Pengangguran atau bukan, ada baiknya Anda membaca kisah ini.
“Kesuksesan hanya akan berpihak kepada mereka yang mau setengah mati memperjuangkan mimpinya,” itulah closing statement yang selalu disampaikan Nawirya saban kali menjadi pemateri pada sebuah seminar. Semenjak namanya masuk dalam daftar sepuluh pengangguran paling sukses di negeri ini, Nawirya memang kerap diundang di berbagai acara seminar. Dengan motivasional, ia akan menyampaikan kiat-kiat menjadi pengangguran sukses seperti dirinya. Dan seluruh audiens akan sangat antusias mendengarkan setiap kalimat yang terlontar dari mulutnya.
Ada banyak pengangguran di negeri ini, dengan berbagai latar belakang kehidupan yang berbeda-beda. Setiap pengangguran tentu memiliki kisahnya sendiri-sendiri. Ada yang sukses menjadi pengangguran hanya karena warisan orang tuanya. Ada pula pengangguran yang memang meniti karier dari nol, atau bahkan dari minus, dan berjuang setengah mati sampai ia benar-benar mencapai titik suksesnya. Dan dalam hal ini, Nawirya adalah salah satunya.
Maka, tanpa mengurangi rasa hormat pada pengangguran-pengangguran yang lain, sudah sepantasnya Nawirya menjadi lakon utama dalam kisah ini.
***
Nawirya Pambaruning Sasmita, demikian nama lengkapnya. Anak pertama dari keluarga pengusaha yang kekayaannya sebaiknya tak perlu kita bahas pada cerita ini. Bapaknya, Giras Wiryaning Sasmita, adalah seorang pengusaha batubara tersohor di telatah Jawa bagian tengah. Kalau tidak salah, namanya juga sempat dimasukkan ke dalam daftar lima pengusaha tersukses di kotanya oleh koran lokal setempat. Sempat dilirik beberapa partai politik untuk maju pada pemilihan kepala daerah, tetapi ia menolaknya. Ia tetap bersikeras mempertahankan kredonya bahwa politik adalah sesuatu yang kumuh.
Lahir sebagai anak pengusaha, Nawirya begitu akrab dengan kemewahan. Motor sport, pakaian branded, dan gadget keluaran terbaru adalah atribut yang melekat dengannya. Semasa SMA, Nawirya adalah bos sekaligus donatur utama bagi kawan tongkrongannya. Ia tak segan membayar semua jajanan yang dibeli kawan-kawannya meski harganya setara gaji kuli harian di kotanya. Baginya, uang adalah jimat yang bisa digunakan untuk apa saja. Dengan uang, ia bisa menyulap nilainya yang jelek menjadi bagus. Dengan uang, ia juga bisa membayar beberapa teman wanitanya untuk kencan di malam Minggu. Terakhir, ia bahkan hampir membayar guru perempuannya untuk menginap bersamanya di hotel barang semalam.
Ketika masuk perguruan tinggi, Nawirya adalah target utama bagi para wanita yang tengah mencari pacar. Maklum, di samping dompetnya yang tebal, ia juga memiliki wajah yang rupawan. Di sini, ia tetap memperlakukan uang layaknya jimat pusaka. Ia lulus dengan predikat pujian, dengan skripsi yang sama sekali tak disusun oleh kepala dan tangannya. Selama kuliah, persentase titip absennya tentu jauh lebih banyak ketimbang kehadirannya di kelas. Tapi pihak rektorat mendaulatnya sebagai model di baliho promosi kampus yang terpampang di beberapa sudut kota meski yang semestinya berhak berada di sana adalah mahasiswa berpredikat teladan. Berkat apa lagi kalau bukan uang-uangnya yang melimpah itu.
Terhitung dari lahir hingga menempuh kuliah, Nawirya hampir tak pernah menemui masalah yang berarti dalam hidupnya—kecuali beberapa kali mesti berurusan dengan penyakit asmanya. Ya, khusus perkara penyakit, uang memang tak bisa berbuat banyak. Uang bisa membayar seluruh biaya pengobatannya, tetapi uang tak mampu membuat rasa sakit di tubuhnya hilang seketika.
Masalah baru benar-benar datang manakala Nawirya lulus kuliah dengan gelar sarjana hukum. Bapaknya yang berharap ia segera merintis karier menjadi pengacara kelas wahid macam Hotman Paris, justru kaget mendengar anak semata wayangnya itu mengutarakan cita-citanya.
“Aku mau jadi pengangguran.”
“Apa? Pengangguran?!”
Sang bapak terkejut dan hampir membuat penyakit jantungnya kumat.
“Aku sudah mantap dengan pilihanku.”
“Kau tidak mau jadi pengacara? Atau setidaknya meneruskan usaha bapak?”
“Tidak. Aku sudah menentukan mimpiku sendiri.”
“Lalu, apa yang akan kamu lakukan?”
“Aku akan merantau ke Jakarta.”
“Kenapa harus ke Jakarta?”
“Aku baca berita, Jakarta sedang butuh banyak tenaga pengangguran tahun ini.”
Sebagaimana kisah klise di film-film lama kita, benturan tak terhindarkan antara bapak dan anak itu dimenangkan oleh sang anak. Tak punya pilihan, sang bapak meluluskan keinginan Nawirya untuk merantau ke Jakarta, mengejar mimpinya menjadi seorang pengangguran. Dengan bekal beberapa juta rupiah dari sang bapak, plus ijazah S1-nya, Nawirya akhirnya benar-benar merantau ke Jakarta.
***
“Tanda bahwa kita sudah sukses adalah ketika kita sudah bisa menertawakan masa lalu kita yang menyakitkan,” itu kalimat mutiara yang juga sering diucapkan Nawirya saban kali menjadi pemateri seminar. Dan setiap kalimat itu terlontar, ia selalu teringat masa-masa ketika ia meniti karier sebagai pengangguran di Jakarta.
Bulan pertama di Jakarta, Nawirya menjalani situasi yang sulit. Lewat informasi yang terpampang di papan pengumuman Dinas Tenaga Kerja, ia mendapati bahwa formasi pengangguran di Jakarta telah penuh. Mentalitasnya sebagai perantau baru pun langsung diuji di sini.
“Mau daftar jadi pengangguran, Mas?” tanya seorang bapak yang tiba-tiba menghampirinya manakala ia tengah membaca pengumuman.
“Iya, Pak.”
“Wah, sayang sekali pendaftarannya sudah ditutup.”
“Iya, Pak. Saya kurang update ternyata.”
“Sekarang banyak banget yang mau jadi pengangguran, Mas.”
“Iya, Pak. Harus usaha ekstra karena persaingannya ketat.”
“Tunggu gelombang berikutnya saja kalau begitu, Mas.”
“Iya, Pak.”
Demikianlah, bulan pertama di Jakarta Nawirya masih menjalani hidup dengan bekal uang pemberian bapaknya, yang memang hanya cukup untuk satu bulan berikutnya. Perlahan, ia mulai menyadari bahwa mengadu nasib di Jakarta memang tak semudah mengadu nasib di meja lotre. Ia menyadari bahwa persaingan di dunia pengangguran memang sangatlah ketat. Terlebih, pengangguran adalah profesi yang paling banyak dicita-citakan oleh orang-orang di negeri ini.
Pernah sekali waktu, Nawirya bertemu seorang pengangguran yang sudah lebih dahulu mencapai tangga kesuksesan. Di sebuah warung kopi tak jauh dari kos-kosannya, ia asyik ngobrol bersama pengangguran senior itu.
“Mas, sudah lama jadi pengangguran?” tanya Nawirya.
“Kurang lebih sepuluh tahunan lah.”
“Wah, sudah mapan berarti?”
“Ya, beginilah. Sampean sendiri mau daftar jadi pengangguran?”
“Iya, Mas. Masih menunggu pendaftaran gelombang kedua.”
“Kalau boleh tahu, ijazahnya apa, Mas?”
“S1 Hukum, Mas?”
“Wah, susah, Mas. Formasi pengangguran untuk S1 sekarang banyak banget peminatnya. Saya yang S2 saja susah.”
“Begitu ya, Mas?”
Tentu saja Nawirya tidak patah semangat meski sempat terlintas dalam benaknya untuk pulang kampung. Tekad yang kuat dalam dirinyalah yang membuat ia tetap bertahan di ibu kota. Ia ingin membuktikan pada bapaknya, juga pada semua orang, bahwa ia bisa sukses di tanah rantau sebagai pengangguran.
Dan, seperti kisah-kisah klise pada buku autobiografi orang sukses di belahan dunia mana pun, sebuah belokan yang dahsyat sebentar lagi akan dialami oleh tokoh utama kita ini. Belokan yang akan mengubah garis nasibnya.
Manakala gelombang pendaftaran pengangguran kedua dibuka, Nawirya benar-benar berjuang sepenuh daya agar ia diterima pada formasi yang dipilih. Beberapa pekan jelang seleksi, ia menjadi lebih rajin beribadah dan memanjatkan doa.
Dan benar saja, saat proses rekrutmen tengah berlangsung, Nawirya menjalani semua tahapan seleksi dengan sempurna. Mulai dari seleksi pemberkasan, wawancara, hingga tes kesehatan. Ia hanya mengalami sedikit kendala pada tes wawasan kebangsaan. Ia kebingungan saat menjawab pertanyaan bagaimana peran serta yang bisa dilakukan pengangguran dalam menghadapi revolusi industri 4.0. Di sini, ia hanya asal menjawab.
Namun demikian, Nawirya tetap dinyatakan lolos seleksi. Ia diterima sebagai tenaga pengangguran di instansi yang ia inginkan selama ini: Dinas Pemberdayaan Pengangguran. Ia begitu bahagia. Pada hari pelantikan, dengan terharu, ia menyampaikan berita menggembirakan tersebut pada sang bapak lewat telepon.
“Aku diterima jadi pengangguran, Pak.”
“Alhamdulillah, Nak.”
Demikianlah, Nawirya mulai menjalani hari-harinya sebagai pengangguran di Jakarta. Ia begitu bangga manakala mengenakan pakaian dinasnya. Tak sampai di situ, ia kini juga resmi mendapatkan SK pengangguran dan Nomor Induk Pengangguran (NIP).
***
“Hidup yang tidak dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan,” kalimat ini juga sering diucapkan Nawirya saat mengisi seminar. Dan setiap kalimat ini terucap, Nawirya selalu teringat masa-masa ketika ia mengambil satu pertaruhan terbesar dalam kariernya sebagai pengangguran.
Nawirya nekad menggunakan SK penganggurannya untuk meminjam uang ke bank. Nominalnya tak main-main. Hampir setara gaji pejabat dalam sebulan berikut dengan tunjangan-tunjangannya.
“Gaji dan tunjangan pengangguranku masih rendah, Pak. Jadi aku perlu modal untuk buka usaha,” demikian ia memberi penjelasan pada bapaknya. Sang bapak mendukung niat baik anaknya. Lagian, bukan hal baru jika pengangguran punya usaha sampingan.
Dengan proses yang lumayan ribet, akhirnya Nawirya memperoleh uang pinjaman dari bank. Ia berniat membuka usaha yang linear dengan profesinya sebagai tenaga pengangguran di Dinas Pemberdayaan Pengangguran. Maka, setelah serangkaian pertimbangan, salat istikharah, juga mendengar masukan dari beberapa koleganya, ia memutuskan membuka usaha berupa: kelas atau bimbel bagi para calon tenaga pengangguran. Ia merekrut beberapa orang menjadi tutor di kelasnya. Tak banyak yang menduga, kelas tersebut banyak diminati.
Di kelas tersebut, peserta akan mendapat beberapa fasilitas seperti pertemuan setiap akhir pekan, modul ajar berisi materi-materi yang sering diujikan dalam seleksi pengangguran, hingga motivasi dan konseling menjadi pengangguran yang sukses. Usaha tersebut berkembang sangat pesat. Pada tahun kelima bimbel itu dibuka, Nawirya bahkan kebingungan lantaran kapasitas gedung yang digunakan tak cukup untuk menampung antusiasnya para peserta.
Itu membuat Nawirya mau tak mau harus membuka cabang baru. Maka, di tahun ketujuh, bimbel tersebut sudah memiliki empat cabang di empat kota berbeda di Jakarta. Peminatnya pun makin menggila.
Bersamaan dengan itu, karier Nawirya di Dinas Pemberdayaan Pengangguran pun kian gemilang. Di tahun kedelapan, ia bahkan resmi diangkat sebagai kepala dinas. Pemikirannya yang kritis, juga latar belakangnya sebagai mahasiswa hukum, membuat program kerja yang ia canangkan kerap menuai pujian dari para pengangguran.
Genap satu dekade usaha bimbelnya dibuka, Nawirya semakin memberanikan diri melakukan ekspansi. Ia bahkan memberanikan diri membuka bimbel di kota kelahirannya.
Kini, bila ada orang yang berniat menjadi pengangguran, maka yang pertama-tama dicari adalah bimbelnya Nawirya. Terlebih, Nawirya kini berani memberikan jaminan kepada para pesertanya berupa: “garansi uang kembali jika tak lolos seleksi.”
Ternyata, keberhasilan Nawirya membuka bimbel juga turut menginspirasi banyak para pengangguran untuk merintis usaha serupa. Maka tak heran, bimbel semacam itu kini begitu menjamur di mana-mana—termasuk di kota kalian bukan?
Suatu ketika, Nawirya diundang menjadi pemateri dalam acara seminar yang diselenggarakan oleh kampusku. Aku yang merupakan alumni kampus tersebut tentu sangat antusias mengikutinya. Selain menyampaikan beberapa gagasan terkait pemberdayaan pengangguran di negeri ini, di seminar tersebut, ia juga berbagi kisah tentang perjalanan hidupnya. Terutama soal bagaimana ia menggapai mimpi menjadi seorang pengangguran yang sukses.
Aku yang saat itu hanya berprofesi sebagai pengarang cerpen kelas kacangan—dan tentu saja sama sekali tak diperhitungkan di kancah kesusastraan nasional—cukup terkesima mendengar perjalanan karier Pak Nawirya sebagai seorang pengangguran. Karenanya, setelah acara seminar selesai, aku menemuinya dengan maksud meminta izin untuk menuliskan kisah hidupnya ke dalam cerpen. Dengan segenap kerendahan hatinya, ia menjawab, “Silakan saja, Mas. Dengan senang hati.”
Namun, betapa aku tak pernah membayangkan bahwa itu akan jadi hari terakhirku berjumpa dengannya. Sebab sekitar dua bulan setelah pertemuan itu, aku mendapat berita bahwa Pak Nawirya berpulang untuk selama-lamanya lantaran tak kuasa bertarung dengan serangan asmanya. Untunglah, perjalanan karier penganggurannya yang singkat namun berliku itu telah kuabadikan dalam sebuah cerpen.
Maka beruntunglah kalian para pengangguran yang menemukan cerita ini di sebuah rubrik sastra, pada suatu hari entah di tanggal dan bulan apa. Sebab kalian pasti akan mengetahui kiat sukses jadi pengangguran dari salah seorang pengangguran tersukses di negeri ini, Nawirya Pambaruning Sasmita.
*****
Editor: Moch Aldy MA