Menteri luar negeri wanita pertama. Itulah gelar sejarah yang akan melekat pada sosoknya: Retno Lestari Priansari Marsudi. Perawakannya kecil, namun perannya menembus batasan teritorial. Penjuru buana sudah dilanglangnya. Ya, Bu Retno menjadi wajah diplomasi Indonesia selama sepuluh tahun terakhir, dengan jabatan yang melekat padanya sebagai menteri luar negeri.
Realita yang tak terelakkan bahwa Presiden Jokowi bukanlah tokoh internasional. Ia bukan pemimpin dunia. Narasi dan retorikanya tak berlalu-lalang dalam diskursus global. Namun ia punya Menlu yang lantang bersikap dan bersuara, dengan konektivitas global yang tak diragukan lagi, mengingat sejarah hidupnya sebagai diplomat karir. Retno sangat berperan dalam membangun dan menjaga reputasi Indonesia di dunia internasional.
Kekaguman semakin melimpah pada mantan duta besar Belanda itu, saat komitmen dukungannya pada Palestina begitu pasti dan non-kompromi. Tentu kita paham, siapapun menlunya akan bersikap mendukung penuh Palestina, karena instruksi konstitusi serta gelora solidaritas rakyat. Namun, ada ketulusan yang terpancar dalam setiap narasi, sikap, dan tindak yang diperlihatkan Retno menyangkut Palestina. Itulah yang membuat Retno dielu-elukan di Indonesia menyangkut dukungannya yang tegas pada Palestina.
Pada 12 September lalu, saat dilakukan audiensi dengan Komisi I DPR RI, Retno pamit. Tugasnya sebagai Menlu akan segera purna. Dalam salah satu ucapannya, Retno menyinggung Palestina dengan menyampaikan satu pesan menyentuh dan sangat tulus: jangan tinggalkan bangsa Palestina berjuang sendirian. Ucapan sang Menlu berkorelasi erat dengan prinsip kemerdekaan universal yang diamanatkan Undang-undang Dasar 1945, bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Mutlak.
Sura Retno Menggema di New York
Pada 23 September 2024, diadakan pertemuan tingkat menteri Gerakan Non-Blok (Non-Alignment Movement) di New York, Amerika Serikat. Pertemuan dipimpin Menteri Luar Negeri Uganda, Odongo Jeje Abubakhar. Menlu Retno turut hadir, dan menjadi pembicara. Dengan tangkas dan artikulatif seperti biasa, Retno menyerukan perlu dihidupkannya kembali semangat Bandung (Bandung Spirit) yang tercetus dalam Konferensi Asia-Afrika 1955, yang menekankan solidaritas dan perdamaian, terutama terhadap Palestina.
Retno juga menyampaikan kritiknya pada PBB. Badan internasional itu gagal menghentikan serangan Israel terhadap rakyat Palestina. Menlu juga menegaskan bahwa kejadian di Palestina tak bisa dianggap sebagai konflik semata. Lebih dari itu, peristiwa di Palestina -serangan brutal Israel- merupakan suatu penyerangan terhadap sistem multilateral. Retno mengakhiri pidatonya dengan seruan bahwa negara-negara non-blok harus berperan lebih konkret dengan dasar persatuan yang kokoh.
Mari lakukan refleksi atas gema dari pidato yang disampaikan Menlu Retno tersebut. Ya, dunia tentu tak bisa berjalan sebagaimana keinginan kita sepenuhnya. Namun, upaya mencapai idealitas tertinggi bukanlah suatu kehinaan. Sebaliknya, hal itu menjadi keharusan dan panggilan akal sehat. Ada beberapa catatan sebagai bentuk respon atau refleksi atas pidato Menlu Retno.
Pertama, PBB yang semakin nir-otoritas. Lembaga internasional yang berusia 75 tahun, produk tatanan dunia pasca-Perang Dunia II itu, semakin tak bertaji. Seruan damai tak henti-henti dikampanyekan, bahkan oleh sekjen, namun tak dihiraukan. Israel semakin brutal, korban semakin berjatuhan, kehancuran semakin tak terelakkan, dan PBB hanya bisa berseru, selebihnya? diam. Beku dalam ketidakberdayaan. Kritik Retno relevan, PBB tak bisa menghentikan serangan brutal Israel. Apa alasannya? Sederhana sekali, PBB semakin kehilangan otoritasnya. Lembaga itu semakin nir-otoritas. Ironi memang, tapi inilah nyatanya.
Kedua, Bandung Spirit dan pentingnya renungan historis. Saat mencapai kebuntuan dalam satu persoalan, pun demikian halnya dalam politik internasional, membuka kembali khazanah sejarah barangkali bisa menjadi solusi. Sejarah demikian pentingnya. Siapa yang enggan bercengkrama dengan sejarah, akan terpenjara oleh kesempitan berpikir dan ketidakberdayaan bertindak. Cicero benar, siapa yang tak belajar sejarah akan selamanya menjadi anak kecil. Begitu halnya dengan Bandung Spirit. Ia terpatri dalam sari pati sejarah dunia. Menlu Retno tidak akan menyinggungnya apabila ia tak melakukan renungan historis. Inilah pentingnya merenungkan peristiwa masa lalu, untuk menjadi pembangkit kekuatan masa kini, yang membuat Retno sampai pada satu seruan: mari hidupkan lagi Bandung Spirit untuk menggalang kekuatan signifikan, sebagainya yang terjadi puluhan tahun yang lampau, saat Indonesia dan negara-negara Asia-Afrika menyerukan hak kemerdekaan universal. Bandung Spirit adalah sari pati sejarah yang layak digali, dipelajari, dan dihidupkan kembali dalam semangat baru di zaman baru.
Ketiga, perkuat Gerakan Non-blok (GNM/NAM) sebagai sebuah blok politik alternatif. Dualisme dan polarisasi dunia dewasa kini, di abad 21, tidak setajam seperti masa Perang Dingin memang. Dunia kita saat ini lebih multipolar dan tak membagi dunia dalam pembelahan simetris dua pihak atau antara hitam dan putih. Namun, narasi konfliktual antara kekuatan besar tetap ada dan bahkan semakin rumit. Negara non-blok harus menjadi kekuatan politik yang solid untuk mengimbangi narasi pembelahan politik antara great power. Eratkan solidaritas, tentukan tujuan bersama, dan konsekuen terhadap nilai-nilai internasionalisme dan multilateralisme, adalah upaya merevitalisasi peran GNB dalam politik dunia.
Terakhir, apresiasi untuk H.E. Retno Lestari Priansari Marsudi, Menteri Luar Negeri RI, yang telah menjadi penerjemah kepentingan Indonesia di tingkat dunia. Pembelaannya yang tanpa syarat pada kemerdekaan Palestina, dan komitmennya pada multilateralisme, membuatnya layak mendapatkan apresiasi setinggi-tingginya. Selamat purna tugas Bu Retno, namamu abadi dalam sejarah Indonesia dan dunia.