan menggunjing dengan tetangga sudah selesai ia lakukan. Si kecil Riri sedang bermain bersama teman-temannya. Hanya Fitri yang kerap membantunya. Namun karena suasana hatinya hari ini sedang tidak baik-baik saja, ia memilih mengurung diri di kamar tanpa membantu ibunya. Dengan pikiran yang carut marut dan perasaan yang gundah, Bu Rusmi melanjutkan pekerjaannya. Ia memilah-milah jeruk yang akan dia antar ke pengepul sore ini. Tanpa mengeluh Bu Rusmi terus mengerjakan pekerjaannya dengan penuh semangat. Hingga tiba-tiba ia mendengar ada orang minta tolong dari dalam rumahnya.
“Mi!!! Tolong Mii!!!” suara Ibu mertua Bu Rusmi kesakitan minta tolong.
Dengan sigap Bu Rusmi segera menuju arah suara dari kamar Ibu mertuanya. Jeruk-jeruk yang sedang ia pilah di teras belakang rumah ia tinggal begitu saja. Tak lama kemudian ia mendapati ibu mertuanya tergeletak di bawah tempat tidur dengan jeritan yang masih sama.
“Mi!! Tolong Mii!!” dan terus begitu.
Dengan tenaganya yang sudah terkuras habis karena telah bekerja di ladang seharian, Bu Rusmi mencoba mengangkat ibu mertuanya seorang diri. Badan ibunya kaku, terasa lebih berat dari yang semestinya. Bu Rusmi lantas memanggil Fitri yang sedang murung di kamarnya.
“Fitri! Kamu nggak denger nenekmu minta tolong dari tadi?” tanyanya heran penuh dengan emosi kepada Fitri.
Sebenarnya Fitri sudah mendengar neneknya minta tolong sedari tadi. Bagaimana tidak, kamar Fitri tepat berada di sebelah kamar neneknya. Telinganya mendengar dengan jelas, namun hatinya tak tergerak untuk melakukan apapun. Ia selalu mengingat kejadian buruk sepuluh tahun yang lalu, dan tentunya kejadian beberapa hari belakangan yang disebabkan oleh neneknya itu. Hatinya tak tergerak meski neneknya meminta tolong kesakitan di depan matanya sekalipun.
“Bantu ibu angkat nenekmu ke dipan, lalu cari bapakmu di rumah Pak Narto! Bilang kalau nenek jatuh!” dengan terengah-engah, Bu Rusmi memberikan instruksi kepada Fitri yang berdiri tak peduli di depan pintu kamar neneknya.
“Ck!” mulutnya hanya mengecap penuh jengkel.
Sementara Fitri mencari ayahnya yang sedang berjudi togel di rumah Pak Narto, Bu Rusmi menghubungi tetangga terdekatnya untuk dimintai bantuan. Ada yang coba memijat badan Mbah Suti, begitu ia akrab disapa, ada yang antusias menanyainya, ada pula yang pergi memanggil mantri untuk memeriksa keadaan ibu mertua Bu Rusmi. Sesampainya mantri di rumah Bu Rusmi, ia lantas memeriksa tekanan darah, suhu tubuh dan segala macamnya.
“Sepertinya Mbah Suti ini terkena gejala stroke, Bu. Kalau ada gejala mual, muntah, dan masih seperti tadi saya sarankan untuk rawat inap di rumah sakit.” Tegas mantri yang memeriksa ibu mertua Bu Rusmi siang itu.
Stroke. Mbah Suti ibu mertua Bu Rusmi terkena serangan stroke. Itu artinya, segala aktivitasnya tak bisa ia lakukan sendiri. Mulai dari mandi, buang air, ganti baju, makan, dan segala macamnya, harus ada orang yang membantunya. Sudah pasti orang itu adalah Bu Rusmi. Bu Rusmi-lah yang akan memastikan ibu mertuanya sudah mandi, bisa buang air, berganti pakaian, dan tentunya makan dengan kenyang. Fitri, kalau bukan karena iba melihat ibunya kelelahan, ia tak akan sudi mengurusi neneknya yang telah berlaku jahat pada dirinya dan ibunya itu.
Sementara Pak Kasmin, ayah Fitri, tak pernah sekalipun menyentuh tubuh ibu kandungnya itu selama sakit. Pak Kasmin tidak peduli meskipun ibunya telah terbujur kaku hanya bisa mendengar ia berbicara dan sesekali merespon dengan kedipan mata. Rutinitasnya tiap hari adalah pergi ke ladang saat pagi dan akan segera pulang jika sudah pukul sepuluh atau kadang lebih awal. Selebihnya, kadang ia bercengkrama bersama tetangga depan rumah sambil memamerkan anaknya yang sebentar lagi akan dinikahi laki-laki kaya di desanya. Dan sebagai rutinitas wajibnya, ia akan pergi ke Rumah Mbah Narto untuk berjudi togel sampai hari mulai larut. Ia tak peduli apa yang dilakukan istrinya, bagaimana keadaan ibunya, dan bagaimana anak-anaknya melanjutkan kehidupan mereka di tengah situasi yang carut-marut seperti sekarang ini. Dan sesekali, kalau ia menang judi, ia akan memberikan sedikit uangnya untuk Bu Rusmi.
“Nih uang buat belanja. Aku gak pernah bohong, Mi. Kalau aku menang aku pasti aku kasih kamu uang, kan?” tukasnya kepada Bu Rusmi dengan nada bangga karena telah memberi istrinya uang.
Bu Rusmi terpaksa menerima uang hasil judi suaminya itu setelah tubuhnya jatuh terpental ke lantai, nyaris ditendang, dan kalimat-kalimat cacian harus ia dengar dengan nyaringnya. Ia sudah berupaya menasehati suaminya dan menolak uang haram itu. Lagi-lagi, ia kalah debat dengan suaminya. Uang itu ia simpan di bawah tumpukan baju di dalam lemari. Tak pernah ia gunakan. Uang itu akan ia berikan kembali kepada Pak Kasmin jika suatu hari suaminya itu kalah judi dan butuh uang.
Sementara untuk belanja kebutuhan sehari-hari, sebisa mungkin ia tak menggunakan uang haram itu untuk mengisi perut anak-anaknya. Ia akan menggunakan uang dari hasil penjualan buah jeruk dari ladang yang ia kasihi sepenuh hati. Dan kalau musim jeruk telah usai, ia akan mengasihi ladang itu dengan menanaminya jagung, kacang tanah, kedelai, atau palawija yang tidak terlalu membutuhkan banyak air. Mengingat ladang Bu Rusmi jauh dari sumber air untuk irigasi. Selama musim jeruk masih berlangsung, ia akan tekun mengumpulkan butir-butir jeruk dan memikul karung demi karung dari ladang ke rumah lalu mengantarnya ke pengepul, atau pedagang buah yang jauh dari rumahnya. Semua itu ia lakukan sendiri, seperti bagaimana ia mengumpulkan butir-butir kesabaran dan memikul beban berat keluarga di punggungnya, serta mengayuh harapan dengan kakinya yang mulai ringkih dimakan usia.
*****
Editor: Moch Aldy MA