Penyair Paruh Waktu

Kasino Kehidupan

Sarah Noer

4 min read

Di perjudian hidup ini, apa yang akan kau dapatkan? Akankah berakhir dengan bisa menikmati teh di sore hari setiap petang, atau malah berakhir dengan tabuhan genderang kekalahan? 

—Merah. 

*** 

Jakarta, 31 Mei 2021. 

Alarm berbunyi, tanda manusia harus segera melanjutkan perjudian. Ada yang menjudikan tenaga dengan menjadi buruh, ada pula yang menjudikan tubuh. Tiap-tiap orang mencoba peruntungannya masing-masing. Yang jelas, dalam benak mereka, tertanam kalau kemenangan akan segera nampak di depan mata. Entah siapa yang menjanjikan, tetapi mereka rela bertaruh dari hari ke hari, hingga waktu ke waktu. 

Merah bersiap, bukan untuk mengabdi pada kasino kehidupan. Sialnya, ia tak hidup seperti orang kebanyakan. Yang Merah lakukan setiap hari hanyalah melihat kemungkinan atas kemenangan setiap orang. Entah di persimpangan jalan, di depan diskotik, atau di pesisir ruko pasar. Semuanya memabukkan. Semua orang ramai-ramai memasang lotre, bermain slot, dengan wajah letih penuh harapan. 

Biasanya, Merah akan mendatangi tempat-tempat perjudian yang berbeda-beda, mulai dari tempat kumuh, sampai tempat-tempat bergemilau kemewahan, meskipun, hanya akan berakhir di pelataran. 

Itulah pekerjaannya. Bebas, tanpa ada beban bernama harapan. Baginya, kemenangan adalah kebebasan, dan kebebasan akan lahir tanpa adanya perjudian. Sayangnya, kalau ia mengatakan hal itu kepada semua orang, besar kemungkinan mereka hanya mengejek alih-alih mendengarkan. Bagi orang kebanyakan, menunggu peruntungan semu adalah keputusan paling melenakan. 

Merah mencintai pekerjaan ini, sebab, ia bisa mengatur waktu—kapan ia harus memulai, kapan ia harus berhenti sejenak. Dan yang lebih menguntungkannya, tak ada yang berani mengatur setiap daya upaya yang ia kerahkan. Berbeda dengan mereka, yang selalu dihantui bayang-bayang peraturan. Lagi-lagi, mereka sangat jauh dengan kebebasan. Belum lagi soal persaingan yang ketat dengan sesama penjudi lainnya. Ah, sangat melelahkan. 

Meskipun begitu, Merah biasanya akan mulai mengerjakan pekerjaannya pada pukul sembilan pagi hingga larut malam. Tempat yang paling senang Merah kunjungi adalah sebuah halaman perkantoran yang bergerak di bidang periklanan. Biasanya, saat petang hampir tiba, akan banyak ia jumpai wajah-wajah penjudi yang tertekuk masam. Namun, biasanya, ada hari-hari tertentu di mana para penjudi itu keluar dengan mata berbinar-binar, mungkin mereka baru mendapat kesempatan menang lotre ramai-ramai. 

Tapi tetap saja, dalam melakukan pekerjaan ini Merah kerap dihadang kesulitan. Ia kerap diejek, bahkan diusir dari tempat pengamatan. Bagi Merah, itu adalah satu-satunya risiko pekerjaan yang ia miliki. Tapi, ia masih enggan menyerah. 

***

Jakarta, 1 Oktober 2020. 

Perempuan itu merutuki bangunan-bangunan pencakar langit yang baru saja ia masuki. Untuk kesekian kali, ia gagal menggandeng Dewi Fortuna di sisinya. Terhitung lima belas bangunan sudah ia datangi, tetapi tak ada satu pun kesempatan yang berhasil ia emban. Entah untuk yang ke berapa, ia mengutuk dirinya sendiri, rasa-rasanya ia sudah berada di ambang kesabaran. 

Kakinya masih melangkah, memasuki gedung lain sekali lagi, dan mencoba bertanya kepada Satpam tentang sesuatu yang ia cari, dan lagi-lagi, 

“Untuk saat ini belum ada lowongan pekerjaan, Dek.” 

Yang berarti, lagi-lagi ia disuguhi kegagalan. 

***

Jakarta, 5 Desember 2020.  

Perempuan itu lagi-lagi harus pulang larut malam. Segala macam deadline menghadangnya untuk sekadar bisa menikmati cokelat panas di kafe-kafe yang biasa ia datangi, atau sekadar menikmati waktu dengan film-film kesukaannya. Jangan tanyakan soal kencan, baginya yang kini tengah dihadang segudang tugas kantor, rasa-rasanya kencan hanyalah mimpi di siang bolong. Tapi nampaknya ia tidak begitu keberatan. Baginya, bekerja dari pagi sampai malam adalah upaya ia dalam menginvestasikan hidupnya kelak. Dengan demikian, tentu ia akan memiliki uang lemburan yang banyak, yang nantinya akan bisa ditabung. Entah untuk sekadar berfoya-foya, atau mungkin untuk persiapan di hari tua. Lagi pula, akhir-akhir ini tren menikah sudah tidak laku. Apalagi rencana untuk memiliki anak. Itu sudah kuno. Kini, semua orang hanya sibuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya agar kelak mereka dapat menyewa panti jompo yang elite beserta para pelayannya. 

Kendati demikian, perempuan itu tak menyangkal bahwa terkadang ia lelah. Baik secara fisik, maupun mental. Rutintas yang monoton benar-benar berdampak pada kesehatan mentalnya. Ia terkadang merasa cepat stress, sampai mudah tersulut emosi. Apalagi, Jakarta di era ini, sangat menjunjung tinggi nilai-nilai individualitas, yang membuatnya terkadang makin dirundung kesepian, sebab, ia jadi jarang bersosialisasi dengan teman-teman kantornya. Ah, lagi pula, ia tidak merasa memiliki teman kantor. Mereka hanyalah rekan kantor. Yang hanya menyapa ketika ada urusan pekerjaan saja. 

Sesampainya di apartemennya, ia langsung membuka laptop dan kembali berkutat dengan dokumen-dokumen yang mesti ia siapkan. Segala macam catatan tak luput dari pandangan. Dan benar saja, seperti hari-hari biasanya, ia harus kembali tidur larut malam.

Pekerjaannya baru rampung saat waktu memasuki jam satu dini hari. Ia pun bergegas untuk tertidur dan bersiap untuk kembali bekerja esok hari. 

***

Jakarta, 7 Januari 2021. 

Dengan muka lesu, perempuan itu memasuki bangun ruang. Namun, kali ini bukan bangunan yang biasa ia datangi setiap hari, melainkan bangunan baru, yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. 

Ia berjalan gontai di lorong putih yang kaku. Matanya mencari-cari ruangan yang telah ia hafal di luar kepala. Sampailah pada sebuah ruangan, yang di ambang pintunya tersemat tulisan “Poli Jiwa, Ruang Psikiatri”. Ia pun menghela napas. Sebelum tangannya menyentuh kenop pintu, bibirnya ia gigit kuat-kuat. Batinnya ragu, tetapi kepalanya menyuruh untuk lekas-lekas masuk. Dengan tingkah kikuk dan ragu, ia pun akhirnya membuka kenop itu. 

Setelah dipersilahkan duduk, ia pun diminta untuk bercerita. Sebelum ia benar-benar mampu membuka mulutnya, ia lebih dulu mengepalkan tangannya. Beberapa kali sang Psikiater yang ramah terus menenangkannya. Ia pun kembali menghela napas. 

“Bukankah hidup ini seperti kasino?” 

Perempuan itu akhirnya membuka pembicaraan. 

“Akhir-akhir ini saya sering merasa cemas berlebih. Bahkan, tak jarang saya dihantui rasa takut yang melampaui batas. Saya benar-benar cemas tentang masa depan saya. Saya takut, saya takut takk bisa mewujudkan semua mimpi-mimpi saya. Saya takut merasa kalah.” 

Psikiater itu menyimak dengan saksama. 

“Saya benar-benar merasa tubuh dan pikiran saya lelah. Saya selalu kurang istirahat. Saat tidur, saya selalu bermimpi buruk, bahkan, terkadang, sebelum tidur, tubuh saya bergemetar hebat.” 

“Saya kehilangan semangat, dan rasa percaya terhadap orang lain. Saya merasa, bahwa semua orang akan menghambat tujuan saya, sebab mereka memiliki tujuan dan mimpi yang sama. Saya merasa, mereka pasti telah membuat rencana sedemikian rupa agar kesempatan yang saya miliki bisa mereka rebut paksa.” 

Psikiater itu mengajukan pertanyaan, “Kalau boleh tahu, Ibu bekerja di bidang apa?” Tanyanya dengan kembali menyematkan senyuman. 

“Saya bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang periklanan. Saya menjabat sebagai penulis naskah.” 

Perempuan itu pun kembali melanjutkan keluhannya. 

“Saya sudah berusaha sekuat tenaga. Mengurangi kegiatan lain, hanya untuk fokus bekerja. Bahkan, saya rela untuk tak bertemu teman lama. Saya benar-benar dihadang ketakutan, bahwa, kesempatan itu bisa saja menghilang tiba-tiba. Tapi, setelah saya bekerja sedemikian kerasnya, perasaan takut itu malah semakin nyata.” 

Setelah memahami pola-pola kasus yang terjadi pada pasiennya, Psikiater itu pun memberi tahu penyebab utama ketakutan-ketakutan itu berasal. Psikiater itu menyarankan untuk terapi dengan obat-obatan yang mesti ia minum dengan teratur, tentunya juga dengan dibarengi konsultasi rutin. 

Setelah melewati sesi konseling, ia pun diminta untuk menebus obatnya, lalu kembali pulang ke rumahnya untuk beristirahat sementara waktu. Perempuan itu pun menurut. 

*** 

Perempuan itu kembali tenggelam dengan rutinitas dan mimpi-mimpinya. Ia mulai jarang meminum obatnya, begitu pun dengan konselingnya. Ia merasa, dirinya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Bahkan, ia mampu begadang semalam suntuk hanya untuk mengejar tenggat waktu yang telah ditentukan oleh atasannya. 

Ia lupa, bahwa penyakit mental yang dideritanya bisa kambuh kapan saja. Tapi ia tak peduli. Ia kembali menjadi perempuan yang gila kerja. Sampai pada akhirnya gejala itu pun kembali berdatangan, tetapi ia tetap menghiraukan. Sialnya, ketakutan yang sebelumnya sempat ia rasakan justru sekarang bertambah parah. Malah untuk kali ini, dengan tingkat keekstriman yang lebih gila. 

Perempuan itu mulai takut untuk mengerjakan pekerjaannya. Sesekali ia menjerit ketika melihat layar laptopnya yang menyala. Di lain hari, ia mulai mengemas semua barang-barang yang berkaitan dengan pekerjaannya. Beberapa ada yang ia buang, sisanya ia hancurkan paksa. 

Hari-harinya makin dirundung ketakutan tanpa sebab. Ia terjebak dalam delusi yang membingungkan. Ia sudah tak bisa membedakan antara mana yang nyata dan mana yang maya. Ia mulai tak bisa membayar tagihan apartemen. Ia pun diusir dari tempatnya. Perempuan itu terpaksa menjadi gelandangan. 

Berbulan-bulan sudah ia luntang-lantung tanpa kejelasan. Bajunya sudah compang-camping, wajahnya sudah kotor khas gelandangan. Pada suatu sore, di halaman perusahaan periklanan, ia menghadang para pegawai kantor yang baru saja pulang bekerja.

“Di perjudian hidup ini, apa yang akan kau dapatkan? Akankah berakhir dengan bisa menikmati teh di sore hari setiap petang, atau malah berakhir dengan tabuhan genderang kekalahan?” 

Ujar Merah lantang, dan disambut heran oleh mantan rekan kantornya. 

Terakhir, diagnosa yang diberikan padanya adalah: Psychotic Disorder dan Obsessive-Compulsive Disorder. 

*****

Editor: Moch Aldy MA

Sarah Noer
Sarah Noer Penyair Paruh Waktu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email