Homofictus

Kolektor Nyawa

Ikhsan Muhammad

4 min read

Pelangi pelangi, alangkah indahmu

Merah, kuning, hijau

Di langit yang biru.

Kini akan kunyanyikan sekali lagi. Sekali lagi.

 

***

Kuberitahu padamu dan hanya padamu saja, bagaimana aku melakukan semuanya. Di kota yang penuh amarah ini begitu mudah untuk mendapatkan nyawa. Caranya pun sederhana dan tidak perlu banyak usaha: Dari ponsel pintar milikku, aku tinggal mengunduh beberapa aplikasi. Selayaknya menebar jaring dan menyebar umpan, akan aku dapatkan aneka jenis nyawa dari jiwa-jiwa sepertimu dengan hanya menunggu. Ya! Nyawa-nyawa itu milik mereka; manusia-manusia lugu yang mudah sekali dikelabui. 

Kota yang penuh kecamuk ini tak menyediakan mereka pengetahuan. Tak memberikan mereka cukup bekal, sehingga menyebabkan mereka menjadi sangat gampang digiring, seperti hewan ternak. Caranya pun tak sulit; aku tinggal memajang foto tubuhku tanpa busana, dan dengan mudahnya mereka akan teperdaya. 

Aku bisa memilih wujud apa pun yang kumau, termasuk bentuk-bentuk yang paling kau senangi. Pada matamu selalu ada damba yang tersimpan. Begitu melihatku, kau pun akan langsung melihat apa yang kau inginkan. 

Kemarin aku adalah sosok gagah yang menjerat. Pada hari lain aku adalah rupa ranum yang memikat. Kau boleh membayangkan aku sebagai mutan dengan kemampuan memanipulasi diri menjadi siapa pun. Pada satu dongeng aku dikisahkan sebagai makhluk yang bertahan hidup dengan mengonsumsi darah. Pada legenda yang kau akrabi aku mungkin adalah makhluk nirwana yang telah dikhianati, samudra menjadi kerajaanku dan dalam ambisi penuh sujian aku masih setia menuntut balas dendam. Sementara dalam huru-hara dan kabar simpang siur, wujudku yang sejati dianggap sebagai bentuk paling bejat yang barangkali bisa kau bayangkan serta pikirkan. Namun, sudahlah, kau bebas menyebut aku sebagai apa pun yang kau mau. Nama dan identitas tak berlaku bagiku, sebab hanya manusia fana sepertimu yang membutuhkan itu.

Hasrat terpendam milik mereka adalah mainanku. Mudah bagiku membuat mereka mendambakan segala yang ada padaku, menjadikan mereka seperti hamba sahaya yang memuja junjungannya. Dan jika sudah demikian, aku hanya tinggal berkata manis dengan sedikit menggoda. Aku mengerti betul mereka manusia-manusia kesepian—haus kasih sayang, lantaran sering tidak dipedulikan. 

Di kota antah-berantah ini, tidak ada yang memerhatikan mereka, apalagi menyayangi mereka, nyawa mereka pun sama sekali tak ada harganya. Aku tahu betul itu, sebab mereka sering datang kepadaku dengan kisah-kisah sedih. Semakin sedih kisahnya, semakin gampang mereka menuruti kehendakku, semakin sedih kisahnya, semakin bernafsu mereka pada tubuhku. Ya, semakin sedih, maka semakin mudah!

Untuk menghibur mereka atas nasib mereka yang payah itu, kubuat mereka puas dengan kerja tubuhku ini. Bukankah aku terlalu baik dan murah hati, menghibur mereka dan menyelamatkan mereka dari kehidupan yang sering membuat mereka tersiksa dan menderita? 

Aku memang tidak pilih-pilih. Perempuan atau laki-laki, semuanya sama saja bagiku. Manusia-manusia tanpa masa depan seperti mereka gampang disemu. Meski kebanyakan dari mereka memang laki-laki. Aku tahu mereka tergila-gila dengan tubuh indah milikku, dan aku sendiri sangat menginginkan nyawa mereka. Kupikir ini adalah pertukaran yang adil; mereka mendapatkan kepuasan atas wujudku, aku mendapatkan nyawa mereka. Ini seperti transaksi jual-beli, hanya saja tidak memakai uang. Sekadar keindahan tubuhku sebagai nilai dan alat tukar. Keindahan…. maknai baik-baik kosakata ini—keindahan; manusia mana yang tidak menginginkannya, mengharapkannya, mendambakannya?

Jadi inilah pesanku padamu, berhati-hatilah, sebab segala hal yang ada di dunia yang penuh dengan ketidakadilan ini dapat dengan mudah merenggut nyawamu, sekalipun itu adalah keindahan. Ah, aku lupa, siapa pula yang peduli dengan hidup kalian?

Kau pun datang menemuiku dengan cerita muram yang sama. Berwajah masam mengaku jika tak ada yang berpihak padamu. Orangtuamu mengusir kau dari rumah, saudaramu tak peduli padamu—hanya menganggap persoalan hidupmu tak lebih dari sekadar masalah asmara belaka, teman-temanmu mengkhianatimu, bos di tempatmu bekerja sangat menyebalkan, dan pacarmu yang paling kau percayai di muka bumi ini diam-diam berselingkuh dengan suami orang. Dalam kecamuk penuh kegundahan kau iseng membuka aplikasi kencan dan menemukan akun milikku yang mengundang seleramu. Selama beberapa bulan kita berkomunikasi dan kau mengaku nyaman berbicara denganku. Selayaknya telah ditakdirkan katamu, membuat aku tertawa membacanya. Lalu kuundang kau datang menemui aku di kediamanku dan dengan mudahnya kau pun mau.

Jangan merasa berkecil hati atau kecewa sebab memang seperti inilah dunia bekerja: Kebohongan dan penipuan tersebar luas di mana-mana. 

Pernah kau dengar beberapa jenis burung  bertelur dengan hati-hati di sarang burung lain—kupu-kupu yang tidak berbahaya meniru pola dari sayap kupu-kupu beracun agar tidak dimakan pemangsanya—ikan-ikan di laut dalam menggantung umpan bercahaya di hadapan mulutnya untuk menarik perhatian calon buruannya, sementara beberapa ikan jantan mengubah penampilan mereka agar terlihat seperti ikan betina untuk menyelinap melewati saingannya saat musim kawin tiba. Bahkan jenis bunga tertentu menebar aroma serangga betina untuk menarik datang serangga jantan penyerbuk, sementara tanaman karnivora memikat serangga lain hingga sekarat dengan tampilan aneka warna. 

Hewan dan tumbuhan meniru objek atau spesies lain di lingkungannya untuk perlindungan, mengelabui spesies lain untuk mengasuh anak mereka, memikat mangsanya sampai mati, dan menipu calon pasangannya untuk bereproduksi—tak ada yang benar atau pun salah, yang ada hanyalah moral alam.

Kalau kau ingin tahu bagaimana semua ini bermula, ceritanya akan sangat panjang dan memakan waktu lama. Akan aku ceritakan di lain kesempatan saja. Tapi singkatnya semua ini kulakukan karena sensasi! Kau tahu sensasi? Sesuatu yang membuat perasaan terharu, sesuatu yang menggetarkan sanubari.

Kau tidak tahu seperti apa rasanya mengumpulkan nyawa-nyawa itu, kan? Sangat menyenangkan, dan selalu membuatku bahagia! Perasaan yang kudapatkan tak akan pernah mampu kau bayangkan. 

Coba lihatlah di belakangmu, tepat di dalam lemari cokelat mengkilat terpelitur itu. Aku mengumpulkan nyawa-nyawa mereka di sana, menaruhnya dalam botol-botol kaca, menghiasinya dengan cantik, menyusun semuanya dengan apik, di raknya masing-masing, sesuai kategori: Nama, jenis kelamin, tanggal dan waktu kematian. 

Nyawa dengan warna dan corak paling cerah kusimpan di rak paling atas, sedangkan yang paling redup dan menjemukan akan aku asingkan di bagian bawah. Adakah kau kini bisa melihatnya? Aku selalu merasa beruntung sebab dapat menyaksikannya; cahaya-cahaya roh yang berlesatan. Mereka semua berpendar warna-warni bagaikan bianglala tujuh warna! 

Dan tiap kali aku menyaksikan itu semua, membuat aku selalu bernyanyi:

Pelangi-pelangi, alangkah indahmu

Merah, kuning, hijau

Di dalam botol kacaku.

Untuk nyawa-nyawa yang memiliki corak dan warna khusus aku akan menyimpan juga potongan bagian tubuh mereka, seperti jari, telinga, bola mata, helai rambut, atau bilah tulang. Tidak ada alasan khusus memang, selain sebagai penghargaan dariku dan untuk mengenangnya di waktu-waktu senggang. Sedangkan sisanya akan aku kubur jauh-jauh, di banyak tempat: gunung, bukit, lereng, sawah, ladang, pernah juga di lapangan bola. Tentu  tidak ada yang akan tahu, aku mengubur semuanya dengan baik dan terencana. Tidak ada satu orang pun yang bisa menduga, termasuk polisi.

Aku sudah melakukan semua ini berulang kali, begitu sering dan sudah tak terhingga jumlahnya. Aku tahu pasti apa yang harus aku lakukan, akan aku lakukan, atau yang tidak seharusnya aku lakukan. Semuanya tersusun secara sistematis dalam benakku laksana rutinitas harian.

Kalau kau ingin tahu bagaimana caranya, tentu tak jauh berbeda seperti yang sudah kau alami sekarang ini. Jasad dan nyawa adalah dua yang menjadi satu, agar mendapatkan satu yang kumau aku harus memisahkan keduanya.

Ketika mereka telah kelelahan sehabis menikmati tubuh indahku, mereka akan berbaring lemas di samping tubuhku seperti bayi. Saat mata mereka terpejam, aku akan mengambil benda-benda yang sudah kusiapkan dan kusimpan di dalam laci tepat di samping kasurku ini. Untuk beberapa orang sepertimu, sebuah martil besi yang mengkilat, kuhantam kepalanya sebanyak tiga kali. Bila kurang lima kali. Darah akan mengucur membasahi kain alas kasur, tubuh mereka mengejan oleh rasa sakit dan nikmat, napas mereka akan terlonjak sampai akhirnya pingsan dan kemudian meregang nyawa. Pada saat-saat seperti itulah aku akan langsung memasukkan nyawa mereka yang kulihat mengambang memenuhi udara menyerupai asap dan terkadang seperti gelembung sabun—bening mengkilat, serta-merta aku memasukkannya perlahan-lahan ke dalam botol kaca yang juga telah aku sediakan.

Selanjutnya tubuh mereka akan aku ikat dengan tali, lalu aku bungkus serapi mungkin menyerupai mumi, sama seperti yang aku lakukan padamu saat ini. Biasanya aku akan melontarkan pertanyaan terakhir sebagai penutup; di mana jasad mereka ingin aku kuburkan? Atau arah seperti apa yang mereka sukai saat nanti kubaringkan tubuh mereka di dalam tanah? Atau adakah barang berharga yang ingin mereka bawa? Namun, sebelum semua prosesi itu, akan aku inapkan terlebih dahulu mereka di kamarku ini beberapa hari, seperti yang juga sudah kau alami sendiri sekarang ini. Sesederhana itu.

Jadi, usai kulaksanakan semua prosesi ini, juga setelah aku selesai membungkus jasadmu dengan rapi, katakan padaku, jenis tanah seperti apa yang kau suka, adakah barang berhargamu yang ingin kau bawa serta, dan… di mana persisnya tubuhmu ini ingin aku kuburkan segera?

*****

Editor: Moch Aldy MA

Ikhsan Muhammad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email