Belakangan, istilah healing jadi semacam mantra sakti di kalangan anak muda. Begitu stres sedikit, langsung ke pantai. Gagal cinta? Staycation. Habis debat sama atasan atau dosen? Ngopi cantik sambil update story. Bahkan rebahan berjam-jam sambil scrolling TikTok atau binge-watching Netflix juga kerap dibungkus dengan dalih: “Lagi healing dulu.”
Tapi… benarkah itu bentuk penyembuhan? Atau jangan-jangan, itu cuma cara halus kita buat melarikan diri dari kenyataan?
Banyak dari kita, terutama Gen Z, sering merasa terjebak di antara tekanan hidup, patah hati yang belum pulih, atau ekspektasi yang gagal terpenuhi. Di titik itu, aktivitas apapun yang terasa nyaman dianggap sebagai “obat”. Padahal, nggak semua yang nyaman itu menyembuhkan.
Baca juga:
Di artikel ini, kita akan bahas mengenai perbedaan antara self-care dan self-escape. Hal yang tampak serupa, tapi berdampak sangat berbeda bagi kesehatan mental dan proses move on-mu.
Apa Itu Self-Care dan Kenapa Penting?
Self-care bukan hal baru, tapi kini makin relevan, terutama bagi Gen Z yang hidup di tengah tekanan sosial, akademik, pekerjaan, bahkan overexposure media. Di tengah semua tuntutan itu, self-care hadir sebagai bentuk perhatian pada diri sendiri — bukan egois, tapi sadar bahwa kita juga perlu dirawat.
Secara sederhana, self-care adalah segala aktivitas yang kamu lakukan dengan sadar untuk menjaga kesehatan fisik, mental, dan emosional. Tujuannya bukan untuk lari dari masalah, melainkan memberi ruang bagi diri sendiri untuk pulih, bernapas, dan bangkit lagi.
Contoh bentuk self-care bisa sangat beragam. Ada yang memilih olahraga ringan di pagi hari, ada yang journaling sebelum tidur, ada pula yang rutin mengurangi screen time agar tidak terlalu terbawa suasana media sosial. Bahkan, memilih tidur cukup dan makan bergizi juga merupakan bagian dari self-care.
Hal yang membedakan self-care dari aktivitas lainnya adalah niat dan kesadaran. Self-care dilakukan bukan karena ingin kabur dari sesuatu, tapi karena ingin lebih hadir dan kuat untuk menjalani hidup.
Bagi banyak anak muda, self-care bisa menjadi pijakan untuk membangun kembali harga diri, semangat, atau bahkan harapan. Sebuah langkah kecil tapi penting dalam proses penyembuhan yang sebenarnya.
Self-Escape, Si Pelarian yang Sering Disamakan
Di sisi lain dari self-care, ada satu pola perilaku yang sering kali disalahartikan sebagai penyembuhan: self-escape. Keduanya memang terlihat mirip, sama-sama memberi jarak dari masalah, sama-sama terasa nyaman. Tapi dampaknya bisa sangat berbeda.
Self-escape adalah bentuk pelarian dari kenyataan. Saat seseorang memilih tidur seharian untuk menghindari konflik, scroll media sosial hingga lupa waktu, atau terus-menerus menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak menyentuh inti masalah, itulah self-escape. Tujuannya bukan untuk memulihkan diri, tapi sekadar menghindari rasa sakit.
Masalahnya, self-escape sering terasa lebih instan dan menghibur. Nonton berjam-jam, hangout tanpa arah, atau impulsif membeli barang-barang lucu bisa memberi rasa lega sementara. Tapi setelah itu, kita kembali terjebak dalam kekosongan yang sama, bahkan mungkin lebih parah.
Self-escape memang menggoda. Ia menawarkan jeda, tapi bukan solusi. Ia memberi rasa aman palsu, tapi bukan ketenangan batin. Dalam jangka panjang, self-escape justru memperpanjang luka dan mempertebal rasa kecewa pada diri sendiri.
Dan inilah jebakan yang sering tak disadari: kita merasa sudah “healing”, padahal kenyataannya kita hanya sedang menjauh dari hal-hal yang perlu dihadapi.
Cara Membedakan Self-Care vs Self-Escape
Sekilas, self-care dan self-escape tampak serupa. Keduanya bisa berbentuk tidur, liburan, rebahan, atau menyendiri. Tapi perbedaannya terletak pada niat dan dampaknya.
Self-care dilakukan dengan sadar untuk merawat diri, tujuannya jelas: pulih dan kuat kembali. Sebaliknya, self-escape muncul dari dorongan untuk menghindari rasa sakit atau kenyataan yang tak nyaman.
Hasilnya pun berbeda. Self-care biasanya membuat hati lebih tenang dan siap melanjutkan hari. Sedangkan self-escape justru meninggalkan rasa hampa, cemas, bahkan bersalah.
Baca juga:
Ciri lainnya, self-care punya batas sehat dan ritme yang teratur. Sementara self-escape cenderung kebablasan dan dilakukan impulsif tanpa kontrol.
Jadi, sebelum bilang “aku butuh healing,” coba tanyakan ke diri sendiri:
“Ini bentuk cinta pada diri, atau pelarian yang aku bungkus dengan nama lain?”
Tips Supaya Healing-mu Gak Jadi Pelarian
Agar proses healing benar-benar menyembuhkan, bukan sekadar pelarian, kamu perlu lebih sadar dalam setiap aktivitasmu. Mulailah dengan menanyakan satu hal sederhana, seperti “Setelah ini, aku ingin merasa lebih kuat atau cuma ingin lupa?”
Ambil waktu secukupnya untuk istirahat, tapi tetap beri batas. Misalnya, journaling 15 menit setiap pagi, atau weekend tanpa media sosial. Hindari kegiatan yang bikin kamu numb atau malah tambah overthinking. Pilih aktivitas yang memang menguatkan—bukan cuma menenangkan sesaat.
Dan yang paling penting, jangan takut untuk lebih jujur dalam mengekspresikan emosi. Luka nggak akan sembuh kalau terus disembunyikan. (*)
Editor: Kukuh Basuki