Zaman Peralihan merupakan kumpulan tulisan yang lahir dari pemikiran pemuda sekaligus mahasiswa Indonesia, Soe Hok Gie. Tulisan tersebut menggambarkan peralihan situasi sosial-politik di Indonesia, khususnya peralihan masa kepemimpinan dari Orde Lama ke Orde Baru.
Dalam tulisannya, sebagaimana sebagian besar mahasiswa atau golongan intelektual di Indonesia, Gie sudah tidak memiliki kepercayaan lagi terhadap pemerintah Orde Lama di bawah kepemimpinan Bung Karno. Gie menganggap pemerintahan tersebut mengalami dekandensi moral dan korup.
Atas keadaan yang memburuk, Gie menaruh harapan besar terhadap pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto untuk mengatasi permasalahan yang ada. Namun, bukan berarti Gie secara fanatik menutup mata dan akan membenarkan segala tindak-tanduk pemerintahan Soeharto. Bahkan, dalam tulisannya itu, Gie mengatakan bahwa dia tidak akan segan-segan mengkritik pemerintahan Orde Baru. Menurutnya, hanya melalui kritik yang jujur, objektivitas dapat dibangunkan.
Kegelisahan Gie
Secara garis besar, buku tersebut terbagi menjadi empat bagian. Bagian pertama mengulas masalah kebangsaan. Pada bagian tersebut, pembaca dapat melihat keresahan dan kegelisahan Gie terhadap kondisi negaranya. Pembaca dapat menelusuri hubungan historis antara mahasiswa dengan tentara pada waktu itu, juga bagaimana kaum teknokrat memiliki peran dalam membangun dan bekerja sama dengan pemerintah Orde Baru. Gie juga merasa sedih terhadap pengaruh situasi politik nasional di Jakarta yang dapat memengaruhi kehidupan masyarakat di pedesaan dan para mahasiswa di kampus.
Baca juga:
Bagian kedua adalah masalah kemahasiswaan. Dunia kampus atau dunia pergerakan mahasiswa merupakan dimensi yang tak bisa dilepaskan dalam kehidupan Gie. Dalam bagian ini, Gie secara terus terang berani mengkritik almamaternya sendiri dengan tulisannya yang berjudul “Wajah Mahasiswa UI yang Bopeng Sebelah”. Dalam tulisannya itu, dia mencoba untuk membongkar kebobrokan situasi yang terjadi di kampus UI. Tak hanya itu, ia juga memberikan kritik kepada para dosen UI yang mengajar seenak atau semaunya saja, yang membuat Gie harus dipanggil dan dimaki-maki oleh dekan.
Bagian ketiga adalah masalah kemanusiaan. Ya, kemanusiaan merupakan sesuatu yang sangat bernilai dan sangat diperjuangkan oleh Gie sepanjang hidupnya. Pada bagian kemanusiaan ini, Gie menuangkan rasa kekecewaannya kepada negara yang melakukan pelanggaran hak asasi dan prinsip keadilan terhadap para korban yang dianggap terlibat G30S. Banyak orang ditangkap dan ditahan selama bertahun-tahun tanpa melalui proses pengadilan. Bahkan, terdapat tahanan yang meninggal di dalam penjara tanpa status yang jelas.
Bagian terakhir dari buku ini adalah catatan pengalaman perjalanan Gie selama di Amerika Serikat. Gie mendapatkan undangan perjalanan ke Amerika Serikat dari seorang temannya di Kedutaan AS. Gie tinggal di sana selama 75 hari lamanya.
Terdapat banyak pengalaman baru yang didapat oleh Gie selama menetap di AS. Di sana ia bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa dari berbagai negara dan berasal dari latar belakang yang berbeda pula. Selama di AS, Gie sering berdiskusi dan memberikan pengajaran materi mengenai situasi sosial-politik dan ekonomi di Indonesia.
Setidaknya tulisan-tulisan Gie dapat membuat kita merenungkan kondisi Indonesia masa lalu dengan masa kini. Apakah sudah banyak perubahan yang terjadi di negeri ini? Atau justru masih sama saja? Lalu, nilai-nilai apa saja yang bisa didapatkan oleh pembaca melalui tulisan-tulisan Gie? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin dapat dijawab oleh kenyataan-kenyataan yang ada pada saat ini.
Nilai-Nilai yang Diperjuangkan
Kumpulan tulisan Gie di dalam buku Zaman Peralihan mengandung beberapa nilai yang melekat pada sosok Gie. Di antaranya adalah kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran. Sejak artikel pertama, pasti ada satu nilai yang dituliskan atau dikeluhkan oleh Gie mengenai situasi yang tidak sesuai atau ideal bagi dirinya. Entah itu dalam lingkungan yang kecil, seperti kampusnya atau yang lebih besar, seperti bangsanya.
Sosok Gie sepertinya ingin menunjukkan kepada kita bahwa kemanusiaan jauh lebih penting dan berada di atas politik. Hal ini dapat dilihat dari sikap Gie mengenai kasus pembantaian ribuan orang yang diduga terlibat G30S di tiga wilayah, yakni Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Gie merupakan orang pertama yang dengan berani mengecam perlakuan tersebut melalui tulisannya. Padahal, jika dilihat dari rekam jejak Gie pada saat sebelumnnya, ia merupakan seorang tokoh mahasiswa yang antikomunis dan bersebrangan dengan sesuatu yang menyangkut PKI. Hal tersebut diakui oleh Gie sendiri.
Namun, ketika Gie mengetahui situasi tentang kejahatan terhadap kemanusiaan yang sedang terjadi di Bali, tentang pembunuhan dan pembantaian dengan skala yang besar, Gie mengecam dan tidak membenarkan tindakan tersebut.
Menurut Gie, tindakan yang dilakukan oleh PKI memang kejam dan keji, tetapi bukan berarti kita harus membalas tindakan tersebut yang sama kejinya dengan perbuatan mereka atau bahkan melebihi. Situasi yang sedang terjadi di Bali akhir 1965 sampai awal 1966 merupakan pemandangan mengerikan dan bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan.
Nilai kedua yang dapat diambil dari tulisan Gie adalah soal keadilan. Ada profesor tua bernama Prof. Dr. Soekirno yang telah sakit-sakitan dan ditahan selama bertahun-tahun tanpa proses pengadilan. Singkatnya, profesor tersebut meninggal dunia dalam statusnya yang menjadi tahanan politik. Menurut Gie, apa yang terjadi pada Prof. Dr. Soekirno pernah dialami pula oleh Sutan Sjahrir di bawah kepemimpinan Bung Karno. Hanya saja “narasi” penahanannya berbeda.
Akan tetapi, kedua kasus tersebut mempunyai satu titik kesimpulan yang sama. Bagi Gie, apa yang menimpa Prof. Dr. Soekirno yang meninggal dalam tahanan merupakan perwujudan dari ketidakmampuan orang-orang Indonesia dalam menegakkan prinsip-prinsip keadilan. Gie berharap kasus-kasus tersebut tidak terulang lagi dan menimbulkan korban-korban lainnya.
Nilai ketiga yang melekat di dalam diri Gie adalah kebenaran. Sepahit dan sesakit apa pun kebenaran harus tetap dikatakan. Setidaknya kebenaran jauh lebih baik daripada kemunafikan. Itulah prinsip yang dipegang oleh Gie.
Dalam tulisannya yang berjudul “Siapakah Saya?”, kebenaran tidaklah datang dalam bentuk instruksi dari siapa pun, tetapi harus dimaknai atau dihayati secara “kreatif”.
“A man is as he thinks, you can’t change it.” (Seorang manusia adalah seperti yang dipikirkannya, kau tak dapat mengubahnya).”
Kutipan tersebut didapatkan oleh Gie saat menonton film dari Cekoslovakia yang berjudul “Dan Penunggang Kuda Kelima adalah Ketakutan”.
Selain itu, Gie juga kecewa kepada teman-temannya yang tergabung dalam organisasi mahasiswa yang terafiliasi langsung oleh partai politik saat itu. Gie kecewa karena kebenaran yang diyakini oleh teman-temannya pada waktu itu adalah kebenaran yang didasarkan atas pertimbangan yang politis.
Bagi Gie, kita harus berani mengatakan kebenaran, jika memang itu benar. Harus berani katakan salah, kalau memang itu salah. Itulah kebenaran yang sesungguhnya. Kebenaran yang tidak dilihat dari suku, agama, ormas, atau afiliasi lainnya.
Baca juga:
Ketiga nilai itulah yang dipegang teguh dan cenderung dipertahankan oleh Gie semasa hidupnya. Disadari atau tidak, nilai-nilai itu pula yang menjadikan Gie sebagai seorang intelektual yang kesepian. Diasingkan dan dijauhkan oleh lingkungan dan teman-temannya, risiko yang ditempuh dan harus dihadapi oleh Gie yang tetap setia dengan nilai-nilai yang diyakini.
Berbeda Generasi tetapi Persoalannya Masih Sama
Selama membaca tulisan-tulisan Gie dalam buku Zaman Peralihan, terkadang timbul satu pertanyaan: Apakah Gie dan generasinya memiliki dan menghadapi persoalan yang sama dengan beberapa generasi setelahnya, termasuk generasi saat ini? Persoalan-persoalan yang mungkin tidak akan pernah hilang; persoalan-persoalan yang menyangkut keadilan dan kemanusiaan.
Membicarakan keadilan rasa-rasanya tak pernah berujung. Keadilan hanya ada di mulut dan menjadi sesuatu yang sekadar dibicarakan, ingin dicapai, tetapi semu. Semakin diharapkan, semakin jauh pula keadilan tersebut. Dalam tulisannya, Gie menceritakan tentang abainya negara dalam mengambil tindakan hukum kepada mereka yang bersalah atau membiarkan pelanggaran hukum yang terjadi.
Lihat, serupa bukan dengan kondisi saat ini? Pada saat ini, hukuman atau vonis yang diberikan para penegak hukum kepada koruptor cenderung ringan dan memihak mereka. Kejahatan yang mereka lakukan tidak sebanding dengan hukuman yang diberikan. Jadi, bukanlah sesuatu yang berlebihan kalau setiap manusia Indonesia terus menuntut dan mempertanyakan keberadaan keadilan di republik ini.
Lalu, hal yang kedua menyangkut kemanusiaan. Masih banyaknya kasus pelanggaran HAM menandakan bahwa negara ini masih menyepelekan HAM. Pelanggaran-pelanggaran HAM masa lalu yang belum diusut tuntas hingga aktor-aktor pelanggaran HAM yang memiliki jabatan penting merupakan bentuk ketidakseriusan negara dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Isu pelanggaran HAM selalu hanya menjadi komoditas atau barang dagangan politik belaka. Tidak lebih.
Sebagai pemuda dan juga manusia Indonesia seperti Gie, kita tentu mengharapkan sistem keadilan yang terbaik di Indonesia, yakni ketika sistem keadilan bukanlah sesuatu yang dapat diperjualbelikan. Indonesia harus menjadi negara yang menjunjung tinggi dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Tidak boleh ada lagi diskriminasi hukum. Untuk mewujudkan hal tersebut mungkin tidak mudah dan membutuhkan waktu yang panjang. Oleh karena itu, kita perlu memiliki kesadaran bersama akan hal itu dan mewujudkannya.
Editor: Prihandini N