Pengajar di sekolah menengah pertama

Antara Kecerdasan Buatan dan Masyarakat Buta Makna

Fio F. Yussup

7 min read

Education does not substitute for political action, but it is indispensable to it because of the role it plays in the development of critical consciousness.”

Ann E. Berthoff menuliskan bahwa pendidikan tidaklah menggantikan sebuah tindakan politik, tetapi setidaknya pendidikan merupakan jalan menuju kepada kesadaran kritis bagi masyarakat. Tulisan tersebut menyambung pernyataan Paulo Freire dan Donaldo Macedo tentang buta huruf; bahwa buta huruf tidak hanya mengancam stabilitas ekonomi masyarakat, tetapi merupakan sebuah ketidakadilan. Bukan hanya sampai di situ konsekuensi dari butu huruf. Freire dan Macedo melanjutkan kalau bahaya laten dari buta huruf tidak hanya berhenti pada tataran individu, tetapi beban itu ditanggung secara kolektif oleh komunitas masyarakat.

Ketidakadilan yang disebabkan oleh buta huruf, semisal, ketidakmampuan individu, bahkan suatu komunitas masyarakat dalam mengambil suatu keputusan dalam proses politik. Dalam hal ini masyarakat akan lebih mudah termakan gimik oleh para politisi serta dapat mengancam tatanan demokrasi yang sudah dibangun sebelumnya.

Pendidikan bukan hanya sebagai tempat transfusi pengetahuan, seharusnya pendidikan menjadi arena untuk berdialog antar gagasan, berpikir tentang pemikiran, dan memahami tentang pemahaman. Akan tetapi, pendidikan hari ini berlangsung selayaknya tabula rasa yang bisa kita isi sesuai dengan keinginan. Tambah pula, dengan terbukanya gerbang ruang siber, semakin menambah runyam masalah yang terjadi di dalam tubuh pendidikan, khususnya mengenai kecerdasan buatan atau artificial intellegence (AI) sebuah teknologi paradoks bagi tubuh pendidikan.

Namun, apakah kita harus menyerah begitu saja di hadapan sang mesin maha canggih tersebut? Atau kita harus melawan seperti dalam prosa “The Worker and The Machine” yang ditulis oleh Ricardo Flores Magòn? Hal tersebut jika merujuk pada Chiu et. al., jalan terbaik untuk mengahadapi hal tersebut adalah melakukan perlawanan dengan menyusun semacam kurikulum mengenai AI pada pendidikan dasar dan menengah.

Literasi AI

Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Chiu et. al., yang berjudul, “What are artificial intelligence literacy and competency? A comprehensive framework to support them” (2024) menuliskan bahwa AI bukan hanya sebuah mesin yang bersifat merusak dan mengancam, tetapi merupakan sesuatu yang menguntungkan jika digunakan serta dipelajari dengan baik. Chiu menawarkan dalam artikelnya mengenai literasi serta kompetensi AI guna menunjang suatu proses pendidikan. Namun, apa itu literasi dan kompetensi AI?

Sebelum kita lebih jauh membahas mengenai literasi dan komptensi AI, baiknya kita samakan terlebih dahulu mengenai konsep literasi itu sendiri. Banyak di antara kita yang masih menganggap kalau literasi itu merupakan sebuah konsep yang terus menerus berurusan dengan membaca dan menulis, sehingga konsep literasi terkesan kering dan membosankan. Namun, sebetulnya literasi sendiri itu apa sih? Sederhananya literasi merupakan sebuah kemampuan untuk melaksanakan sebuah tugas secara efektif dan efisien.

Baca juga: 

Mengapa literasi berhubungan dengan efektivitas? Hal tersebut didasari oleh makna literasi itu sendiri yaitu pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu atau kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Oleh karena itu, jelas bahwa literasi bukan hanya tentang membaca dan menulis saja. Seperti penyataan Henry A. Giroux dalam sebuah esai yang berjudul “Literacy and The Pedagogy of Political Empowerment” bahwa literasi bukan hanya tentang membaca dan menulis saja, tetapi lebih dari itu sebagai budaya; Serta buta huruf bukan hanya ketidakmampuan masyarakat dalam membaca dan menulis, tetapi lebih dari itu adalah bagaimana mereka tidak bisa memahami keadaan dalam hal ini kehidupan sosial mereka.

Selanjutnya, mengenai literasi dan kompetensi AI, apakah literasi dan kompetensi AI sama dengan membaca atau menulis tentang AI? Sepertinya jika definisinya hanya sebatas di situ, maka proses serta produk yang dihasilkan oleh kurikulum hanya akan menemukan kebuntuannya.

Dalam hal ini literasi dan kompetensi AI, merujuk pada pengertian yang diberikan oleh Duri Long dan Brian Magerko dalam artikelnya yang berjudul “What is AI Literacy? Competencies and Design Considerations” (2020), yang mendifinisikan mengenai literasi dan kompetensi AI sebagai sebuah kemampuan yang memungkinkan individu dalam mengkritisi teknologi AI, menjalin komunikasi, berkolaborasi secara efektif, dan menggunakannya sebagai alat pendukung untuk kegiatan daring di rumah, bahkan di tempat kerja.

Akan tetapi, definisi tersebut menurut Chiu et. al., dinilai terlalu sukar dipahami serta diterapkan jika melihat target kurikulumnya merupakan anak-anak pada pendidikan dasar dan menengah, karena hanya akan menyebabkan sifat destruktif dari AI ini semakin jelas. Oleh karena itu, menurut Chiu et. al., definisi yang diberikan oleh Duri Long dan Brian Magerko tersebut dinilai masih kurang bisa diterapkan di ranah pendidikan dasar dan menengah, karena tidak mencakup kecakapan untuk bisa melakukan refleksi terhadap diri sendiri yang merupakan suatu hal penting dalam proses pembelajaran seumur hidup terhadap AI. Dengan demikian, Chiu et. al., mendifinisikan ulang mengenai pengertian literasi dan kompetensi AI dengan mamasukan refleksi terhadap diri sendiri.

Chiu et. al., mendefinisikan literasi dan kompetensi AI sebagai kemampuan individu untuk memahami cara kerja dan dampak AI terhadap kehidupan, serta menggunakannya secara etis dan bertanggung jawab. Hal ini juga meliputi kemampuan berkomunikasi dan berkolaborasi, serta kemampuan merefleksikan pemahaman mereka guna kebermanfaatan AI tersebut. Definisi tersebut sejalan dengan yang direkomendasikan oleh UNESCO bahwa literasi dan kompetensi AI merupakan sekumpulan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dimiliki peserta didik untuk memahami dan berkolaborasi bersama AI dengan aman dan sesuai dengan moral di sekolah dan di luar sekolah.

Baca juga:

Selanjutnya, dalam menyusun kurikulum tentang AI untuk pendidikan dasar dan menengah, Chiu et. al., merekomendasikan tiga dasar pemikiran terkai AI. Dasar pemikiran yang pertama adalah Five Big Ideas in AI. Rumusan yang disusun oleh David Touretzky, Christina Gardner-McCune, Fred Martin, dan Deborah Seehorn ini membahas tentang lima dasar yang harus dipahami tentang AI yaitu: perception, respresentation and reasoning, learning, natural interaction, dan societal impact.

Berikutnya, Chiu et. al., sendiri memberikan kerangka untuk literasi AI dalam proyek AI4Future. Mereka membagi lanskap itu ke dalam tiga bagian: 1) pengantar tentang AI, big data, machine learning, dan fungsi cloud; 2) hal apa saja yang bisa dilakukan oleh AI, semisal, perspesi kepitaran mesin (melihat dan mendengar), teknologi bahasa manusia (berbicara dan membaca serta menulis), dan integrasi kepintaran (membuat alasan, membuat simulasi untuk pemecahan masalah, dan membuat sebuah konten); dan 3) bagaimana AI berkolaborasi dan mendukung dalam segala lini kehidupan serta bagaimana pengaruhnya terhadap kehidupan sosial.

Kemudian, yang terakhir diambil dari projek Thomas K.F. Chiu bersama dengan guru-guru di sekolah mitra kampusnya yang membahas apa itu AI, bagaimana AI memproses data, dan apa pengaruh AI; pedagogi dengan AI–relevansi dengan peserta didik, komunikasi guru dan murid, dan fleksibilitas; dan pengaruh AI terhadap kehidupan sosial.

Dengan demikian, dari beberapa definisi sampai dengan kerangka pemikiran dasar mengenai literasi dan komptensi AI, bisa dipastikan jikalau AI merupakan hal yang senantiasa dan seharusnya berjalan berdampingan dengan pendidikan bukan sebaliknya. Mari buang jauh-jauh adagium pesimisme semacam kehancuran umat manusia karena AI ini. Sebaliknya, kita bisa memanfaatkan AI dalam proses belajar sepanjang hayat. Masa depan pendidikan di tangan AI tidak segelap yang dibayangkan jika dasar pemahaman mengenai AI dan bagaimana kebermanfaatannya untuk kehidupan sosial dipahami. Namun, apakah literasi dan kompetensi AI ini bisa masuk ke dalam kurikulum pendidikan di Indonesia?

Buta Makna

Membicarakan literasi di Indonesia seperti dua peribahasa: Rumah terbakar, tikus habis ke luar dan arang habis besi binasa. Glorifikasi terhadap program-program literasi sudah bukan hal asing lagi, adanya Gerakan Literasi Sekolah, Pojok Baca, Membaca 15 menit sebelum pembelajaran, dan lain-lain, merupakan suatu bentuk yang dilakukan guna menyemarakan dan mengkampanyekan literasi. Akan tetapi, dari sekian banyaknya program tentang literasi hampir seluruhnya berakhir dalam kesia-siaan belaka.

Dikatakan dalam sebuah penelitian mengenai penyebab rendahnya tingkat literasi pada remaja adalah kurangnya minat membaca, kurangnya dukungan lingkungan sekitar, serta minimnya akses terhadap bahan bacaan. Hal tersebut mungkin saja ada benarnya, tetapi sebetulnya yang kita hadapi saat ini sebetulnya literasi yang mana? Literasi secara leksikal yaitu hanya pada mampu membaca dan menulis saja? Atau literasi secara gramatikal yaitu pada tataran makna atau pemahaman?

Badan Pusat Statistik mencatat jikalau presentase buta aksara di Indonesia pada tahun 2021 sebesar 3.96% untuk umur 15+, 0.75% untuk umur 15-44, dan 9.24% untuk umur 45+. Selanjutnya, pada tahun 2023 terjadi penurunan angka tersebut, untuk kategori 15+ sebesar 3.47%, untuk kategori 15-44 sebesar 0.47%, dan untuk kategori 45+ sebesar 8.04%. Dari data tersebut menunjukan bahwa adanya penurunan buta aksara pada masyarakat di Indonesia. Dengan demikian, jika literasi dipahami secara leksikal atau meminjam istilah Freire dan Macedo literasi mekanis, literasi di Indonesia tidak terlalu buruk. Namun, jika literasi dipahami secara gramatikal, apakah data tersebut akan sama menunjangnya?

Literasi kita sebetulnya tidak seburuk yang dipikirkan jika dipahami secara leksikal atau literasi mekanis, tetapi jika dipahami secara gramatikal literasi kita sangat kacau balau. Hal tersebut bisa terlihat dari masyarakat di ruang siber yang enggan untuk memahami pesan atau pun makna dari sebuah teks tertulis—dibandingkan untuk memahami pesan serta paham tentang makna teks tertulis tersebut mereka lebih memilih menjadi reaktif. Ujaran kebencian ad hominem menjadi hal lumrah bagi mereka. Dalam hal ini tantangan yang dihadapi masyarakat di Indonesia bukan lagi tentang buta aksara, melainkan buta makna.

Hal tersebut didukung oleh penelitian PISA yang menyebutkan bahwa hampir tidak ada atau hanya sedikit saja pelajar di Indonesia yang mampu memahami secara komprehensif suatu teks, atau pun membedakan fakta dan opini yang implisit dalam teks tersebut. Oleh karena itu, literasi yang dipahami secara gramatikal di Indonesia masih sangat rendah. Bukan mereka tidak bisa membaca atau menulis, tetapi mereka sukar untuk bisa memahami isi dari sebuah teks. Kemampuan analitis serta sintetis ketika membaca sehingga mampu memahami sebuah teks masih sangat rendah. Tambah pula, pengalaman saya sebagai guru, banyak dari peserta didik yang ketika disuruh membaca sebuah teks, mereka kesulitan untuk menangkap makna dari teks tersebut. Pun yang membuat saya kaget adalah di kelas 8 masih ada yang membaca dengan mengeja.

Dengan demikian, setelah melihat data yang diberikan oleh Badan Pusat Statistik dan melihat hasil PISA, tingkat literasi di Indonesia tidak seburuk apa yang kita pikirkan jika literasi tersebut dipahami secara leksikal atau literasi mekanis. Akan tetapi, jika literasi tersebut dipahami secara gramatikal memang buruk. Buta makna di negeri ini merupakan masalah serius yang harus segera diselesaikan. Buta makna ini bukan hanya ditanggung oleh individu secara personal, tetapi konsekuensi buta makna ini ditanggung pula oleh komunitas masyarakat dan lebih buruk lagi pada tatanan negara.

Kurikulum AI

Apakah literasi dan kompetensi AI bisa masuk ke dalam kurikulum pendidikan di Indonesia? Setelah beberapa masalah literasi yang disebutkan sebelumnya, mampukah literasi dan kompetensi AI masuk ke dalam kurikulum? Pun jika masuk, akankah bisa mencapai target capaian atau hanya sebaliknya?

Saya secara pribadi akan skeptis jika memang akan dimasukan ke dalam kurikulum. Mengapa demikian? hal tersebut setidaknya didasari bukan hanya karena kemampuan analitis dan sintetis yang rendah atau pun literasi makna yang buruk. Akan tetapi, karena literasi digital yang juga masih sangat rendah di kalangan masyarakat, khususnya bagi mereka yang nantinya akan menjadi pelaksana kurikulum, yaitu guru di sekolah.

Literasi digital sendiri dengan merujuk pada pengertian yang diberikan oleh Garry Falloon yang mengutip Borthwick dan Hansen dalam artikelnya yang berjudul “From Digital Literacy To Digital Competence: The Teacher Digital Competency (TDC) Framework” (2020), merupakan kemampuan untuk menggunakan dan mengevaluasi sumber daya, alat, dan layanan digital dengan tepat, dan menerapkannya pada proses pembelajaran seumur hidup. Lebih lanjut literasi digital merupakan sekumpulan pengetahuan serta keterampilan guna mengakses, menemukan, mengelola, mengedit informasi digital, serta bergabung dan terlibat aktif dengan jaringan informasi dan komunikasi daring di ruang siber.

Baca juga:

Kemampuan dalam mengelola atau pun mengakses bahan-bahan digital yang dilakukan guru-guru di sekolah masih rendah. Penggunaan media pembelajaran digital pun masih sukar dan enggan untuk dilakukan, khususnya mereka yang mendekati masa pensiun. Ketika memahami literasi dan kompetensi AI, kemampuan serta pemahaman dasar mengenai literasi digital setidak-tidaknya harus dimiliki oleh pelaksana di lapangan yaitu guru-guru. Jikalau kemampuan dasar dalam memahami dunia digital saja masih rendah, apalagi untuk memahami produk-produk AI.

Hal tersebutlah yang setidaknya alasan saya skeptis jika memang literasi dan kompetensi AI masuk ke dalam kurikulum. Belum lagi pesimis melihat kesiapan pelaksananya di lapangan, ataupun dari kompetensi para penyusunnya. Sama halnya dengan program Sastra Masuk Kurikulum, alih-alih menjadi jalan pencerah bagi pembelajaran malah menjadi salah satu jalan menuju kegelapan dan destruktif.

Literasi dan kompetensi AI sebetulnya bisa menjadi jalan pencerah buat pendidikan, karena pembelajaran yang dikolaborasikan dengan AI tersebut mungkin akan memberikan suatu makna yang berbeda sama sekali. Seperti halnya eksperimen yang dilakukan oleh Martin Suryajaya terhadap puisi dalam karyanya Penyair Sebagai Mesin, dengan memanfaatkan AI sebagai bagian dari proses kreatifnya—meskipun hasilnya terkesan aneh dan jauh dari konvensi sastra pada umumnya karena mungkin mencoba menjadi avant-garde-nya sastra Indonesia, setidaknya memberikan sesuatu yang baru bagi penulisan kreatif. Namun, dasar yang diperlukan untuk melakukan semacam literasi terhadap AI terlalu sukar untuk diwujudkan jika sumber daya yang akan terlibat aktif enggan untuk beranjak dari zona nyamannya.

Bayangkan apa yang akan dicapai jika dalam pembelajaran mampu memanfaatkan AI secara masif dan bertanggung jawab di kelas? Peserta didik tidak hanya mendapatkan pengetahuan, tetapi mereka belajar juga untuk bisa mengevaluasi hasil yang diberikan dari AI dan berkolaborasi dengannya, menciptakan hal-hal baru dalam pembelajaran. Semisal, dalam pembelajaran prakarya, diskusi mengenai produk apa yang harus dibuat bukan hanya dengan teman atau pun guru di kelas, tetapi bisa berkolaborasi dengan AI sehingga memunculkan ide-ide baru dalam pembelajaran tersebut. Namun, hal tersebut hanya bisa terjadi jika kemampuan literasi entah secara leksikal, gramatikal, atau pun digital yang dimiliki oleh guru-guru, peserta didik, atau pun perancang kurikulumnya mumpuni.

Melihat perkembangan teknologi AI yang sangat cepat, semisal, GPT-4 yang sudah bebas akses, literasi dan kompetensi AI ini layak sebagai bahan pertimbangan untuk masuk ke dalam kurikulum masa depan dalam pendidikan di Indonesia. AI untuk semua, sehingga bisa menciptakan masyarakat digital yang berkolaborasi dengan kecerdasan buatan dalam setiap sendi kehidupannya. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Fio F. Yussup
Fio F. Yussup Pengajar di sekolah menengah pertama

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email