Stroberi di Perut Ibu

Siti Nurgian Utina

2 min read

Daun pintu berbunyi kencang. Pasangan suami istri itu tampak menjualbelikan perkelahian dengan tunai. Napas istrinya tersengal-sengal oleh embusan kekecewaan. Terduduk di atas toilet tanpa membiarkan suami ikut masuk ke dalam. Aku bermuram dalam segenap ketiadaanku yang belum berwujud, mungkin Syawal tahun depan kedua pasangan itu bisa memilikiku seutuhnya. Bercengkrama di Idulfitri yang putih karena lahirnya anugerah baru yang lama dinanti. Lamat-lamat isakan tangis mulai menembus pintu toilet, suaminya hanya bisa termangu dan bisu.

“Satu garis lagi, ya?”

Istrinya keluar dengan lunglai, tatapan kosong melubangi bola matanya.

“Aku mens, gejalanya memang kayak orang hamil. Tidak usah bilang ke keluarga.”

“Jangan dibikin beban, sayang.” Pelukan itu tidak diraih istrinya, ia memilih berlalu dan menuju arah kasur bermukim. Membiarkan suami masih terperangah di depan toilet.

Barangkali bila aku tak kasat mata, mungkin mukaku bisa dilihat masam memandang orang tua ini di hilir waktu mendatang. Begitu gigihnya menginginkan aku untuk lahir ke dunia yang sungguh. Aku tidak punya status kelamin, kaki tangan yang masih angan-angan, bahkan denyut jantung belum berbadan. Tuhan belum menancapan nyawa, aku masih berbentuk cahaya kecil yang belum ditiup rohnya. Tetapi aku ada.

“Kita bisa coba lagi, jangan sedih-sedihan terus kayak gini. Mungkin masalahnya bukan di kamu, bisa jadi ada di aku, kan?”

“Tidak usah berasumsi, Pukat. Aku udah cukup, ini melelahkan.”

“Tapi kamu harus kuat Nadi, jangan macam orang putus asa kayak gini.”

Dialog bantal yang mereka layangkan membuatku sedikit akrab menyebut pasangan itu sebagai Pukat dan Nadi. Luas harapanku untuk menggaungkan sisa hajat menjadikan mereka bernasib ibu dan bapak di kemudian hari.

***

Rentetan pertanyaan berhasil mendera hati yang compang-camping saat gerombolan ibu beranak pinak menjual kisah pengalaman hamilnya di hadapanku. Segala macam fatwa dan petuah usang membuatku ingin selalu bersumpah serapah. Semua berlalu dengan memuakkan dalam satu dekade pernikahan. Belum dianugerahi anak adalah aib bagi seorang perempuan. Orang-orang menjadikanku buah bibir pada tiap-tiap acara. Desas-desusnya rahimku tidak cukup tangkas untuk mewadahi kawanan sperma suami. Dalam persoalan seperti ini, perempuan kerap dijadikan pilar kekeliruan dalam proses perjalanan mencari dan menjadi.

Tidak ada satupun yang menyudutkan Pukat, akulah yang dicemoohi sebagai pusaran masalah. Tiga-empat tahun aku tidak menganggapnya sebagai konflik batin. Sepuluh tahun merangkak penuh dengan keburaman. Buatku ini semakin menjengkelkan serasa hidup hanya berhenti di satu titik, tersendat seperti direkatkan lem. Lem sial yang enggan meniupkan roh kecil dalam rahimku.

“Makanya olahraga, supaya pinggulmu paripurna.”

“Minum jamu, supaya kuat pas ditunggangi suamimu.”

“Suamimu lemah syahwat, ya.”

“Rahimmu mandul pasti.”

Semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli dengan kata-katanya sendiri. Segala petuah terburai dari mulut tanpa ditapis.

“Tidak usah kamu pikirkan.” Suamiku berusaha mengindahkan suasana.

“Mereka makin bawel, aku tidak tahan. Kau saja yang ngumpul kalau ada acara lagi.”

Usiaku dan Pukat belum terlalu tua renta. Seharusnya kesempatan masih bergelimang dalam hidup yang tidak kekal, tetapi tahun bertambah yang aku dapat hanya panas yang menyebar dalam dada. Sesuatu yang skeptis mulai mendatangiku. Akal nakal ini mulai bernalar liar. Aku mulai meragukan teman ranjang yang sepuluh tahun meniduri kasur bersama. Sebuah kemungkinan persoalan ini tidak bertumpu pada rahimku, mungkin saja Pukat akar masalahnya dan dokter telanjur memeriksa kami dengan buru-buru.

***

Dua bulan berlalu di belakang. Perempuan bernama Nadi itu terlihat kewalahan memuntahkan isi perut yang dipompa paksa. Dikeruk punggungnya oleh Pukat. Suaminya mencoba memudarkan mual yang dialami Nadi sejak pagi dengan pijatan ringan. Aku merasakan betapa di dalam sini ada yang aneh, rasanya meliuk-liuk. Mungkinkah aku berhasil hidup? Mungkin saja Nadi dan Pukat akan menjadi ibu bapakku?

“Ikut pusing kepalanya?”

“Tolong ambilkan air.”

Kekhawatiran Pukat jelas terpahat dari mukanya yang bergerak gesit membantu Nadi. Aku hanya bisa getir membayangkan kekecewaan Pukat yang mungkin tepat sasaran.

Kalau saja memang sudah saatnya aku ditancapkan roh manusia. Kelakuan lelaki sebelah rumah berhasil menerobos hak Pukat untuk memilikku. Andai saja aku bisa meneriaki dari alam sini. Nadi pasti tidak akan tergoda melakukannya. Nadi tidak akan berlain hati mencari bakal calon bapak di sel jantan yang lain.

Aku tidak memahami suratan takdir bikinan Tuhan yang terlalu banyak macamnya. Berbeda dari separuh tahun yang lalu, aku belum berbentuk. Jantungku tidak berdegup. Kini tanda-tanda kuasa itu muncul, mulai merasakan tunas gigiku bertumbuh. Bila ditakar dengan batas ukuran manusia, aku persis buah stroberi yang bermukim dalam rahim perempuan. Mungkinkah aku akan hidup?

***

Payudara semakin mengencang dan berisi, lemak-lemak membawa hormon membuat sekujur badanku membengkak. Pinggul seperti dicabik-cabik oleh nyeri yang menusuk. Kehamilan delapan minggu seukuran buah stroberi menjadi pengalaman pertama yang penuh degdegan huru-hara.

Jujur saja jauh lebih mendebarkan bukan menjalani masa kehamilan. Tentu saja semua orang bersenang-senang dengan kabar yang berhasil membungkam bibir keluarga. Aku mengkhawatirkan betapa Pukat dan keluarganya akan memotong kepalaku bila tahu musabab perutku berbundar bukan karena ulah kawanan spermanya. Bila yang mulut mereka inginkan adalah kehamilanku. Semestinya hal ini tidak apa-apa.

“Biarkan rahasia ini kita bawa mati, Nak.”

*****

Editor: Moch Aldy MA

Siti Nurgian Utina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email