Kumpulan cerpen dengan judul “Rumah yang Neraka” merupakan karya penulis debutan Angga Saputra. Dalam kumpulan cerpen tersebut termuat sembilan judul cerpen, yaitu: Suatu Hari Ketika Ia Tak Mampu Menulis Lagi, Rumah yang Neraka, Muak, Dalam Kubur itu Mereka Berbulan Madu, Tetanggaku yang Bermata Sendu, Duka Kubawa Lari, Di Tentang Badai, Penghabisan, dan Z. Akan tetapi, saya tidak akan membahas semua judul cerpen yang ecara garis besar banyak menuturkan kesepian, kesedihan, kefanaan, serta sedikit lebihnya bercerita tentang isu populer kesehatan mental.
Cukup sulit sebetulnya bagi saya untuk bisa menyelesaikan apalagi untuk memahami isi dari cerpen-cerpen yang berada dalam kumpulan cerpen tersebut. Mengapa? Hal tersebut dikarenakan terlalu banyak trigger warning yang ditunjukan oleh pengarang melalui tokoh-tokohnya.
Angga Saputra dalam kumpulan cerpen tersebut banyak menyoroti isu-isu populer tentang kesehatan mental semisal trauma, depresi, atau pun gangguan kecemasan yang akhirnya berujung pada perasaan kesepian, atau pun dendam yang berkepanjangan. Seperti yang ditunjukan oleh cerpen berjudul Muak, yang bercerita tentang seorang anak yang menikam ayahnya karena trauma sehingga memunculkan dendam setelah apa yang dialaminya terhadap apa yang sering ayahnya lakukan ketika ia masih bocah.
“…hibuk bertukar-tangkap piring-gelas.”
Dan dendam itu pun tak pernah terselesaikan meskipun ia sudah berhasil menyodorkan ayahnya ke ribaan maut. Hal itu tecermin dari percakapannya dengan petugas polisi,
“Aku terkenang kepada Bapakku yang kubunuh belasan tahun lalu. Aku merindukannya.”
“Bagaimana bisa?”
“Sebab aku masih dendam dan ingin menikamnya sekali lagi.”
Selain isu-isu mengenai kesehatan mental, beberapa darinya ada pula yang menyoroti mengenai isu sosial-kemasyarakatan serta climate change. Semisal, kita disuguhkan oleh kisah sebuah keluarga yang terdiri seorang anak dan ayahnya yang sampai dengan kematian sang ayah, mereka menolak untuk menyerahkan tanahnya kepada pemodal guna dibangun apartemen mewah dalam cerpen berjudul Dalam Kubur itu Mereka Berbulan Madu. Semua itu dilakukan guna menuntaskan rindu sang ayah terhadap ibu yang lebih dulu dijemput sang maut. Namun, bukan hanya rindu yang menjadi pancang untuk bertahan dari deru mesin eskavator, tetapi, bertahan karena memang ada hak yang seharusnya diperjuangkan dan dipertahankan. Cerpen tersebut mengingatkan saya pada perjuangan warga Dago Elos yang bertahan sampai dengan sekarang kemenangan sudah di tangan.
Baca juga:
Selanjutnya, dari cerpennya yang berjudul Z yang bertema utamakan climate change. Z bercerita mengenai sepasang kekasih yang terpaksa hidup dalam sebuah shelter agar dapat terlindung dari amukan alam karena alam sudah tidak menginginkan kembali manusia. Namun, yang unik dalam cerpen tersebut alih-alih menawarkan kontrol populasi melalui kontrol kelahiran, Angga dalam cerpennya menawarkan sebuah alternatif yaitu mengontrol kematian agar mampu memberikan ruang bagi kelahiran baru.
Pun Z mencoba membawa secuil pemikiran yang disebut oleh Nurcholis Majid seperti apa yang disarikan oleh GM. Perubahan harus diperjuangkan melalui jalan damai. Tetapi jika tetap tidak terjadi perubahan yang progresif, pada akhirnya hanya ada satu cara untuk perubahan: dengan kekerasan. Perubahan terhadap kontrol kematianlah yang coba diperjuangkan oleh tokoh dalam Z guna menghindari kematian yang terkasih. Ketika membaca cerpen tersebut aku teringat film animasi The Lorax dan film Downsizing, karena narasi yang dibawakannya mirip-mirip; masyarakat yang tinggal di suatu lingkungan yang terkontrol.
Ada kesulitan lain yang mendera selain kesulitan dalam memahami isi cerpennya, yaitu kesulitan dalam menyentuh sisi objektivitas ketika membaca narasi dari kumpulan cerpen karya Angga Saputra ini dan kesulitan untuk membuka tabir yang menutupi maksud dari ceritanya. Mengapa demikian? Karena saya secara personal mengenal pengarang serta bagaimana ia mampu bertahan dalam berbagai keadaan, sehingga hal itu membuat saya terkadang menjadikan sosok Angga sebagai bagian dari cerita yang ia karang.
Kemudian, gaya kepenulisan Angga yang menurut saya terlalu banyak menyisipkan kalimat yang tak seharusnya dipakai yang tak mendukung plot. Saya mafhum maksud dari kalimat itu disisipkan yaitu guna mendukung daya estetis dari karya sastra, tetapi hal tersebut terkadang hanya membuat pembaca menjadi bingung dengan tujuan ceritanya yang akhirnya membuat kohesi dan koherensinya berantakan; dan hanya akan menyisakan kegelapan semata; serta corak absurditas àla Camus dalam setiap kalimat yang menurutku hanya setengah-setengah ditampilkan oleh Angga, sehingga terasa hanya sambil lalu saja; atau pun eksistensialis ala Metamorfosisnya Kafka.
Baca juga:
- Saat Kafka Mengingatkan Kita tentang Keterasingan
- Menghadapi Kenyataan dengan Pemberontakan à la Albert Camus
Saya mengamini bahwa memang sebuah karya sastra merupakan manifestasi atau pantulan cermin diri pengarangnya. Pun hal itu terlihat dalam kumpulan cerpen Rumah yang Neraka yang merupakan pantulan cermin dari diri Angga Saputra sebagai subjek dalam mengarungi setiap sendi realitas. Pantulan cermin itu terlihat dari bagaimana Angga menuturkan peristiwa demi peristiwa melalui anonimitas tokoh-tokohnya. Angga membiarkan kita untuk menafsir sendiri sebetulnya mengenai cerita yang ia suguhkan, misalnya, akhir dari cerpen berjudul Penghabisan.
“…kurasakan genggamannya terlepas; seolah tengah memberi tengara; semacam selamat berpisah.”
Angga membiarkan pembaca menafsirkan sendiri kalimat tersebut, apakah tokohnya tersebut direnggut sang maut atau ia hanya tertidur dalam pelukan kekasih?
Syahdan, pada cerpen yang berjudul Rumah yang Neraka pada kalimat awalnya,
“Ibu kian tampak beria selepas kematian bapak, seumpama juga seorang dara yang tengah kembali jatuh cinta setelah berkali-kali patah hati.”
Pembaca diajak untuk bertanya-tanya apakah karena KDRT yang dilakukan si bapak terhadap Ibu? Atau si bapak tukang selingkuh, sehingga kepergiannya tak meninggalkan bekas luka bagi Ibu?
Pun Angga punya pengalaman tersendiri akan kegandrungannya terhadap alkohol. Pembaca akan selalu disuguhi minimal segelas arak, Vodka, atau pun wiski oleh Angga ketika membaca kumpulan cerpen Rumah yang Neraka. Bahkan, alkohol ini menjadi semacam suguhan wajib dalam cerpen-cerpenya. Angga sepertinya sangat menyambut pembaca seperti ketika kita bertamu disuguhkan teh manis atau air putih oleh tuan rumah.
Syahdan, sedari awal Angga sudah menyuguhkan sebotol Vodka yang dibawa seorang kawan dalam cerpen berjudul Suatu Hari Nanti Ketika Ia Tak Mampu Menulis lagi. Ketika laki-laki tak mampu lagi meluapkan isi hatinya kepada dunia yang menyesatkan ini serta kepada budaya patriarki yang menyudutkan agar segalanya terasa baik-baik saja, tetapi, dengan sebotol alkohol tersebut selayaknya Maskumambang yang dilantunkan oleh pesinden mereka bercerita dengan bebas tentang kerapuhannya; tentang luka yang kadung menganga; tentang dunia yang bajingan ini; dan terhadap segala sesuatu yang dirasa harus disajikan kepada kawannya tersebut.
Setidaknya pada akhirnya, membaca kumpulan cerpen Rumah yang Neraka ini kita diajak untuk betul-betul melihat bagaimana dunia yang fana-menyesatkan ini harus kita jalani sepenuhnya. Kesepian, kegetiran, kesedihan, kengerian, merupakan hal yang harus mampu kita terima bagaimanapun bentuknya, pun mau tak mau terpaksa menjadikannya teman sebaya lalu mengajaknya untuk bermain di setiap senja.
Membaca Rumah yang Neraka bisa jadi pijakan pertama guna melihat bagaimana dunia ini bekerja bagi mereka yang tengah dirundung kesepian, kengerian, kesedihan, atau pun kehilangan. Gindring Wasted benar tentang hidup ini brengsek dan kita dipaksa untuk menikmatinya; dunia ini bajingan dan kita dipaksa berteman dengannya; pun Sartre ada benarnya juga dalam adagiumnya yang populer, neraka adalah orang lain. (*)
Editor: Kukuh Basuki