Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia, seperti juga ke negara-negara lainnya, telah membawa gegap gempita bagi masyarakat. Sebagai pemimpin Gereja Katolik yang terkenal dengan pendekatan inklusif dan upayanya dalam mempromosikan perdamaian, Paus Fransiskus telah memberikan inspirasi tidak hanya bagi umat Katolik tetapi juga bagi banyak orang dari berbagai latar belakang agama. Salah satu aspek penting dari kunjungannya adalah pesan-pesannya mengenai pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan solidaritas. Dalam konteks pendidikan di Indonesia, nilai-nilai ini sangat relevan dan patut dipertimbangkan untuk diimplementasikan
Dalam pidatonya pada tahun 2022 lalu di sebuah pertemuan dengan delegasi Global Researchers Advancing Catholic Education Project, Paus Fransiskus menekan bahwa “pendidikan bukan sebatas mengatakan hal-hal retoris; mendidik itu menjadikan apa yang dikatakan untuk dapat benar-benar diaktualisasikan dalam tindakan nyata”. Dalam perkataan lain, pendidikan bukan sekedar berceramah tapi nihil suri tauladan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa pendidik yang sejati memaklumi kesalahan yang diperbuat oleh murid dan kemudian menemani, menyambut dengan tangan terbuka, mendengarkan dan berdialog dengan mereka dan bersama-sama mencari jalan kebenaran (Vatikan News, 2022. Pope Francis: A true educator accompanies, listens and dialogues: https://www.vaticannews.va).
Lalu bagaimana kondisi pendidikan karakter di Indonesia dan relevansinya dengan pesan-pesan pendidikan yang disampaikan Paus Fransiskus?
Pendidikan di Indonesia sudah sejak lama memasukkan unsur-unsur pendidikan karakter dan nilai-nilai dalam kurikulumnya. Namun, banyak yang menganggap bahwa implementasinya masih jauh dari harapan. Berbagai program pendidikan terlalu menekankan pada aspek intelektual sebagai ukuran keberhasilan, sehingga pembentukan karakter yang baik terabaikan (Salirawati, 2021). Padahal, secara legal sudah ada Perpres No 87 Tahun 2017 Tentang Penguatan Pendidikan Karakter di sekolah. Namun demikian, efektivitas pendidikan karakter terkadang dipertanyakan karena tidak adanya penerapan pendidikan karakter secara menyeluruh, melainkan sekedar memenuhi kewajiban mengajar, tanpa mengetahui bagaimana seharusnya menginternalisasikan karakter melalui pembelajaran (Salirawati, 2021). Selain itu, penilaian pendidikan karakter dalam konteks pembelajaran, misalnya bahasa Inggris, juga masih menjadi tantangan karena sebagian besar nilai-nilai dalam pendidikan karakter berasal dari doktrin agama, ada kemungkinan nilai-nilai karakter hanya sebagai imposisi atau doktrinasi belaka (Mambu, 2015).
Krisis Keteladanan
Salah satu tantangan terbesar dalam pendidikan tentang nilai-nilai dan karakter di Indonesia adalah krisis keteladanan. Keteladanan yang dimaksud disini adalah contoh nyata dari perilaku yang baik dan etis yang harus dicontohkan oleh pendidik, pemimpin dan tokoh masyarakat. Keteladanan ini menjadi penting karena bagaimana siswa dapat menerapkan nilai kepedulian terhadap sesama, misalnya, dalam kondisi ekonomi yang semakin mengarah kepada kapitalisme, yakni, ketika sumber-sumber kekayaan hanya berkutat pada sekelompok kecil orang dan yang lebih menyedihkan lagi pemerintah justru melanggengkan sistem oligarki baik ekonomi maupun kekuasaan.
Pada sisi lain, kepedulian kita kepada orang lain seringkali dimanfaatkan oknum dengan menjual rasa iba. Tentu kita sering menjumpai anak-anak kecil di trotoar atau persimpangan lampu merah yang tengah meminta-minta; atau orang yang menjajakan barang dagangan di pinggir jalan yang ternyata hanya sebagai trik untuk meraih simpati dan tidak sedikit orang yang tertipu dengan praktik jualan iba seperti itu; apalagi di kota-kota besar seperti Jakarta.
Kasus kekerasan seksual akhir-akhir ini juga sering terjadi dan parahnya dilakukan oleh guru. Ini merupakan sebuah paradoks yang mencederai nurani. Para oknum guru yang notabene adalah para insan pendidik yang seharusnya menjadi pelindung dan pemberi rasa aman terhadap anak-anak yang para orangtua titipkan, justru menjadi pelaku tindak kekerasan seksual atau kekerasan psikis dan fisik lainnya.
Nilai keadilan dan kesempatan hak yang setara juga masih menjadi pertanyaan. Pasalnya perilaku para orang terdidik justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Misalnya saja kasus kecurangan dalam pengajuan jabatan akademik guru besar. Dengan melakukan pelanggaran etika akademik seperti itu sebenarnya mereka telah menggerus aspek keadilan dan kesetaraan. Orang yang benar-benar jujur akan kalah dengan orang culas yang memiliki kedekatan dengan penguasa atau birokrat. Aspek keadilan dan kesempatan yang sama pun akhirnya hanya sebatas jargon.
Nilai penerimaan dan persaudaraan terkadang juga sebatas lip service para tokoh agama–meskipun tidak semua tokoh agama. Pada kenyataannya masih banyak kasus-kasus kekerasan dan intoleransi atas dasar perbedaan agama atau keyakinan. Misalnya saja kasus pelarangan terhadap pendirian tempat ibadah agama tertentu atau pelarangan ritual keagamaan yang berbeda dengan ritual agama mayoritas. Bahkan masih dalam satu agama pun terkadang masih saling mengkafir-kafirkan kelompok atau organisasi massa lainnya.
Singkatnya, beberapa berita mengenai kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh guru menunjukkan betapa rapuhnya integritas dan etika dalam pendidikan. Akibatnya, tidak hanya sekedar reputasi pendidikan yang rusak tetapi juga mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan. Juga, tindakan tidak etis oleh beberapa akademisi yang memanipulasi syarat pengajuan guru besar juga menunjukkan perlunya kembali pada nilai-nilai kejujuran dan keteladanan yang tulus dalam dunia akademik.
Keteladanan Paus
Kehadiran Paus Fransiskus ke Indonesia harusnya menyadarkan kepada kita bahwa nilai-nilai kebaikan harus benar-benar diaktualisasikan dalam tindakan nyata seperti apa yang dicontohkan oleh Paus sendiri; misalnya, nilai-nilai kesederhanaan yang benar-benar ia aktualisasikan dalam perbuatan nyata.
Untuk bisa menerapkan nilai-nilai pendidikan seperti yang dikampanyekan oleh Paus Fransiskus secara efektif di Indonesia, perlu adanya usaha bersama dari berbagai pihak. Para pendidik harus bisa menjadi contoh atau teladan yang baik, bukan hanya dalam kata-kata tetapi juga dalam tindakan sehari-hari. Hal yang sama juga berlaku untuk para pemimpin dan tokoh masyarakat serta kita semua sebagai warga Indonesia.
Selain itu, perlu ada langkah-langkah praktis untuk dapat memastikan nilai nilai pendidikan dan pendidikan karakter dapat terlaksana dengan baik. Pertama, perlunya adanya pelatihan yang berkelanjutan bagi para guru tentang nilai-nilai kemanusiaan dan bagaimana menerapkannya dalam praktik sehari-hari di kelas. Kedua, peningkatan kualitas pendidikan harus terus diupayakan oleh pemerintah dengan cara menerapkan nilai-nilai yang diusung dalam program pendidikan karakter diterapkan dengan konsisten. Ketiga, pemerintah juga perlu melakukan evaluasi berkala terhadap efektivitas program pendidikan karakter dan membuat perbaikan berdasarkan umpan balik dari siswa dan masyarakat.
Tantangan yang dihadapi dalam implementasi pendidikan karakter di Indonesia memerlukan komitmen dari semua pihak. Dengan mengikuti teladan Paus Fransiskus dan menerapkan langkah-langkah praktis, kita dapat bersama-sama membangun sistem pendidikan yang lebih adil, damai, dan penuh empati. Mari kita berkomitmen untuk menjadikan nilai-nilai kebaikan dan keteladanan sebagai fondasi dalam setiap aspek pendidikan kita. (*)