Sejak kemunculannya di blantika musik Indonesia pada tahun 1999, saya sama sekali tidak tertarik dengan lima pemuda asal Jogja yang menamakan grupnya Sheila On 7. Band yang beranggotakan Adam, Duta, Eross, Sakti, dan Anton ini berhasil menggebrak panggung hiburan nasional. Lagu-lagu mereka mendadak merajai chart musik di radio dan TV. Musik Sheila seolah menyihir para penikmat musik di tanah air, dan semua orang gandrung dibuatnya. Tapi tidak bagi saya.
Menurut saya yang ketika itu masih di bangku SMP, lagu hits mereka seperti Dan, Anugerah Terindah yang Pernah Ku miliki, Kita, JAP, adalah lagu menye-menye. Suara sang vokalis Duta terdengar cengeng. Gak lakik! Gak keren! Intro dan alunan melodi gitarnya juga terasa standar. Kurang agresif, dan tidak menarik indra pendengaran untuk menikmatinya. Intinya, saya tidak suka lagu-lagu mereka.
Sejak SMP saya dan teman-teman mulai ngeband. Aliran musik kami bisa dibilang pop-rock. Lagu yang biasa kami bawakan saat latihan, main di pensi, atau manggung acara festival cenderung lagu-lagu band rock. Mulai dari /rif (loe to ye), Edane (Kau pikir kaulah segalanya), Boomerang (Pelangi, ini lagu wajib semua anak band era 2000an awal), hingga Pas Band. Tidak ada lagu Sheila on 7 di list song band kami.
Baca juga: Terbaik-Terbaik dari 30 Tahun Dewa 19
Periode tahun 1999 – 2005, Sheila telah menelurkan empat album. Plus satu album Original Soundtrack Film 30 Hari Mencari Cinta yang rilis pada Desember 2003. Saya ingat betul, salah satu lagu di album tersebut yang berjudul Berhenti Berharap, sempat kami plesetkan liriknya ketika di tengah-tengah kami latihan band. Ya buat lucu-lucuan gitu niatnya (Sekarang saya merasa berdosa).
“Aku tak perawan lagi.” Padahal lirik sebenarnya “Aku tak percaya lagi”.
Dari keempat album yang telah diluncurkan Sheila (Sheila on 7, Kisah Klasik Untuk Masa Depan, 07 Des, Pejantan Tangguh), tak ada satu pun lagu yang mencuri perhatian saya. Dan saya tetap kekeh, bukan bagian dari penggemar Sheila on 7. Alih-alih suka, justru kami (saya dan teman satu band) kerap nyinyir setiap kali mendengar ada band atau pengamen, atau anak nongkrong mendendangkan lagu-lagu Sheila on 7.
**
Juli 2005, saya lulus SMA dan melanjutkan kuliah di Jogja. Bersama beberapa kawan, saya mengontrak rumah di dusun Rejosari, Sardono Harjo, Ngaglik, Sleman. Tepatnya di jalan Kaliurang km. 10,5, persis di belakang toko Mina Swalayan. Cukup dekat dengan pasar Gentan. Setelah beberapa waktu tinggal di situ, saya baru tahu bahwa kantor managemen Sheila on 7 ada di desa sebelah kontrakan saya.
Canggung. Mungkin ungkapan itu yang paling tepat mewakili perasaan saya waktu itu. Satu sisi saya penasaran dan ingin ketemu dengan para personel Sheila. Di sisi lain saya juga malu untuk berjumpa dengan mereka. Alasannya jelas, saya bukan fans Sheila. Saya bukan SheilaGank. Kenapa mau ketemu dengan mereka? Lantas mau ngomong apa semisal beneran ketemu dengan mereka?
Baca juga: 30 Tahun Dewa 19, Mengapa Masih Laku?
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Hati dan pikiran saya masih berkutat tentang bagaimana caranya bisa bertandang ke markas Sheila. Tanpa ragu. Tanpa beban. Yowislah, gak usah sok-sokan. Kalau ditanya, ya tinggal jawab saja kalau saya ini fans Sheila on 7 dari Gemolong. Gitu aja kok repot.
Akhirnya hari itu tiba. Sore hari sekitar pukul empat sore di penghujung tahun 2005, saya memberanikan diri bertamu ke kantor Sheila. Saya tidak sendiri. Ada satu teman yang ikut menemani saya. Saya pencet tombol bel dan mengucapkan salam. Tak berselang lama, muncul seorang bapak-bapak berambut cepak yang menghampiri saya sembari bertanya.
“Maaf Mas, mau ketemu siapa ya?”
Dengan gagap terbata, saya menjawab.
“Nga, nganu Pak, apa ini bener kantornya Sheila on 7?”
“Iya bener, Mas.”
“Anu, saya penggemar Sheila, apakah saya boleh bertemu dengan para personelnya Pak?”
Bapak itu mengangguk, kemudian membukakan pintu gerbang, seraya mempersilakan masuk.
Lalu terdengar suara ibu-ibu dari dalam rumah.
“Ono tamu sopo Pak Janto?” Tanya si Ibu
“Ini mah, ada penggemar mau ketemu mas-mas Sheila.”
“Oh, suruh ke atas aja.”
Ibu-ibu yang bertanya itu tidak lain adalah ibundanya Mas Eross Chandra. Namanya bu Titin, yang akrab dipanggil Mamah Titin. Dan baru kemudian saya tahu, bapak berambut cepak itu adalah Pak Janto. Beliau pegawai yang bantu-bantu di rumah Mas Eross.
Pada kunjungan pertama itu, saya gagal bertemu dengan awak band Sheila on 7. Saat itu mereka tengah tur di beberapa kota. Mungkin beberapa minggu ke depan baru pulang ke Jogja. Tapi saya tidak begitu kecewa meski tak bertemu Duta dkk, sebab saya justru dijamu ramah oleh Mamah Titin dan ngobrol panjang lebar dengan beliau.
Obrolan ringan pun mengalir. Hangat, dan cair. Padahal baru sekali kita bertemu.
“Kenapa Mas Eross suka main gitar ya, Mah?” Saya nyeletuk begitu saja.
“Sejak kecil dia udah suka musik. Pas nonton konser Bon Jovi di tv, dia nonton sama saya. Pas saya bilang, itu vokalisnya (Jon Bon Jovi) keren ya Ross? Eh dia malah bilang, ndak ah! Kerenan gitarisnya. Oh si Richie Sambora. Nah, sejak itu dia kesengsem sama gitar, dan katanya pengin jadi gitaris,” cerita Mamah Titin ke saya.
Di sela kami mengobrol, ujug-ujug muncul anak perempuan bertubuh subur, berambut poni ala Dora. Usianya kira-kira 3/ 4 tahun. Mamah kemudian memberi tahu saya, kalau si anak itu namanya Khaylila. Yang tidak lain adik bungsunya Mas Eross. Woalah. Teman-teman masih ingat lagu Khaylila’s Song? Kalau lupa, coba cek di YouTube.
Nah, lagu itu diciptakan oleh Mas Eross spesial buat adik tercintanya. Hebatnya, lirik lagu tersebut sangat cocok dengan sosok Khayila kecil saat itu. Seorang anak yang lucu, nggemesin, dan selalu mengundang tawa setiap kali melihatnya.
Dengan senyummu senjata membeku
Tentara bernyanyi ikuti tingkahmu
Tak ada lagi naluri menguasai
Perlahan berganti naluri berbagi
Oh ya, kalau tahun 2005 Si Khaylila umur 4 tahun, berarti sekarang doi sudah menginjak usia 21 tahun. Udah gadis bok! Alhamdulillah, 4 tahun lalu saya sempat main lagi ke rumah Mas Eross dan foto bersama dengan Mamah Titin & Khaylila.

Lanjut ke bagian kedua: Sederhana, Ramah, Jujur dalam Berkarya