Little that we know

Merawat Memori para Eksil

reza altamaha

2 min read

Lola Amaria hadir dengan membawa angin segar bagi perfilman Indonesia, terutama film dokumenter sejarah yang jarang sekali tampil di layar lebar. Film karyanya yang berjudul Eksil (2022) membawanya meraih Piala Citra Festival Film Indonesia 2023 untuk kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik. Produksi film ini merupakan kerja sama antara Lola Amaria Production dengan Yayasan Bumi Karya Lestari.

Saya awalnya tidak mengira film dokumenter sepanjang 119 menit ini akan mengentak saya hingga terisak di bioskop. Sungguh, bahkan selesai menonton film ini saya merasakan kehampaan dan membutuhkan waktu sejenak untuk merenungi apa yang barusan saya tonton.

Eksil mengantarkan penonton untuk melihat dan mendengar kisah orang-orang yang diasingkan dari tanah air mereka sendiri. Mereka awalnya dikirim ke beberapa negara seperti Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk tugas belajar. Namun, pergolakan politik yang pecah pada tahun 1965 atau dikenal sebagai G30S menjadi titik yang mengubah hidup para pelajar Indonesia secara drastis hingga mereka menjadi eksil.

Film ini dibuka dengan narasi yang tidak hentinya menggetarkan perasaan saya, salah satunya narasi pembuka yang berbunyi:

“Bagaimana rasanya ketika sepanjang hidup adalah usaha untuk mencari jalan pulang, kepada rumah, kepada ibu? Bagaimana rasanya ketika kita ada tapi dianggap tidak ada?”

Terdengar memilukan. Jauh lebih memilukan karena hal tersebut merupakan peristiwa yang benar-benar terjadi di kehidupan para eksil yang selama puluhan tahun bahkan hingga akhir hayat mereka tidak bisa kembali ke tempat yang mereka sebut Tanah Air.

Sejauh dan selama apapun mereka terasing di berbagai negara, sense of belonging mereka merujuk kembali ke Indonesia. Hal ini seperti yang tergambarkan dalam film manakala salah satu eksil menyatakan bahwa perasaan cintanya kepada Indonesia tampak seperti suatu hubungan yang tidak bisa dinalar olehnya. Di mana pun ia berada, perasaannya selalu kembali ke tempat ia berasal.

Tidak bisa kembali ke Tanah Air bukanlah akhir nestapa yang dialami oleh para eksil di film ini. Di negeri orang, mereka terus mengkhawatirkan nasib keluarga di Indonesia.

Dalam film ini diceritakan seorang eksil yang keluarganya menjadi sasaran “bersih-bersih” pasca G30S. Ada pula yang harus merelakan istrinya dinikahi oleh orang lain supaya kehidupan istrinya yang pernah menjadi tahanan politik dapat membaik. Ada eksil yang harus menelan kesedihan lantaran ada sanak-saudaranya enggan menerima kehadiran mereka karena khawatir akan menjadi target represi apabila masih menjalin relasi dengan eksil. Bahkan, salah satu eksil yang berupaya untuk pulang demi mencari pusara keluarganya mendapatkan intimidasi dan berakhir dengan deportasi.

Para eksil telah memasuki masa tua. Sampai akhir hayat, ada yang terus menanti kepastian untuk dapat pulang atau harus berakhir dan dimakamkan di negara yang jauh dari tanah airnya.

Satu momen krusial yang tidak saja mengaduk emosi saya, tetapi turut membuat saya beberapa kali menyeka air mata adalah upacara kematian Sardjio Mintardjo. Beliau merupakan salah satu eksil yang begitu dekat dengan mahasiswa Indonesia yang sedang melanjutkan studi di Belanda. Beliau selalu menyambut dengan hangat para mahasiswa Indonesia di kediamannya. Sewaktu upacara kematiannya, bukan lagu-lagu rohani yang mengiringi, melainkan lagu Indonesia Pusaka. Kenyataan bahwa tidak lagi tinggal di tanah kelahiran, hidup dalam keterasingan, tidak lantas mencerabut rasa memiliki almarhum terhadap Tanah Air.

Akan tetapi, film Eksil tidak hanya menyibak kesedihan orang-orang yang termarjinalisasi. Masih ada cerita menyenangkan yang mereka kenang, apalagi kalau terkait dengan Indonesia.

Hal lain yang menjadi perhatian saya di sini adalah bagaimana sang sineas dapat merakit kisah para eksil melalui medium penggambaran kreatif lain seperti stop motion untuk menggambarkan peristiwa-peristiwa lampau. Mungkin tidak sempurna, tetapi dapat memberikan gambaran berbagai peristiwa yang dialami oleh para eksil. Selain itu, Lola Amaria dapat dengan baik menyampaikan film ini tanpa perlu banyak upaya untuk mendramatisir. Lagipula, intonasi dan ekspresi yang ditunjukkan oleh para eksil di film ini bisa menggambarkan betapa lara dan perasaan rindu “rumah” menjadi persoalan yang mereka rasakan sepanjang hayat.

Baca juga:

Tidak mudah, bahkan sulit sekali, untuk mengikis narasi yang dibangun selama berpuluh-puluh tahun untuk menghapus kehidupan para eksil. Memori kolektif bangsa Indonesia direproduksi untuk mempercayai satu versi yang keluar dari yang berkuasa. Namun, selalu ada harapan bahwa pembelajaran dapat datang dari mana saja, tidak terkecuali dari film Eksil. Film ini lahir dari proses riset panjang dan pengambilan gambar bertahun-tahun hingga akhirnya dirilis dan menjadi voice bagi para voiceless. Suara bagi satu generasi intelektual yang kehadirannya disia-siakan oleh negara.

Teruntuk para eksil yang telah bersedia menceritakan kisah mereka dalam film ini, sungguh rasa cinta kalian yang tidak bersyarat kepada Tanah Air sulit untuk dinalar itu benar-benar menjadi pengingat bahwa bangsa ini tidak lepas dari sejarah yang kelam. Semoga masih ada harapan untuk terus menyuarakan kisah kalian di hari mendatang.

 

Editor: Emma Amelia

reza altamaha
reza altamaha Little that we know

One Reply to “Merawat Memori para Eksil”

  1. Saya langsung teringat dengan novel PULANG nya Leila Chudori. Premisnya mirip banget. Apa mungkin film ini adalah hasil kolaborasi antara Lola dan Leila?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email