Jurnalis dan esais, tinggal di Kota Semarang

Kami Telanjur Bisu dan Puisi Lainnya

Athok Mahfud

1 min read

Di Jalan yang Bising

Di jalan yang bising itu
Hujan datang malu-malu
Terdengar sisa erangan napas
Sejauh kepulan angin yang tempias

Di jalan yang bising itu
Pedagang asongan membereskan lapak sambil memeluk dagangannya
Anak kecil penjual koran lari sembari menyembunyikan korannya di dalam pakaian
Pengemis beranjak dari lampu merah dan merapat ke teras rumah-rumah

Langit menenggelamkan harapan
Dan orang-orang makin takut akan nasib dan masa depan

Sementara di jalan yang bising itu
Deru mobil beradu dengan suara hujan yang juga membanting
genting apartemen mewah di mana mobil-mobil itu terparkir

Namun ada satu hal yang ganjil
Mengapa aku tak melihatmu di sana?
Di antara himpitan angin dan dingin dan hening
Barangkali kau sudah pergi dengan mobil-mobil itu

 

Kami Telanjur Bisu

Kami pun telanjur bisu
Untuk memberi kesaksian pada dunia
Tentang ulah setan yang berwajah manusia
(atau manusia yang berwajah setan?)
Yang telah merampas janji kehidupan kami
Di mana kini hutan hangus dan rata. Laut surut dan tawar. Gunung rubuh dan lebur.
Dan hanya tinggal penderitaan dan kelaparan.

Dari kami yang lain pun bertanya:
masih adakah kebenaran? masih adakah kebahagiaan?
masih adakah cinta yang tersisa? di antara jeda siksa?
jika perjuangan akan berakhir sia-sia dan janji hanyalah imajinasi

Tolong dengarlah kembali dongeng tentang Sisifus
Dalam sejarah manusia yang tak pernah putus
Kami tahu bahwa harapan selalu mengecewakan
Kami tahu bahwa besok pagi kami pasti mati

Kami pun telanjur bisu
Untuk sekadar memberi kesaksian pada diri kami sendiri
Bahwa kami akan terus hidup di setiap masa
Di mana kebahagiaan dan penderitaan terasa sama saja

 

Denting Gerimis Bersahut Angin

Denting gerimis bersahut angin
Malam menyusut ke dalam hening
Dengan seluruh amnesia di kepala
Dunia tinggal milik kita berdua

Di detik yang merambat begitu lama
Kata-kata tak berhenti mengintai kita
Hanya matamu bahasa yang kukenal
Untuk merayapi gelap dan beku yang kekal

Dan aku merinding bila kau akan pergi
Sebelum kita sempat memulai cinta ini
Di sepanjang jalan yang basah
Jangan buat sisa air mataku tumpah-ruah

 

Dawai Kehidupan

pagi selalu mencatat
percakapan matahari dan bunga-bunga
tentang sentuhan sinar
yang membuatnya mekar

dingin terus merekam
bisikan angin kepada baling-baling
agar tak pernah berpaling
berputar menuju arah lain

aku senantiasa menerjemahkan
isyarat dari tatapan matamu
yang tak henti berkedip
memberi cahaya dalam hidupku

 

Tempat Terhangat

Hujan jatuh berserakan
udara terlepas, tanah basah
kita pun bergegas
menuju sebuah rumah

Detik membeku, hari terkulai
Burung-burung menggigil
berdekap di pohon yang ganjil

Jejak kita tertinggal
pada sebuah aspal
Napas kita tersengal
dari sisa badai yang bengal

Ingat!
pelukan adalah tempat;

paling hangat

 

Malam Kini Hangat

Malam kini hangat
Kau balut tubuhku dengan senyum
Di bawah rembulan ranum,
kita duduk berdua
menyalakan api unggun

Waktu tertidur. Angin terbakar.
Tetapi mata kita tetap terbuka.

Kita telah melupakan
kucing dan tikus yang berkejaran di halaman rumah
Kita tidak peduli
dengan matahari yang terbit esok hari

Seolah tidak ada mahluk lain di dunia
selain kita.

dan di sini, kita selalu bahagia.

Kekasihku, jangan pernah lelah
menghangatkan tubuhku.

Athok Mahfud
Athok Mahfud Jurnalis dan esais, tinggal di Kota Semarang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email