Ibra, kata orang-orang kampung, kamu telah menjelma jadi hantu.
Mereka bilang, belakangan ini, ketika sudah lewat tengah malam, mereka mendengar suara langkah kaki berkelebat. Namun, ketika ditengok, tak ada apa-apa. Aku sendiri belum pernah sekali pun mendengarnya. Kata mereka, bunyinya tak hanya dua kaki, tetapi seperti gerombolan. Suara hantu itu muncul setelah peristiwa raibnya pemuda-pemuda kampung satu per satu. Termasuk kamu.
Suara hantu itu terdengar seperti orang yang sedang diburu. Bisa jadi, juga seperti sedang memburu. Entahlah, suaranya terdengar sama-sama lekas dan bikin bulu kuduk merinding.
Gilanya, karena dulu kamu atlet lari tercepat kebanggaan kampung ini, mereka mengira suara itu berasal dari kamu yang gentayangan. Gila bukan? Siapa juga yang nekat lari tengah malam begitu. Lagi pula, kamu memang belum mati, iya, kan? Kamu ada di luar pulau ini, di kota, sedang kuliah. Dan jika benar kamu mati, kenapa pemuda-pemuda kampung ikut-ikutan mati? Kamu tak mungkin mengajak mereka, kan? Tak masuk akal. Mereka sungguh gila, bukan?
Kata mereka juga, suara hantu itu disusul lolongan anjing yang berlari kencang, seperti sedang melihat dan mengejar sesuatu. Aku tak tahu jika anjing juga bisa menjelma jadi hantu atau tidak. Bisa jadi, itu anjing betulan yang sedang memburu hantu. Atau juga memburu maling. Tetapi, tak ada satu pun warga kampung mengaku kehilangan barang mereka. Mungkin saja yang diincar memang bukan barang milik warga. Mungkin sesuatu dari tambang emas baru itu.
Dan sepertinya, anjing itu bukan milik warga. Seingatku, anjing-anjing pemburu milik mereka dikurung saat malam datang. Soalnya, anjing-anjing yang dilepas itu sering beradu dengan anjing penjaga ganas milik pertambangan. Mungkin, itu anjing milik perusahaan pengelolanya. Entahlah.
Intinya, aku tak tahu apa-apa soal anjing-anjing itu. Dan tentu saja, intinya, aku tak percaya kamu telah menjelma jadi hantu.
Tetapi, perlahan-lahan, keyakinanku luruh. Karena kamu menghilang begitu saja. Tak pernah kembali. Tak memberikan kabar. Tak ada tanda. Sudah enam bulan. Aku bahkan sampai pergi ke dukun. Dukun pun hanya menggeleng. Aku tak yakin ia betul-betul tak tau atau memang enggan memberikan jawaban. Padahal aku rela membayar. Aku merasa ditipu olehnya. Saking aku percaya kamu memang tak mati, Ibra.
Ibra, semenjak kamu dikira menjelma jadi hantu, orang-orang kampung jadi rutin melakukan upacara buang sial. Kepala adat memangkas habis rambutnya. Dia juga sampai bersemadi di telaga. Sesajen disebar ke hutan, ke makam leluhur, sampai ke laut.
Meski aku tak percaya pada dukun itu, sejak munculnya suara hantu, ia jadi kebanjiran pekerjaan. Warga berbondong minta dipawangi olehnya. Meski dukun itu tetap bungkam apakah yang gentayangan itu kamu dan pemuda kampung atau bukan, ia tetap menjalankan tugasnya menjadi pawang untuk mengusir roh jahat yang seolah-olah kalianlah penyebabnya. Kurang ajar sekali, kan?
Sekarang gadis-gadis tak boleh keluar rumah setelah malam datang. Lagi-lagi, ini dihubungkan oleh suara hantu itu. Sudah beberapa lama warga geger karena banyak anak gadis kesetanan setiap malam. Selalu anak gadis. Tak pernah yang lain. Entah kenapa.
Hampir di setiap keluarga yang punya anak gadis, raungan dan isak tangis akan terdengar dari balik pintu rumah mereka setiap malam. Dan selalu saja, saat kesetanan, mereka minta diantar atau bahkan minggat sendiri ke laut. Entah untuk apa.
Untungnya, gelagat aneh gadis-gadis itu selalu bisa digagalkan. Kata dukun, yang bisa menyembuhkan anak gadis yang kesetanan hanyalah bapak mereka. Pokoknya begitu. Tak tahu juga kenapa.
Beruntungnya, gadis-gadis itu punya bapak yang mengerti hal-hal begituan. Entah bagaimana caranya, aku tak tahu. Aku tak pernah bertanya pada si dukun. Soalnya, aku masih mutung.
Ibra, aku tak mengerti kenapa penduduk di sini pontang-panting hanya karena suara hantu. Padahal mereka mengerti adat. Mereka juga tak asing dengan hal-hal gaib. Kamu ingat, tidak, konon katanya, ada leluhur kita yang moksa dan pergi ke langit?
Penampakan serdadu Belanda masih sering terlihat sampai sekarang. Suara meriam sampai langkah kuda pun kadang masih suka terdengar oleh warga yang kebetulan ketiban sial ketika kencing, berak, bercinta, atau meronda di tengah malam.
Mereka pun selalu rutin melakukan ritual adat agar diberi perlindungan dan dijauhkan dari gangguan. Tetapi sampai sekarang, hal gaib tetap ada. Apa yang salah dari ritual mereka, Ibra? Apa permohonan mereka tak manjur? Apa leluhur sudah menutup kuping mereka? Atau, apa yang mereka sebut hantu itu tak cukup takut?
Aku bertanya padamu karena kamu orang yang berpendidikan. Kamu tak percaya hal-hal seperti itu lagi. Ilmu yang kau punya itu membuatmu berpikir adat kita terlalu tua. Dan hal gaib itu tak pernah nyata. Lalu, bisakah kamu menjawabnya? Aku ingin dengar penjelasan yang dulu biasa kamu katakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Apa, ya, namanya… ah, logika. Penjelasan dengan logika. Dan satu lagi, apa, ya… ah, pikiran kritis.
Sekarang, bisakah kamu muncul? aku ingin dengar jawabanmu yang sesungguhnya agak sulit kumengerti itu. Karena aku lebih fokus memandang gerakan bibirmu yang kusuka itu. Tapi kali ini sungguh, Ibra, aku akan mengingat dan memahaminya betul-betul, supaya aku bisa keluar dari kubangan ketidakpastian ini.
Kecerdasanmu itu, Ibra, itu yang membuat aku bangga padamu. Tak sia-sia tenaga larimu itu. Kecepatanmu ternyata membawamu mendapat beasiswa.
Selama ini, kamu di luar pulau ini untuk kuliah, bukan? Tak benar, kan, apa yang dibilang Arai, kalau kamu diam-diam mengabaikan kuliahmu untuk berorasi dan mengumpulkan massa untuk menentang pendirian tambang emas baru di pulau ini?
Cepatlah kembali, Aku butuh penjelasanmu! Aku tak bisa minta penjelasan Arai karena ia juga ikut-ikutan raib. Nona yang memberitahuku.
Kemarin malam, giliran Nona yang meraung kesetanan. Kamu kenal Nona, kan? Ya, Nona, pacar Arai, sahabatmu itu. Kemarin malam, Nona berlari-lari tanpa alas kaki masuk ke hutan. Beruntung bapaknya mencegatnya sebelum ia sampai ke laut. Aku tak tahu apa yang terjadi kalau dia betul-betul sampai ke sana.
Ibra, sebetulnya aku tak percaya Nona kesetanan. Tiba-tiba, aku jadi ingat penjelasanmu dulu tentang hal mistis. Aku betul-betul mengingatnya sekarang. Halusinasi. Mungkin bukan kesetanan, hanya halusinasi. Itu bisa saja dialami oleh orang yang mentalnya terguncang. Begitu katamu.
Mungkinkah anak gadis di kampung ini hanya halusinasi, Ibra? Seperti Nona yang halusinasi karena mentalnya runtuh kehilangan Arai. Dan gadis-gadis yang kesetanan itu bukan karena mereka dirasuki roh jahat, melainkan karena mentalnya terguncang juga. Tetapi karena apa? Karena kekasih mereka raib juga? Entah lah, aku tak begitu yakin. Soalnya, aku tak cukup peduli untuk ikut campur urusan gadis mana berkencan dengan pemuda yang mana.
Sekarang, tak penting lagi halusinasi atau kesetanan. Aku hanya ingin kamu pulang
Tak tahukah kamu betapa nyaris gilanya aku. Pemuda-pemuda raib. Kamu juga. Tetapi warga kampung kelihatan tak berdaya mencari kalian selama berbulan-bulan. Kemudian, katanya kalian menjadi hantu. Mungkin, sekarang kalian memang gentayangan bersama-sama. Meski jasad kalian tak pernah ada yang tahu rimbanya.
Dan aku masih akan menyangkal kematian kalian. Ibra, kekasihku, tak mungkin jadi hantu.
Jika pun kamu sudah mati, Ibra, tegakah kamu gentayangi kami yang masih hidup? Sejak Bapak meninggal sepuluh tahun yang lalu, tak pernah sekali pun ia menjelma jadi hantu. Kalau kamu betulan mati, kenapa kamu lakukan itu? Kalau kamu masih hidup, betapa teganya warga mengira begitu.
Ini pertama kalinya aku sanggup bicara banyak setelah sekian lama. Aku betul-betul berduka di tengah ketidakpastian yang tak ada ujungnya.
Kini aku sangat-sangat merindukan kamu. Aku mencoba mengingat-ingat wajahmu. Matamu, bibirmu, dan garis rahangmu yang aku gilai itu. Tetapi, yang muncul justru potret panorama laut lengkap dengan suara ombak dan aromanya. Justru itu yang mengendap di dalam pikiranku.
Mengapa petunjuk-petunjuk tentang kamu malah mengarah ke laut? Ada apa gerangan antara kamu dan laut?
Entah bagaimana, aku betul-betul merasa seperti berada di pinggir laut sekarang. Aromanya kini makin menusuk ujung hidungku. Aku bahkan bisa mendengar suara ombak pecah dengan sangat jelas di kedua lubang telinga. Angin laut pun terasa menguliti aku.
Kini leherku terasa kaku, tak mampu menoleh. Mataku memaksa terus memandang ke depan, menatap gulungan ombak yang sedikit menggila malam ini. Kakiku terus-terusan melangkah ke depan. Rasanya, tubuhku begitu gontai. Tetapi langkahku, meskipun kecil-kecil, terasa pasti.
Ibra, kini bayangan bercinta dengan kamu di sini berputar di kepalaku. Tubuhku terasa terbakar oleh gejolak yang entah muncul dari mana.
Begitu saja, aku sudah menanggalkan kemeja yang menempel pada tubuhku. Kemudian bawahanku. Tubuhku kini sepolos porselen. Angin malam tak lagi mengulitiku. Tak ada dingin yang terasa.
Kamu di mana, Ibra? Apa kamu tidak menginginkan aku?
Dengan kaki gontai, aku bisa merasakan ombak memecah di antara kedua kakiku. Langkahku masih tak bisa berhenti. Terus melaju ke depan. Perlahan namun pasti, tubuhku menjauh dari daratan.
Ombak memeluk tubuh telanjangku dan tak mau melepaskannya lagi. Ini pertama kalinya aku dipeluk setelah kepergianmu. Begitu erat dekapan riaknya, Ibra. Ada setitik rasa yang sama seperti pelukanmu dulu. Aku tak ingin melawannya. Saat kutanya ia akan membawaku ke mana, ia diam saja.
Ah, Ibra, kamu masih belum memberiku kepastian. Laut, aku yakin laut juga tak akan sudi memberikan kepastian akan muaranya. Sama seperti kamu. Tetapi tak apa, aku turuti saja.