Poet, writing like fever dreams.

Adegan Religius dan Puisi Lainnya

Galih Santoso

2 min read

Azan Berkumandang

kata papahku orang yang merindukan azan adalah ahli surga

tapi mana ada ahli surga di barat alun-alun
tak henti-hentinya menimbang
menunggu masjid buka atau pipis di pohon saja

hanya dengan azan
kunci masjid akan dibuka
dan gerbangnya mungkin menyambut
genetika dosa yang kuwarisi sejak zaman azali

tiga puluh lima menit berlalu apa kupamerkan saja anuku sambil pipis di pohon
biar semua melihat seni mengucur dari ujung kepalanya
aku tak masalah disamakan dengan seekor anjing
toh benar-benar habis dibentak oleh takmir
yang begitu patuh pada jam buka tutup

meski kami najis kami mengerti bagaimana ungkapkan pipis
ya sama seperti menulis puisi pesing yang tidak berguna

waktu berjalan pakai wifi alun-alun scroll-scroll
mengalihkan perhatian nonton podcast Kumaila Hakimah
aku membayangkan ngingggggggggg…pengeras suara utama
disusul merdu adzan duh baru kali ini
aku terbesit berlari ke rumahMu.

(2025)

Toilet Masjid

katup-katup tidak tertutup rapat meneteskan bunyi
seperti denting hujan tidak ada penggambaran Tuhan
sebagai monster kebakaran Los Angeles

di sini Tuhan seakan melihat hamba-hamba yang rapuh
jujur dan kebelet pipis

maaf Tuhan, aku berjanji
kalau pergi-pergi akan bawa minimal dua ribu
biar aku pipis di toilet umum daripada nelangsa
menunggu masjidMu dibuka.

(2025)

Di Jalan HOS Cokroaminoto

para santri entah siapa yang suruh
duduk di kursi tengah jalan raya
melambai-lambaikan tongkat lentur dengan ujung
ditali kresek berwarna merah

terik siang gedumbrang di kaleng bekas biskuit
bertuliskan sedekah pembangunan masjid al-x

para santri bertameng peci menahan sinar uv
dan suhu 30 degree dan semangat mengabdi
mataku berair, jantungku berdegup kencang
truk besar menebar debu dan hampir menyerempet

para santri bersorak ketika koin masuk ke kaleng itu
dari supir truk, dari kurir ganja, dari penjual cilok, dari anak pulang sekolah
dari siapa saja yang lewat dan merasa perlu bersedekah

di kantong jaket pengap aku punya dua ribu
kurogoh ingatan takmir masjid mempermainkan
kandung kemihku.

(2025)

Monetisasi Sufi

penari sufi berputar di atas panggung dengan sound full bass
lampu disko menyawer mereka dengan tarif sekian—

jam dinding digebuk-gebuk seperti alat rebana
kubayangkan Rumi pasang muka poker face
lihat tariannya diuangkan seperti klub jedag-jedug
memperbaiki irama jantung dengan kerlip lampu
gus dan habaib memuji-muji nabi sambil melempar pisang
ke arah penonton submisif—

aktif join ziarah di proyek-proyek kuburan otak
(maaf maksudku kuburan kotak)

kuingat wajah bingung papah sebagai ketua erte
diminta desa memungut seratus ribu tiap rumah
buat konser selawat seperti kubilang akankah—

para penari sufi disawer lagi sebelum para penceramah
mendermakan ilmunya sekian
rupiah per jam
meliuk-liuk di wajah es teh yang kasihan.

(2025)

Produsen Fatwa
: untuk Mas Mike dan Teman yang Lain

es pocong haram, mi setan haram!!!

mungkin pocong dan setan telah memesan fatwa
dengan kualitas gaib yang haram dipertanyakan

mayoritas melirik berita grebek
peribadatan minoritas seperti
mengulum permen munafik

di tanah yang dijarah bedebah
penyembah lain diperlakukan lebih buruk
ketimbang koruptor tambang timah

atau kita sembah saja koruptor
mungkin itu tidak haram

di hadapan acungan golok, lahir izin ibadah
dan izin membangun rumah ibadah

berlomba siapa yang lebih teraniaya

tapi tenang produsen fatwa tidak gampang marah

korupsi pengadaan kitab sampai umroh bodong
yang membuat umat miskin jadi makin miskin
tidak membuatya pantas kena murka menista

oh ya tapi jangan sampai kamu makan babi sambil baca doa.

(2025)

Adegan Religius

malam-malam aku mimpi jadi timbangan amal
menguap suntuk nonton tayangan ulang
kelakuan primata beriman
dari sekian banyak adegan
aku pilih-pilih pilah-pilah
sesuka hatiku buat tampilkan angka
jangan salah, timbangan sakral
haruslah digital
biar teliti

dari semua adegan membosankan
satu-satunya alasan aku menjebloskan masjid
ke dalam surga

hanyalah ubin-ubin sejuk
yang memeluk ibu pelancong
dengan ransel punuk
yang membantali kedua putra kecilnya.

(2025)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Galih Santoso
Galih Santoso Poet, writing like fever dreams.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email