Peracik makanan dan tulisan

Lagu Pertama di Batas Kota

Ayumi Hara

4 min read

Setelah Suprihatin pulang dari sawah, Gudin lekas membuat kopi hangat. Dari balik tirai yang menyekat ruang tamu dan dapur, Gudin mengintip istrinya yang duduk di kursi kayu ruang tamu, sedang mengipas-ngipas wajah dengan caping, dan sesekali memijat-mijat kakinya. Melihat Suprihatin amat lelah, Gudin segera membuat kopi untuk istrinya.

“Tadi Jumadi ke sini, besok suruh mbawon di sawahnya,” kata Gudin.

“Lalu?”

“Aku iyakan. Mbawon di sawah Yu Ripah sudah selesai, kan?”

Suprihatin mengangguk.

“Perutmu masih sakit nggak, Pak?”

Gudin menggeleng. Suprihatin menyeruput kopi panasnya. Sudah beberapa hari belakangan, Gudin selalu membuatkan kopi panas selepas Suprihatin pulang dari sawah. Sama ketika Gudin masih sehat dan Suprihatin berjualan gorengan keliling. Ketika itu, tiap Gudin pulang dari sawah, Suprihatin selalu membuatkan kopi panas.

“Obat jangan lupa diminum, Pak. Jangan sampai kita membeli obat lagi.”

“Besok kalau butuh bantuan di sawah Jumadi, ngomong saja. Biar aku ikut,” ujar Gudin.

“Kamu nggendong Riski saja sudah ndak tidak kuat, Pak.”

Seketika Gudin terdiam. Ia teringat beberapa hari yang lalu, saat ia menyadari tubuhnya sudah tak kuat berlama-lama menggendong Riski, anak bungsunya yang masih sekolah TK itu.

“Jangan sampai masuk rumah sakit lagi, Pak.”

Kata-kata terakhir Suprihatin sebelum pergi ke sumur membuat Gudin termenung-menung.

***

Ikan cupang di botol kaca bekas sirup berenang-renang. Ekor yang mekar dan berwana biru sungguh cantik, meski hanya seharga empat ribu rupiah. Ya, meski empat ribu, Gudin harus rela mengambil beberapa koin dari celengannya di kamar. Sebab tak ada anggaran untuk membeli ikan cupang. Uang simpanannya harus dia hemat. Gudin sempat dongkol ketika kemarin pagi melihat penjual ikan cupang di halaman sekolah Riski. Betapapun tak ada uang, Gudin tak tega melihat putra bungsunya hanya melihat kawan-kawannya berebut memilih cupang mana yang harus dibeli.

“Aku mau yang merah, Pak!” Riski tampak sangat senang. Gudin mengiyakan, tapi ia urung membeli ketika cupang berwarna merah ternyata mahal, lima belas ribu rupiah.

“Jangan yang merah. Yang biru saja biar seperti di laut,” kata Gudin.

“Tapi aku mau seperti Dandu, Pak, beli akuarium juga.”

Gudin lantas menanyakan harga akuarium. Dua puluh ribu rupiah.

“Kita bikin saja akuarium sendiri. Akuarium yang berbeda. Kalau sama dengan Dandu, nanti tertukar gimana?”

Setelah membayar empat ribu untuk ikan cupang berwarna biru, Gudin lekas menuntun Riski pulang. Di rumah, Riski menagih janji sang Bapak untuk membuatkan akuarium. Sebab, beberapa jam setelah membeli ikan cupang, ikan itu hanya dimasukkan di dalam stoples kaca. Gudin lalu mencari akal. Di belakang rumah, di tumpukan barang bekas yang siap dijual ke tukang rongsok, Gudin menemukan botol bekas sirup lebaran. Ia membersihkan botol itu, lalu memasukkan cupangnya ke sana. Cupang itu bergerak-gerak lincah.

“Kok malah dipindah ke botol, Pak?” wajah tirus Riski tampak menggemaskan. Membuat Gudin tertawa.

“Ini stoples baru dibeli waktu lebaran kemarin. Kamu mau diomelin Mamak?”

Riski menggeleng.

“Besok-besok Bapak belikan akuarium yang bagus. Nunggu Bapak kerja lagi. Nah, sekarang kamu bisa pergi ke rumah Dandu, bawa main ke mana-mana tidak berat.” Riski mengangguk-angguk gembira. Ia lantas pergi bermain sambil membawa botol kaca berisi ikan cupang berwarna biru itu.

Gudin tersenyum sendiri. Beruntunglah Riski tak lagi meminta macam-macam. Berbeda dengan kemarin, hari ini Riski tak begitu antusias dengan ikan cupang yang telah ia beli.

Di dalam botol kaca, ikan cupang itu terus bergerak-gerak, dan melahap cepat makanan yang jatuh di dalam botol. Kala itu matahari hampir menggelincir, tapi Suprihatin belum pulang. Gudin beranjak, sebelum menjemput anaknya di rumah Dandu, ia pergi ke halaman belakang, mengorek barang-barang bekas yang akan dirongsokkan.

***

Usai salat subuh, Gudin duduk di depan tungku, menemani istrinya memasak sayur oblok-oblok. Sebelum matahari benar-benar terbit, Suprihatin harus selesai memasak agar pergi ke sawah tidak dengan perut kosong dan bisa membawa bekal. Supaya padi bawonan cepat kering, Suprihatin harus ke sawah lebih pagi. Ia ingin  keluarganya bisa tetap makan nasi tanpa membeli di warung atau di tempat penggilingan padi. Uang  beras bisa digunakan untuk uang saku kedua anaknya, Riski dan Bima. Sisanya, bisa disimpan bila Gudin tiba-tiba tidak sehat. Kata para tetangga, operasi usus buntu tidak cukup mengandalkan BPJS. Karena setelah operasi, Gudin tetap harus menjaga kesehatan dengan makan makanan yang bergizi.

Suprihatin hanya mengiyakan saran-saran itu. Makanan bergizi yang dimaskud mereka, hanya bisa dibayangkan Suprihatin. Tetapi membayangkan Gudin masuk rumah sakit, membuat dirinya muak.  Tak hanya memikirkan biaya, Suprihatin sudah bosan disepelekan pihak rumah sakit tiap mengurus administrasi menggunakan BPJS. Perempuan berambut lurus pendek itu hanya tersenyum masam. Dalam kondisi Suprihatin yang lelah, dirinya ingin marah-marah, tapi bila tidak menggunakan BPJS, mungkin suaminya takkan tertolong.

Api di tungku menyala cukup besar hingga muncul letupan-letupan kecil. Gudin menggosok-gosokkan tangan di depan tungku, sementara istrinya masih sibuk mengolah sayur oblok-oblok di dapur.

“Berapa uang yang masih sisa, Pak?”

Mata Suprihatin tak berkedip, menatap kuah oblok-oblok yang menggelegak dan meletup-letup lembut.

Tiap membicarakan uang, rasa bersalah muncul dalam hati Gudin. Uang pemberian para tetangga ketika dia masuk rumah sakit sudah menipis. Sejak Gudin melakukan operasi, ia tak memiliki pemasukan sebab ia tak lagi bisa bekerja berat. Para tetangga urung mempekerjakan Gudin seperti biasa, menjadi buruh sawah atau buruh bangunan.

Sebagai gantinya, para tetangga berinisiatif untuk mempekerjakan istri Gudin. Suprihatin terkenal dengan ketangkasannya bekerja macam-macam hal, termasuk bekerja di sawah. Bahkan Suprihatin pun bisa diandalkan untuk memetik kelapa. Karena itu, sejak Gudin masuk rumah sakit, Suprihatin tidak lagi berjualan gorengan keliling. Ia memilih bekerja di sawah, mbawon pari, agar ia bisa menekan pengeluaran untuk membeli beras.

“Kalau kau mau berjualan lagi, aku bisa gurah manuk di sawah,” ucap Gudin.

Di bawah temaram lampu dapur, Suprihatin lamat-lamat memperhatikan wajah suaminya yang makin berkeriput. Jauh lebih tua dari usianya.

“Sehat dulu, Pak. Uang bisa dicari kalau sudah sehat.”

“Jangan sampai kita merepotkan tetangga lagi. Bapak masuk rumah sakit mereka jadi repot menjenguk. Kita juga tahu Wulan mau melahirkan, tidak mungkin kita mengemis sama dia.” Tambah Suprihatin. Gudin diam. Ia teringat Wulan, anak sulungnya, yang sedang hamil tua. Terbayang dirinya akan menjadi kakek.

Pada akhir pekan, Gudin lebih bisa bersantai di rumah. Ia tak perlu mengantarkan Riski ke sekolah, sebab Bima, anak nomor duanya, bisa diandalkan untuk menjaga si bungsu. Setelah mandi dan berdandan rapi, Gudin segera keluar rumah. Semampu mungkin, ia berjalan agak cepat, meski perutnya terasa nyeri dan tidak enak. Di jalan menuju jalan raya, Gudin bertemu beberapa orang yang menyapa dengan ramah.

“Sudah sehat, Pak Gudin?”

“Wah rapi sekali, mau ke mana ini?”

“Jalan-jalan nih, Pak? Kok Riski nggak ikut?”

“Alhamdulillah! Makin bugar aja, Pak Gudin!”

“Kapan-kapan bisa pergi mancing lagi nih habis dari sawah. Hehehe.”

Gudin hanya tersenyum-senyum dan mengiyakan tiap ada tetangga yang berbasa-basi menyapa. Ia tak banyak bicara dan segera pamit ketika terik matahari makin menyengat. Meski masih pagi, terik matahari cukup membuat Gudin gerah dan berkeringat. Ia mempercepat langkah ketika hampir sampai di jalan raya. Secercah harapan muncul dalam dadanya. Ia langsung menaiki bus antarkota yang berhenti di depannya.

Di dalam bus, Gudin duduk termenung-menung. Ia melayangkan pandang ke luar jendela. Hamparan sawah memanjakan mata, silih berganti dengan bangunan ruko-ruko di pinggir jalan, pasar, lalu pemandangan-pemandangan lain yang lama-lama kabur lantaran air matanya menggenang di pelupuk.

Peristiwa-peristiwa belakangan, membuat dada Gudin berdesir. Usus buntu yang ia derita lantas membuat ia buntu memikirkan akan melanjutkan hidup seperti apa. Dalam kepalanya, hanya ada uang dan uang. Sebab hari-hari ke depan ia harus tetap menyekolahkan anak-anaknya, dan membantu biaya lahiran Wulan. Bermenit-menit Gudin resah. Marah dan pasrah bercampur aduk dalam dadanya.

“Purwokerto! Purwokerto!”

Teriakan kernet bus menghentikan pikiran Gudin yang sedang melayang-layang. Di terminal perbatasan kota itu, Gudin segera turun.  Dari dalam tas selempang, cepat-cepat ia mengeluarkan kecrekan tutup botol bekas yang ia buat beberapa hari kemarin. Juga topi bergambar spiderman milik Bima yang langsung ia kenakan. Menjelang zuhur, matahari makin terik. Terminal terasa sangat panas. Bus-bus lalu lalang. Orang-orang datang dan pergi. Di sebuah warteg dekat terminal, Gudin bertekad akan memulai sesuatu. Pikiran tentang alat musik seadanya, suara sumbang, ataupun tak ada lagu yang ia hafal, sirna segera. Di warteg itu, Gudin lantas memainkan kecrekannya dan mulai melantunkan satu-satunya lagu yang melekat di kepala:

Sholaatulloh salamulloh ‘alaa thoha rosulillah…
Sholatulloh salamulloh ‘alaa yaasiin habibillah…
Ilaahi sallimil ummah, minal afaati wanniqmah…
Wa min hammin wa min ghummah bi ahlil badri ya Allah…

***

 

Editor: Ghufroni An’ars

 

 

 

 

 

 

Catatan:

Mbawon             : Pembagian upah menuai padi yang berdasarkan banyak sedikitnya padi yang dipotong

Ayumi Hara
Ayumi Hara Peracik makanan dan tulisan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email