Omongan Begoo Loontong terus menempel di pikiran Mat Sodek. Tak ada asal-usul dan penyebab, teman lamanya itu tiba-tiba beberapa menit lalu datang menghampirinya. Memberinya secarik kertas lusuh.
“Di sini ada nomor telepon. Hubungi aku. Masalahmu akan selesai. Kamu percaya atau tidak, terserah!” Kata Begoo Loontong.
Secarik kertas itu dilempar ke arah Mat Sodek saat santai sejenak di trotoar rumah sakit.
Setelahnya, Bego Loontong pergi.
***
Itu pertemuan singkat antara teman lama. Mat Sodek jadi ingat siapa Begoo Loontong. Orang yang rela mati dan melakukan apa pun demi anaknya.
Waktu itu Begoo Loontong beraksi di pasar malam. Dia benar-benar keturunan jelata. Semua orang yang mengenalnya pasti tahu, tidak ada darah orang kaya di nadinya. Saat itu dia benar-benar pusing, tunggakan uang sekolah anaknya sudah menggunung. Hanya saja kali ini triknya gagal, dia dihajar massa. Kalau polisi tidak datang, dia mungkin sudah bertemu malaikat pencabut nyawa.
Namun, nasib baik rupanya masih menyertainya. Di kantor polisi, Begoo Loontong gagal disidangkan. Polisi tidak memiliki barang bukti sama sekali selain wajahnya yang sudah tak keruan bentuknya.
“Bukan saya, Pak. Bukan saya. Mana buktinya? Mereka salah pukul orang! Saya cuma lewat dekat sana tapi dikira komplotan maling. Bukan saya!”
Polisi tidak bisa berbuat banyak. Begoo Loontong cuma mendekam di sel dua hari sebelum akhirnya bebas.
Sejak saat itu Begoo Loontong tidak diketahui keberadaannya. Teman-temannya hanya tahu kalau dia sekarang ikut orang kerja di ekspedisi antar pulau. Ada yang bilang jadi petugas kebersihan di rumah sakit. Ada yang bilang jadi makelar motor. Ada juga yang bilang jadi TKI. Bahkan, salah seorang teman pernah bercerita kalau Begoo Loontong ada di Afrika dan Amerika Latin. Pokoknya simpang siur kabarnya.
Lalu, sekarang dia tiba-tiba muncul di depan Mat Sodek, memberi secarik kertas harapan.
Kata-kata dalam kertas itu berpendar tiada henti di pikiran Mat Sodek. Dirinya memang sedang banyak masalah. Istrinya sekarat di rumah sakit sudah hampir sebulan. Bahkan seminggu ini semuanya semakin mengkhawatirkan. Tagihan obat sudah tak keruan. Kata tetangganya, para rentenir sering mengetuk pintu rumahnya. Sementara anaknya sudah harus sering bolos sekolah, bergantian jaga dengannya.
***
Seorang ibu sekarat di ranjang putih UGD. Napasnya sudah menyentuh kerongkongan. Pendeteksi jantung itu melemah tiap detik. Perutnya terlihat kembang-kempis memompa udara ke parunya. Mulutnya menganga melepas udara. Dia sakaratul maut. Keadaan paling menakutkan bagi siapapun yang hidup.
Mat Sodek di samping istrinya malam itu. Dia tidak sendiri. Anaknya, Soleng ada di sana juga. Mereka bersama-sama menunggu kematian orang yang paling mereka cintai dalam keluarga.
Malam itu memang terasa seperti guratan takdir yang nyata. Seperti unsur hidup lainnya, tak berdaya di hadapan kematian. Angin begitu senyap, dingin, namun menusuk. Itu bukan karena AC rumah sakit yang rendah. Firasat atas kematian lebih bisa dirasakan mereka yang dekat. Mat Sodek dan Soleng tahu ibunya tidak lama lagi mati.
“Jangan nangis kalau Ibu pergi,” kata Mat Sodek tiga hari lalu.
Soleng tak terlalu percaya omongan bapaknya. Dia berusaha untuk tidak berpikir ke arah sana. Ini rumah sakit. Cuma di sini bernegosiasi dengan kematian terasa logis.
“Ibu akan sembuh besok.”
“Dokter tadi cuma menghiburmu. Ibumu sudah seminggu ini tidak bergerak. Perutnya saja yang kembang kempis. Selebihnya, kita yang sibuk berdoa. Malaikat sudah ada di sini. Entah di sebelah mana.”
“Ibu akan sembuh besok,” kata Soleng.
Mat Sodek mau membalas omongan anaknya, tapi dihentikan oleh suara garis lurus pendeteksi jantung. Soleng berdiri. Menatap wajah terakhir ibunya. Dia berusaha tidak menangis. Si Bapak langsung keluar mencari petugas jaga.
Soleng mendekat ke ibunya. Dipegang lembut tangannya, ditangkupkan di atas perut. Lalu ditutup rapat mata dan mulutnya. Bayangan ibunya tiba-tiba datang, berpendar di kepala Soleng. Dia tahu, ibunya mau berpamitan.
Tergambar ibunya saat mengantar sekolah dulu, saat bersama ke pasar, membeli mainan kaleng dan jajan, saat memukulnya dengan penjalin di lapangan. Semua tiba-tiba berputar cepat melintas di kepala Soleng. Di antara semua kenangan itu, ucapan ibunya yang paling terasa kuat hadir.
Kamu harus sekolah. Jadi orang besar. Membahagiakan keluarga.
Harapan orangtua selalu sama, melihat anaknya bahagia dan sekolah setinggi mungkin. Itu seperti petuah bagi Soleng. Ibunya rela jadi buruh cuci, buruh masak, buruh bersih-bersih, asal dapat uang halal, seperak-duaperak, dia rela. Sementara Mat Sodek kerja serabutan di gudang body repair. Pengumpul kaleng cat bekas. Mentok hasilnya habis buat beli makan seminggu dan bayar uang sekolah bulanan anaknya.
Petugas jaga datang. Melepas semua selang infus dan lainnya. Sebelum kain ditutup, Soleng mengecup kening ibunya.
Harus sekolah. Kata-kata itu terus menggema di kepala Soleng. Satu-satunya warisan dari ibunya.
Bapaknya memilih untuk melihat saja. Bagi Mat Sodek, biarkan istrinya rindu kecupannya. Sehingga dia bisa rajin bertemu di dalam mimpi.
***
Setelah kematian ibunya, Soleng kembali rutin di sekolah. Sementara Mat Sodek sibuk di antara debu sisa semprotan cat body repair. Kehidupan keluarga Mat Sodek tidak berubah. Justru kini Mat Sodek harus sering-sering sembunyi dari lintah darat. Banyak utang yang harus dibayar.
Saat jam istirahat kerja, Mat Sodek lebih memilih sembunyi di tumpukan kardus sparepart ketimbang kumpul makan dengan yang lainnya. Saat pulang juga demikian. Mat Sodek memilih paling terakhir, dan berputar-putar di jalan. Biar setiba di rumah, tidak banyak yang melihatnya.
Soleng selalu lebih memilih menunggu bapaknya di depan pintu. Harapan bapaknya membawa sebungkus nasi selalu ada, walau banyak kecewanya. Entah sampai jam berapa, Soleng tidak peduli. Sekalipun tertidur, suara pintu terbuka akan membangunkannya. Itu pasti bapaknya. Tidak ada orang lain di rumah ini.
“Aku lapar. Tidak ada nasi. Hanya ada garam dan kecap.”
Mendengar itu, Mat Sodek tidak bisa bicara banyak. “Tidurlah dulu. Nanti pagi bapak janji beli makanan.”
Soleng tahu, cuma itu yang selalu bapaknya utarakan. Besok, besok, nanti, nanti.
Mat Sodek melihat sekeliling isi rumahnya. Terakhir kali, dia menjual kursi dan tikar yang biasa digunakan istrinya. Malam ini dia ingin menjual jam dinding dan gentong air.
***
Rumah Abah Madrun diketuknya malam-malam. Cuma orang tua itu yang bisa menampung segala jenis barang. Dia tengkulak rombeng terkenal. Abah Madrun cukup baik pada Mat Sodek. Harga yang diberikan untuk barang bekas yang dibawa Mat Sodek selalu dilebihi dari harga pasar. Abah Madrun tahu istri Mat Sodek orang baik. Sering jadi buruh cuci di rumahnya. Namun, malam itu Abah Madrun tidak ada di rumah.
“Abah Madrun sejak pagi tadi sudah berangkat umroh,” kata seorang pegawainya. “Dua minggu ke depan saya yang jaga.”
Tidak ada pilihan. Mat Sodek langsung menawarkan jam dinding dan gentong air itu.
“Ini berapa? Biasanya Abah Madrun menghargainya pantas.”
“Kalau begitu, tunggu Abah pulang umroh saja. Saya cuma disuruh jaga.”
“Berilah lebihan sedikit.”
“Saya cuma disuruh jaga!”
Jam dinding dan gentong air itu gagal dijual. Mat Sodek tidak tahu lagi harus ke mana. Satu-satunya orang yang biasanya mau membeli barang semacam ini sedang tidak ada di tempatnya. Hanya orang bodoh yang mau membeli barang ini, pikir Mat Sodek putus asa.
Di antara pikiran kalut entah ke mana, Mat Sodek merogoh saku celananya. Ada secarik kertas. Begoo Loontong. Nama itu terbisik dari bibir Mat Sodek. Cuma ada tulisan masalahmu akan selesai disertai nomor 01234567890000.
Napas itu terhela sejenak. Angin menggiring pikiran Mat Sodek untuk tenang. Dia jadi ingat cerita salah seorang temannya kalau Begoo Loontong kini jadi orang sukses di Afrika dan Amerika Latin. Cerita-cerita itu mengusik sekali bagi orang miskin seperti diri Mat Sodek.
***
Dengan sedikit sisa pulsa, nomor itu dihubungi. Berdering beberapa saat, akhirnya suara Begoo Loontong terdengar. Belum sempat menyapa lebih jauh, sambungan itu terputus. Pulsa habis, itu yang tertulis di layar.
Mat Sodek menelan ludahnya dalam-dalam. Tidak pernah terpikirkan nasib hidupnya bakal seperti ini. Diratapi kembali jam dinding dan gentong airnya. Tak ada harapan. Untuk membeli makan saja dirinya harus membawa barang bekas semacam ini. Dia ingat wajah terakhir istrinya, serta sapaan lapar anaknya. Tak bisa dibendung, Mat Sodek membasahi pipinya dengan rintikan air mata. Sekuat apa pun lelaki, dia menangis juga.
Tiba-tiba selularnya berdering. Dengan sigap Mat Sodek mengusap air matanya dan mengangkat panggilan itu.
Suara itu tanpa basa-basi. “Aku tahu, kamu pasti menghubungiku. Aku tidak bisa berbicara banyak di sini. Temui aku segera di tempat dulu kita minum. Masalahmu akan selesai.”
Belum sempat menjawab dan bertanya, panggilan itu terputus.
Seketika Mat Sodek mengingat-ingat di mana tempat itu. Kenangannya samar-samar. Tapi, Mat Sodek yakin, di sana tempat yang dimaksud. Mat Sodek langsung berangkat ke sana.
Di belakang pabrik tahu, ada sepetak tanah kosong, sebelahnya ada rumah tingkat. Tidak terlalu mencolok, itu mirip rumah warga biasa. Dulu tidak diketahui siapa pemiliknya, Begoo Loontong dan anak-anak waktu itu tahu harus lewat mana untuk masuk. Mat Sodek ingat betul, di sana dulu dia saat remaja sempat teler bersama Begoo Loontong, sebelum akhirnya digrebek polisi atas pelaporan distribusi ganja.
Tampak depan rumah itu tidak ada yang berbeda sejak terakhir Mat Sodek ke sana. Pintu gerbangnya terkunci. Malam benar-benar sudah larut. Sepi, cuma terdengar sesekali suara kodok dan jangkrik dari rerimbunan dan kubangan dari arah tanah kosong.
Mat Sodek menghela napas sejenak. Entah apa maksud dari temannya tersebut. Mat Sodek hanya berharap masalahnya benar-benar bisa selesai. Sudah lama Soleng susah tidur nyenyak apalagi mimpi indah.
Selang berapa menit, sebuah mobil datang dan mendekat. Itu Begoo Loontong. “Cepat masuk,” katanya.
Mat Sodeng celinguk kanan-kiri. Tiba-tiba dia merasa dan tahu, mengapa Begoo Loontong menyuruhnya ke sini. Jalanan yang pas untuk pergi tanpa diketahui.
Mobil itu langsung jalan lurus ke arah belokan pertama. Jalanan benar-benar lengang dan dingin. Tepat setelah tikungan ke dua, tampak dari belakang ada dua motor mengikuti.
“Ada yang mengikuti kita,” terang Mat Sodek tegang.
“Jangan panik. Aku tahu, sudah biasa. Mereka polisi.”
“Bangsat!” Mat Sodek tidak bisa berkata lain. Dia tenggelam dalam helaan napasnya. Wajah lapar anaknya di rumah memenuhi kaca mobil itu.
“Diamlah,” kata Begoo Loontong dengan tenang. “Tak ada tempat lain bagi orang-orang seperti kita. Selain di jalan ini.”
***
Editor: Ghufroni An’ars