Ketua kelas angkatan pertama Institut Sastra Makassar (ISM)

Bercampur dengan Sapi

Nurhalis M

12 min read

Untuk ketiga kalinya, Dira mengetuk pintu. Tapi, dari balik pintu, belum terdengar langkah kaki. Dira menjejaki anak tangga, mengusut satu persatu dengan kaki-kaki memaksa. Paha kanan Dira salah urat, tidak dapat mengimbangi gerak paha kirinya. Pincang, Dira melangkah, dan mengamati kolong rumah. Dan, memeriksa pappalluang gula merah. Namun, Daeng Sanre juga tak ada di sana.

Dengan matanya, Dira menjelajahi sekeliling rumah Daeng Sanre. Dari jejeran pohon inru dan pohon pisang, hanya terdengar desir-desir angin. Pada sela-selanya, menyelundup terang matahari, melengkapkan hawa kesunyian. Lalu, terdengar suara sapi. Kuak. Cukup panjang. Dira menoleh. Dira berusaha menegaskan bahwa di bukit itu, hanya ada rumah Daeng Sanre, dan ia tidak membesarkan sapi.

Laun, Dira berjalan dengan keadaan pahanya yang ngilu. Menyusuri tiga pohon inru dan dua pohon pisang sudah berbuah. Sapi itu kembali menguak. Dira semakin yakin bahwa sapi itu, milik Haling. Laki-laki tua itu sudah tiga hari memekik tangisnya. Meraung-raung. Memanggil-manggil Pedo, sapi satu-satunya yang hilang.

***

Kedua katup mata Dira, membelalak. Satu tampakan yang sangat jarang masuk di penglihatannya, menyerang pikiran dasarnya mengenai kehidupan. Dira ingin berteriak sekeras-kerasnya, tapi tak mampu. Seolah, seluruh bunyi yang dapat dikeluarkan tenggorokannya tertelan ke dalam perutnya, hingga ia merasakan mual tiba-tiba.

Alih-alih, bergegas lari meninggalkan apa yang tiga detik lalu membuat jantungnya ciut. Kaki-kaki Dira malah mati rasa. Membuatnya terduduk di tanah. Dari sana, Dira berusaha mengatur napas. Sampai lima puluh kali bernapas, Dira baru percaya bahwa apa yang dilihatnya adalah benar-benar tubuh tua Daeng Sanre. Sedang terbujur kaku. Sekarat. Berlumpur darah. Di samping tubuh sapi milik Haling, yang lehernya terikat di pohon Inru.

Dira ingat, di Cindakko, sudah ada beberapa perkara selisih berujung tumpahan darah. Namun, Dira hanya sempat mendengar selesai, dari lubang mulut suaminya.

Misalnya, tiga tahun lalu, Kanang dan Rahing baku tikam memperebutkan hak bimbing anaknya setelah memutuskan untuk berpisah. Juga tahun lalu; Tia berlari dari sungai tempatnya mandi, sambil terus menimang usus yang keluar dari perutnya, setelah terkena sabetan sangki milik Baya yang menuduhnya telah tidur dengan suaminya. Tia tewas setelah rebah di depan rumahnya.

Atau Suki, dan kejadiannya baru seminggu lalu: tubuhnya terlipat-lipat setelah jatuh dari bibir tebing saat berusaha mengumpulkan batu-batu gunung untuk pembuatan jalan. Namun, orang-orang mengira, Suki didorong oleh seseorang, yang diduga adalah Rangka, karena perkara rebutan lahan.

Sekarang dari matanya sendiri, Dira benar-benar melihat lumpuran darah; merah likat, mengental dari tubuh manusia.

Perlahan, Dira mendapatkan kendali atas tubuhnya. Kakinya yang kebas mulai lentuk bergerak. Ia bisa saja melangkah ke belakang meski pincang-pincang. Namun, suatu tampakan dari tubuh Daeng Sanre mengurungkan niatnya untuk lekas menjauh. Dira justru mendesak maju, berdekatan dengan tubuh Daeng Sanre.

Setelah cukup dekat, dilihatnya jelas keadaan Daeng Sanre. Wajahnya tidak lagi wajah. Seluruh bagiannya, berlumuran darah. Mengerikan. Daun telinga kiri Daeng Sanre juga putus. Kulit di dadanya tercabik-cabik. Mengenaskan.

Ketika mata Dira menyusuri tubuh Daeng Sanre, lebih ke bawah. Dira menatap lama pada bidakan sarung Daeng Sanre. Jantung Dira, yang tadi ciut, berdegup kencang. Hasratnya muncul secara maraton. Hingga membesarkan dan membuat tegang dada Dira. Telinganya seperti tersiram air panas. Angin menyentuhnya dan membuatnya geli. Napasnya terengah-engah. Bukit kecil di dadanya berdenyut-denyut. Bebuluannya mulai membasah dan licin. Ia tak bisa lagi menahan hasrat. Dira menurunkan roknya, hingga lolos dari kedua kakinya. Juga menyusul kain yang tersisa. Dira lalu menyibak sarung Daeng Sanre. Terlihatlah kelamin Daeng Sanre yang tumbuh seperti pokok pinus di Cindakko.

Dira lalu membetulkan posisinya. Meski ngilu, paha kanannya yang keseleo dipaksa lentur. Gundukan pantatnya yang bulat, membelakangi wajah Daeng Sanre. Dira lalu mendekatkan kelamin miliknya ke ujung kelamin Daeng Sanre. Setelah yakin tidak bakal meleset. Dira membenamkan setengah tiang kelamin Daeng Sanre, ke kelamin miliknya. Lalu menggerakkan pantatnya naik turun. Sedetik sebelum ia mengeluarkan bunyi memekik kecil di bibirnya, lalu meledak merasakan lumasan kenikmatan yang membuat wajahnya mendongak ke langit, Dira melihat bahwa tak jauh dari tubuh Daeng Sanre terbujur pula seekor ajak berbulu hitam.

***

Hari kedua setelah Haling berpekik-pekik memohon kepada siapa saja agar sapinya dikembalikan, Babinsa mendatangi rumahnya yang berada dekat air terjun Pum Bunga, sebuah air terjun paling ribut di Cindakko. Namun, tangisan diiringi teriakan, “kodonge,” dari Haling, jauh lebih ribut. Sehingga Babinsa yang jarang sekali memunculkan seragam dan lambang kemiliterannya, harus menghabiskan empat jam berjalan kaki melewati tiga gunung, agar bisa sampai ke Cindakko, dan berusaha mendiamkan tangis Haling. Roa sebagai Galla di Cindakko, yang menyampaikan gangguan ini kepada Babinsa delapan jam lalu, ikut turut di belakang.

Mereka masuk ke dalam rumah Haling untuk melihat bahwa Haling benar-benar kesetanan. Haling terus menangis tanpa mengambil jeda untuk terisak, ia membentur-benturkan tubuhnya ke papan-papan rumahnya. Sambil terus mengulangi kata-katanya, “kodonge, o kodonge.”

“Sabar, Daeng,” adalah kalimat pertama yang mampu diucapkan Babinsa, setelah menepuk-nepuk bahu Haling.

Kodonge, kodonge.” Dan, Haling hanya  meneriakkan kata itu, lagi dan lagi.

“Bangkitlah dulu, Daeng. Cerita dulu, bagaimana bisa sapi itu hilang.”

Tidak ada yang bisa memahami bagaimana Haling mampu bangkit dari posisi tidurnya, lalu duduk bersila. Ia mengambil napas panjang, dan mengembuskannya singkat. Setelah mengulanginya sebanyak tiga kali, Haling benar-benar menghentikan tangisannya untuk pertama kali setelah 3×24 jam.

Lalu dengan ringkas, Haling menceritakan urutan peristiwa kasus kehilangan sapi miliknya.

***

Pagi yang indah, tapi selalu sama. Haling terbangun dari tidurnya. Ia mengusap tubuhnya. Ia merapal mantra-mantra. Ia meyakini kebesaran Karaeng Alla Ta’ala. Ia menimba air dari gumbang. Ia menyapu wajahnya, lalu meminum sisanya. Lalu lewat pintu belakang. Ia turun dari tiga anak tangga, menuju seekor sapi jantan yang ia namakan, Pedo.

Ia melepas ikatan tali dari satu tiang besar di kandang kecil yang mengelilingi Pedo. Melepas kalli bulo. Merapikan batang-batang bambu. Menjadikan jalur keluar bagi ia dan sapinya. Haling membawa Pedo ke padang rumput yang tidak cukup luas, sebelum sapi-sapi Roa ikut merumput.

Setelah membuat Pedo tiba di padang rumput, perut Haling mulai terguncang, dan lama-kelamaan menyebabkan gempa kecil di tubuhnya. Haling, tentu saja segera memahami pertanda itu, keadaan yang tidak bisa dibendung. Ia segera menyimpul tali Pedo di tempat biasanya Pedo terikat. Lalu meninggalkannya.

Di balik batu besar di tengah sungai, Haling lalu menyelesaikan perkara pallu golla yang semalam baru dimakannya, setelah tersimpan selama dua hari. Sisa pallu golla itu keluar dari duburnya sebagai cairan yang meluber sekali jongkok, pada tumpahan angin yang pertama. Gumpalan mencret itu terbawa arus sungai. Ia lalu menyiram duburnya, menggosoknya tiga kali. Lalu ia menurunkan kembali sarungnya, dan bergegas ke padang rumput lagi.

Di sinilah asal mula tangisan Haling. Ia melihat di padang rumput itu hanya dipenuhi rumput, dan kotoran-kotoran sapi kering, tanpa seekor Pedo. Ia menyusuri pokok-pokok di sekitarnya. Lalu keluar masuk hutan.

Pencarian itu memakan waktu hingga matahari meninggi. Sapi-sapi milik Roa digembalakan anaknya yang bernama Cullang, bocah berusia 12 tahun yang dibekali parang, juga sudah memenuhi padang rumput. Ia meminta bantuan Cullang. Cullang lalu membantu Haling.

Haling mulai berpikir bahwa sapinya dicuri orang. Namun, ia belum hendak membenarkan firasatnya. Dengan panik, ia kembali mencari sapi itu, hingga sore hari. Cullang juga tidak berhasil menemukannya. Dan, sebelum matahari terbenam, dimulailah pekik tangis yang panjang itu.

Haling bersedih bukan hanya untuk satu kehilangan. Namun, ia juga menangisi kehilangan paling sungguh, yaitu seluruh usaha Haling membesarkan Pedo untuk dijual pada bulan Haji nanti. Uangnya untuk cucu Haling. Cucu satu-satunya yang tinggal jauh, di dekat puskesmas dan kantor kecamatan itu, akan segera tamat dari SMP. Dan, ia akan butuh membeli alat yang lebih banyak saat masuk SMA. Dan alat itu, bagi pikiran sederhana Haling, pasti membutuhkan uang.

Setelah pangkal leher Kanang digorok parang milik Rahing dan perut Rahing ditembuskan poke milik Kanang, keduanya tewas di tempat. Anak mereka, yang tak lain adalah cucunya Haling itu, lalu menjadi anak yatim piatu. Haling menjadi pilar terakhir bagi kelangsungan pendidikan bocah itu. Lalu, seekor Pedo sebagai satu-satunya sapi, penopang pilar itu hilang. Mengakibatkan seluruh pijakan keluarga itu runtuh. Dan tidak ada alasan lain bagi Haling selain menangis sebising mungkin.

“Tenanglah. Perbaikilah perasaan Daeng Haling. Kami akan menemukannya.” Kata Babinsa memasang wajah yakin. Namun, Babinsa tidak benar-benar berniat mencari sapi itu. Babinsa jauh lebih mengikuti tanggapan Roa. Sapi itu tidak hanya hilang, kata Roa, tapi sudah dimakan seekor ajak berbulu hitam yang muncul di kandang ayamnya, beberapa malam lalu.

***

Di Bonto Param, gunung pertama dari rentetan tiga gunung sebelum dusun Cindakko. Pak Ambo membawa seekor ajak berkeliling pasar hari Selasa, dan membuat para pengunjung pasar dari berbagai dusun khawatir. Mereka tahu ajak yang disebut pak Ambo itu sebagai anjing peliharaan, bisa membuat mereka jadi santapannya. Ajak itu, terlihat cukup jinak di tangan juragan tanah bertubuh subur dan penuh lemak itu. Namun, warga dusun, paham, setiap ajak akan selalu kembali kepada keajakannya.

Setelah kembali meninjau lahan hutan pinus yang direncanakan akan menjadi objek wisata baru di kecamatan Tompo Jai. Pak Ambo bersama Pak Desa singgah ke rumah Pak Dusun Bonto Param, minum Ballo kacci yang diyakininya sebagai pengobatan tradisional bagi asam urat. Ajak itu diikatnya ke pagar bambu, rumah Pak Dusun.

Lima cerek digilir. Gelas yang ke duapuluh bagi Pak Ambo. Rentetan ballo kacci itu sudah membawa kesadarannya ke awang-awang. Pak Ambo membuka kaus putih polosnya. Badannya gerah. Ia semakin haus. Lalu suara dari mulutnya tumbuh subur, mengeluarkan banyak kata-kata. Namun, kalimat yang utuh dan mengandung makna penegasan hanya ini. “Kalian dengar baik-baik. Saya inilah yang akan membuat kabupaten Marusu memiliki objek wisata terbesar di Asia Tenggara.”

Ucapnya sambil menunjuk-nunjuk dirinya sendiri lalu menepuk-nepuk kepala Pak Desa, juga kepala Pak Dusun. Puas, ia menegaskan diri dalam keadaan hampir tak tahu malu. Ia mendekati ajak yang dibelinya dari kolektor hewan buas di kota Makassar itu. Ajak itu diajaknya berbicara, sambil sepenuhnya mengejek menggunakan bunyi kucing. Ia juga menepuk kepala ajak itu, berusaha menegaskan dirinya sebagai makhluk biologis di puncak rantai makanan.

“Kalian lihatlah, baik-baik. Selain saya tuan bagi kalian semua. Saya juga tuan bagi anjing manis ini.”

Pak Ambo membuka ikatan tali di leher ajak itu. Lalu, belum terjadi apa-apa.

“Perhatikan. Lihat. Anjing ini saja tahu siapa yang berkuasa.”

Pak Desa dan Pak Dusun, yang acap kali dikisahkan mengenai sebab-sebab kematian warga yang tak wajar diakibatkan ajak, mulai ketakutan. Namun, ia harus memberi tepuk tangan dengan wajah yang tidak ikut menepuk ketakutanannya. Agar mereka tidak terlempar ke luar lingkaran bisnis dan kekuasaan di desa itu.

Lalu mereka bertepuk tangan semakin cepat dan semakin keras. Tawa pak Ambo lalu mengiringi tepukan mereka. Ajak itu mengonggong. Tepuk tangan Pak Desa dan Pak Dusun mulai melambat. Namun, tawa Pak Ambo semakin tamak. Ajak itu membuat posisi menyerang, lekas menerkam Pak Ambo. Namun, sebelum ajak itu sampai ke tubuh Pak Ambo, Pak Desa lebih dulu melompat. Sehingga malang, yang dicabik-cabik oleh ajak itu adalah tangan kanan Pak Desa. Melihat keadaan mengeri. Pak Dusun berlari ke dalam rumahnya, mencari parang. Tapi setelah keluar rumah, ajak itu menghilang, meninggalkan badan Pak Desa, dengan lengan yang hampir putus dan tubuh gemuk pak Ambo yang membeku ketakutan.

***

Setelah mengintai, mengawasi, menerobos semak-semak, lalu berlari-lari, melompat, dan menikung, kawanan kera yang berteriak-teriak menjadi saksi, ajak itu lalu menerkam seekor babi hutan. Ia berhasil menggigit bokongnya. Menjatuhkannya dan menghentikan seluruh kekuatan babi yang sial itu dengan gigitan di lehernya. Lalu menyantapnya sendiri.

Tak butuh waktu lama baginya untuk kembali kepada keajakannya. Hidup yang hutan. Setelah lima bulan lalu terkena tembakan peluru bius di lehernya, dan memasuki hutan yang kota. Ajak itu hidup di kandang besi dan diberi makan orang yang menyebut diri sebagai pencinta binatang. Membuatnya ingin menjadi pemakan besi dan pemakan seluruh manusia yang berpura-pura mencintainya.

Sampai seorang bertubuh subur dan berperut gumpal datang mengetuk-ngetuk kandangnya. Orang itu lebih banyak tertawa daripada diam. Ia ingin sekali menyantap orang itu, mulai dari ujung kaki hingga ujung rambutnya. Bahkan sampai tulang-tulangnya, tak ingin disisakan. Namun, dengan benda dari kantong orang bertubuh subur itu, ia diseret keluar dari ruangan yang penuh dengan binatang-binatang aneh. Naik ke mobil pikap dan terguncang-guncang selama berada di atasnya.

Orang bertubuh subur itu, menyimpannya di dalam kandang baru yang lebih sempit, dengan tiang besi yang lebih kecil. Kandang itu diletakkan, di samping kolam renang yang memiliki patung dewi berdada kecil yang menumpahkan air dari kendi. Setiap pagi dan sore, orang bertubuh subur itu, membawakannya ayam yang pasrah diterkam. Empat ekor di pagi hari, dan tiga ekor di sore hari.

Kadang, orang bertubuh subur itu, juga membawa seorang anak. Dipikirnya, anak itu juga makanan. Nyatanya anak itu adalah penindas. Anak itu pandai bermain gagang sapu. Disodoknya berkali-kali ke tubuh si ajak. Dan, apabila ia mengigit dan menarik gagang sapu itu lepas dari tangannya, anak itu akan mengambil batu kecil hingga yang susah diangkatnya dengan satu tangan. Melempari tubuh si ajak, yang suatu ketika mengenai kepalanya dan berdarah. Ketika ia menggonggong, anak itu datang membawa sebilah parang. Lalu memberi luka goresan di perut si ajak. Orang bertubuh subur itu, bertepuk tangan pada setiap siksaan anak itu kepada hewan peliharaannya.

Dari peristiwa itu, pada akhirnya si ajak mulai memahami perkara dasar hidup dalam kandang kota. Berlaku manislah kepada tuanmu, maka kau akan selamat.

Ajak itu akhirnya berlaku manis. Menampakkan wajahnya yang paling tidak ajak. Mirip sekali dengan jenis anjing peliharaan yang pandai membulatkan matanya, dan meringkuk di bawah kaki manusia. Namun, dengan berlaku manis, ia tetap harus menempuh jalan keras. Ia harus menahan diri, agar ia bisa keluar dari kandangnya.  Setidaknya itu yang dilihat si ajak dari seekor kera yang berdiri di bahu anak itu.

Perlahan-lahan ia menerima siksaan seraya menyimpan baik-baik setiap ingatan dalam darah kebuasannya. Orang bertubuh subur itu membuat syarat-syarat tertentu, dan butuh waktu yang cukup lama bagi si ajak untuk mengerti.

Bunyi, “ap” misalnya, harus ia mengerti sebagai “melompat” setelah dipukul gagang sapu berkali-kali. Dan, “daon” untuk “meringkuk ke tanah dan menggoyangkan ekor kecilnya”. Setiap hari, selama satu bulan, ia mempelajari hal-hal itu.

Tapi, proses yang menyiksa itu meraih hasilnya. Ia telah dianggap bersahabat. Orang bertubuh subur itu, lantas selalu menyebutnya jinak di depan orang-orang yang takut dengannya. Suatu ketika setelah ia menghafal betul syarat, “ap daon” itu, dibawanyalah ajak itu, ke pasar hari Selasa. Di sana, ia melihat banyak tubuh gemuk, tubuh berotot, legam cokelat dan daging yang selama ini dirindukannya. Daging manusia.

Di tengah pasar, ia dijadikan sebagai pusat perhatian. Orang Bertubuh Subur itu berulang-ulang menyebut, “ap, daon.” Dan, ia melompat dan meringkuk, berkali-kali. Tapi, orang-orang yang berkumpul mengelilinginya hanya bertepuk tangan, dan memasang wajah yang sangat awas. Ia tahu, bahwa mereka masih memiliki naluri ketakutan, yang dapat mendeteksi sisa kebuasan yang masih banyak, mengalir dalam darah ajak itu.

Sampai pasar itu sepi, orang bertubuh subur itu lalu membawanya ke tengah hutan, di bawah rindang pokok pinus. Ia menyambut kesempatan dan suasana itu dengan penuh naluriah hutan. Ia ingin segera berlari dan memburu, mengenang masa-masa buas bersama kawanannya. Namun, ia masih menunggu kesempatan, harus dengan sangat teliti. Tali yang terkunci di lehernya akan membuatnya kembali hidup di dalam kandang kota, untuk selamanya.

Orang bertubuh subur itu, masih memegang talinya dengan cukup erat, sambil menunjuk-nunjuk. Setiap kali menunjuk, manusia lain di sekelilingnya akan menjelaskan sesuatu. Isyarat menunjuk dari orang itu kepada orang-orang di sekelilingnya mirip dengan syarat ap daon, yang ajak itu pelajari selama ini. berbedanya, mereka mudah mengerti, dan itu membuatnya jijik. Ia tak ingin sama dengan manusia.

Ia lalu dibawa ke sebuah rumah, lalu ikatan di lehernya ditambatkan ke tiang pagar. Selama satu jam di sana, ia duduk anjing. Menyaksikan orang bertubuh subur itu, berkata-kata. Dan melihat dua orang di hadapannya hanya diam. Bunyi-bunyian dari mulut orang bertubuh subur itu, semakin cepat dan semakin banyak. Orang bertubuh subur itu, bahkan tak pernah berhenti.  Ia bersemangat saat orang-orang itu bertepuk tangan. Sampai orang bertubuh subur itu berjalan ke arah si ajak, menepuk-nepuk kepalanya dan ia tahu harus bersikap manis. Sampai orang bertubuh subur itu membuka kunci tali di lehernya, ia tetap berlaku manis. Ia tahu setiap detik dalam situasi itu amat sangat rawan. Menunggu, sampai orang bertubuh subur itu merasa yakin, bahwa ia tidak akan melakukan apapun. Ia akhirnya mengembalikan semua kebuasan yang ada dalam dirinya dengan sekali gonggongan. Ajak itu lalu melompati tubuh orang bertubuh subur itu. Namun, ia tahu bahwa, yang digigitnya bukanlah tangan orang bertubuh subur itu. Ia tidak peduli. Ia mengigitnya, sentak berkali-kali. Teriakan pemilik lengan itu berpekik. Digigitnya sampai tercabik. Sampai lengan itu, mengayun seperti bulu mata lentik. lalu, ia meninggalkannya. Setelah, cukup jauh, ia menoleh ke belakang, melihat orang bertubuh subur itu dengan wajah penuh menang, dan berjanji akan membalasksn dendamnya pada lain waktu.

***

Setelah makan seekor babi dan seekor kera tolol yang mendekatinya saat makan. Ajak itu tidak makan selama dua hari. Ia hampir saja memenuhi perutnya dengan tubuh manusia yang sedang mencari madu hutan. Tapi ia gagal. Orang itu memiliki parang.

Esoknya, ajak itu seharian menembus semak-semak. Sampai ia berada di padang rumput penuh sapi. Air liurnya berbanyak. Ia begitu lapar. Namun, ia tidak bisa serta-merta menerkam tubuh sapi-sapi itu. Ia menunggu sempat, ia harus selalu menunggu, sebab ia tidak lagi berkawanan. Setelah menunggu lama, ternyata ia tidak punya sempat sama sekali. Selalu ada dua orang manusia yang membawa parang, selalu berada di sekitar sapi-sapi itu. Satu orang, mirip anak kecil yang selalu mendatanginya tiap sore di pinggir kolam. Satunya lagi, seorang manusia bertubuh kurus.

Esoknya, ia kembali lagi, pagi-pagi sekali. Malam-malam sebelumnya ia hanya memakan tiga ekor ayam dari kolong rumah. Ia berhasil menyantapnya di sana, sebelum terusir oleh pemilik kandang ayam itu, dengan poke dan parang. Hari ini, ia tidak ingin makan ayam lagi.

Lalu, akhirnya ia melihat adanya kesempatan. Orang yang bertubuh kurus itu meninggalkan sapinya sendirian terikat di tengah padang rumput. Anak kecil itu juga tidak ada. Ia lalu keluar dari tempat pengintaiannya. Keluar dari semak-semak belukar untuk mengakhiri masa-masa laparnya. Namun, seorang manusia mendahuluinya. Dilihatnya orang itu membawa parang. Ia lalu mengurungkan langkahnya. Berjalan mundur kembali ke dalam semak-semak. Dilihatnyalah orang itu memberi makan pada sapi, dengan helai-helai daun hijau. Lalu, melepas tali sapi, dan menggiringnya keluar dari padang rumput.

Ia mengikuti orang itu, menggiring sapi secara telaten. Orang itu melewati jalan berbatu, menyeberangi sungai. Mendaki sebuah bukit. Lalu masuk hutan dan berakhir di antara pohon inru dan pohon pisang. Di sanalah sapi itu, diikatnya. Ia lalu memilih posisi untuk melanjutkan kesabarannya. Mengintai lagi. Mencari kesempatan yang tepat untuk menyantap keduanya.

Cukup lama. Berlarut-larut. Berhari-hari. Melihat bagaimana orang itu selalu ada di sana. Terpekur. Siaga. Bahkan pada malam panjang. Buas, ajak itu mengira, orang itu, seajak dengannya. Sampai suatu hari, ia memperhatikan bagaimana orang itu berdiri sambil menyilangkan tangan di dadanya. Berdiri tepat di belakang pantat sapi. Lalu, jongkok dan berdiri lagi, mengulang kembali. Mengetatkan bidakannya. Sampai orang itu mengangkat ujung bawah sarungnya. Tidak ada lain waktu lagi. Rasa lapar mebdesaknya maju.

***

Daeng Sanre berbalik dengan kelamin tunjuk tegak. Setelah mendengar semak-semak di belakangnya bergesek-gesek. Ia menurunkan kembali sarungnya, memasang kaki kuda-kuda. Ia tidak hendak kabur, kelaminnya sudah terlanjur ketat. Ia begitu saja paham bahwa ajak gila itu, juga mengincar sapi yang sudah lama diimpikannya. Ia tidak ingin usahanya yang matang, mentah begitu saja, karena seekor ajak gila.

Sapi itu, yang setiap malam membuat mimpinya basah. Tapi, begitu ia terbangun, selangkangannya kemarau gurun. Begitu penting baginya, setelah 62 tahun, hanya sapi itu yang bisa membuat kelaminnya pantas disebut kelamin. Ia sudah mencobanya sesuai kenormalan. Selalu gagal.

Percobaan normal terakhirnya, saat melakukan prosesi pemijatan pada paha kanan Dira. Sampai berapa kali berusaha meraba-raba, sampai Dira melenguh pelan. Terengah-engah. Sampai tubuh Dira menghangat. Sampai, Dira mengangkat roknya. Sampai tubuh Dira membuka. Sampai Dira mendaratkan tubuhnya ke bidang badan Daeng Sanre. Tapi, Kelamin Daeng Sanre, cundang. Kelamin itu tidak pernah menyambut. Mengerut dingin. Dengan penuh kesal, ia menjeda pengobatan itu. Menarik badan dari tubuh Dira.

Ajak itu menerkamnya. Maka ia sepenuhnya menerima ajang kelahi ajak itu. Dengan tangan telanjang dan tubuh yang hanya tersisa sedikit kemudaannya, adalah satu-satunya senjata. Mantra Papasang, dirapalkannya.  Ia pegang kepala ajak itu, meremas dan membantingnya ke belakang. Namun, ajak tak surut. Ajak malah menerjang dan menerkam tubuh Daeng Sanre. Kali ini, sangat kuat. Daeng Sanre terlempar dan tersungkur ke tanah. Pangkal pinggulnya mendarat di batu. Ngilu lekas dirasakannya. Pertahanannya lantas lowong. Rentetan senjata di mulut ajak itu, lolos ke wajahnya. Dan, berhasil menyarangkan gigi taring, juga ke lehernya. Dengan cepat, tangan Daeng Sanre menarik kepala ajak itu, sebelum gigi-gigi ajak tenggelam lebih dalam. Sayangnya, mulut ajak ringkas beralih ke dada Daeng Sanre. Ia masih tetap bisa mengangkat kepala ajak itu. Dirasakannya betul air liur ajak itu, menetes. Hangat. Lengket. Lalu dengan tegas, gigi-gigi itu berpindah ke telinganya. Sekali tarik saja, daun telinga itu, tanggal. Lalu dimuntahkan ajak itu ke tanah. Daeng Sanre memekikkan sakitnya. Sakit itu kembali memunculkan geramnya, dan seluruh kekuatannya. Sebelum ajak itu kembali menyerangnya. Ia sempat meraih sebuah batu berujung runcing, yang kemudian berhasil bersarang pada kepala ajak. Sampai membuat ajak itu kelimpungan, menggelengkan kepala. Tak ingin kehilangan sempat, Daeng Sanre mengambil batu yang lebih besar, dan menghujam kepala ajak itu. Hujam yang bekali-kali. Lantas, ajak itu memekik untuk terakhir kalinya, sebelum runtuh. Daeng Sanre kembali menyambar batu yang lebih besar. Lalu, dengan penuh kejayaan ia berteriak, “Kongkong Kabbulammakkang!

Daeng Sanre lalu berjalan, tertatih-tatih sambil memegangi telinganya yang putus dan menahan darahnya yang mengucur deras dari sana. Kelaminnya masih menunjuk tegak. Namun, pandangan Daeng Sanre buyar pada langkahnya yang kelima. Dan, tiga langkah lagi ke tubuh sapi idamannya itu, Daeng Sanre ikut runtuh. Daeng Sanre melihat sapi itu, menjelma ibunya. Ia lalu masuk ke dalam mimpinya yang dalam sekali. Dan, ia meraih puncak hasratnya. Memfungsikan seluruh ketidakbergunaan kelaminnya.

***

Kabar buruk selalu tersebar begitu cepat. Bahkan, untuk sebuah wilayah sepi di dataran tinggi. Mula-mula dari mulut Dira, lalu ke telinga suaminya. Lalu ke telinga tetangganya. Lalu ke telinga 40 kepala keluarga di Cindakko. Mereka pun gempar, datang berkerumun dari berbagai sudut ketinggian, mendatangi rumah Daeng Sanre.

Kabar itu sampai pula ke telinga Haling. Kabar mengenai sapinya yang telah ditemukan, membuatnya kepalang gembira. Namun, tindakannya, meludahi mayat Daeng Sanre, tidak dapat dipahami oleh warga Cindakko. Peristiwa itu, sudah terlalu sulit untuk ditafsirkan masyarakat kampung.

***

Nurhalis M
Nurhalis M Ketua kelas angkatan pertama Institut Sastra Makassar (ISM)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email