Batas antara yang nyata dan yang maya hanya terletak dalam kesadaran seseorang yang sedang terjaga. Mimpi menjadi batas mutlak bagi keduanya. Atau batas antara angka 1 dan 2 adalah ketiadaan batas. Kenihilan. Atau kefanaan yang tercipta dengan segala batas yang ditiadakan. Persepsi bahwa yang nyata terlihat dan yang fana adalah bayangan akan kandas ketika manusia sedang tidur dan bermimpi. Apa yang orang lain sebut segala sesuatu yang nyata, membenda, dapat dilihat dan disentuh hakikatnya adalah maya baginya. Sedangkan mimpi adalah kenyataan yang sedang ia lihat dan rasakan.
Semuanya menjadi relatif bagi kematian yang datang begitu saja. Kehidupan setelah mati. Banyak yang menyangsikannya. Mungkin juga aku. Dan kamu. Dan beberapa durjana penentang di luar sana. Sesaat setelah mati, semua yang dulu maya. Tidak nyata. Metafisik. Mendadak seterang saat kita terjaga di siang hari. Semua nampak begitu nyata. Jelas. Sekat-sekat imajiner dan abstrak yang selama ini kita percaya sebagai khayalan tersingkap. Seperti dua belas mata dadu yang dilemparkan bersamaan. Semua mata dadu memperlihatkan enam titik. Sempurna. Kehidupan telah bergeser. Terbolak-balik. Fisik dan metafisik. Metafisik dan fisik. Atau fisik yang tak metafisik bertarung dengan metafisik yang fisik.
Terlepas dari itu semua, semesta bekerja dengan cara yang misterius. Cara metafisik yang terlihat dalam bentuk fisik. Hujan yang turun setetes demi setes. Menggenang. Tanpa mendahului. Tanpa mengaku siapa yang paling dulu berjumpa dengan daratan. Jatuh di tempatnya masing-masing. Ditentukan dengan cermat. Presisi. Dengan kemampuan metafisik ilahiyah.
Aku melihatnya pagi ini. Pin baru saja bangun. Bukan dari mimpinya. Tapi bangun dari kehidupannya. Semua yang katanya serba nyata. “Di mana aku sekarang?” katanya sambil mengerjapkan mata. “Mengapa semua serba putih begini?”
“Selamat datang di dunia yang serba nyata ini. Ucapkan selamat tinggal pada mimpi-mimpimu dulu,” ucapku menyambut.
Pin terlihat bingung. Dia melihat sekat bening mengelilinginya. Di luar sana, orang-orang meraung-raung dan meneteskan air mata. Ada yang sungguh-sungguh, ada yang menangis dengan seringai Iblis di hatinya. Semuanya terlihat begitu jelas dari sini. Pin juga bisa melihatnya. Aku tak perlu menjelaskan panjang lebar.
“Di mana aku sekarang?” ulangnya.
“Dunia yang serba nyata. Sekat antara yang fisik dan metafisik.”
“Apa aku telah mati.”
“Mungkin iya. Mungkin juga tidak.”
“Jelaskan lebih detail padaku,” tuturnya dengan wajah panik.
“Kau mati dari kehidupan yang sekarang tak lagi nyata. Tapi kau hidup di dalam dunia nyata yang dulu kau anggap maya. Metafisik. Kau hidup sekaligus mati. Juga tak benar jika kau mati seutuhnya. Juga tak hidup seutuhnya.”
Pin menggacak kepalanya. Aku menyeringai. Senang sekali melihat ekspresi setiap manusia yang kebingungan tiap kali melihat kenyataan yang sebenarnya. Aku menghilang. Pin berteriak memanggilku. Bukan namaku. Dia memanggilku dengan bingung. Aku sengaja tak mengenalkan diri. Di dunia nyata ini, nama tak lagi penting. Nama adalah warisan dari mimpi yang baru saja dijalaninya 75 tahun lalu.
Dua makhluk serba putih mendekati Pin. Aku melihat semuanya dari sini. Dari sudut metafisik. Aku memang tak benar-benar meninggalkannya. Semua tak kalah jelasnya dari sini. Pin ketakutan. Dua mahkluk itu menenangkan. Keduanya meraih tangan Pin. Membawanya menjelajah ke dimensi serba nyata ini. Pendar putih berkelebatan sepanjang perjalanan itu. Pin tidak berani membuka suara. Dia serasa terhempas di dalam lorong-lorang spiral yang begitu lurus. Di ujungnya terdapat sorot cahaya yang begitu terang, Pin menutup matanya.
Splash!
Pin terhentak. Meski kedua matanya telah ditutup, dia tetap bisa melihat cahaya serba terang itu. Aku terkekeh melihatnya. Dia mungkin belum tahu, kedua matanya sekarang hanya hiasan saja. Tak perlu dua benda bulat itu untuk melihat apapun. Dia sepertinya belum mengerti ucapanku. Dunia yang serba nyata tak membutuhkan perantara.
“Di mana kita?” tanya Pin. Atau lebih tepatnya tanya setiap manusia yang datang ke sini. Tabiat mereka senang bertanya. Bukan mendengar. Bukan menunggu penjelasan. Bukan mengamati semuanya, mengambil kesimpulan, dan menemukan pemahaman baru. Selalu saja bertanya.
“Di tempat kata ‘di mana’ sudah tidak cocok lagi,” ucap salah satu dari dua makhluk itu dengan dingin.
“Jadi, tepatnya kita di mana?” tanya Pin tetap tidak mengerti.
“Tidak di mana pun dan tidak berada di dalam apa pun. Hentikan bertanya ‘di mana’,” tukas makhluk satunya lagi. Untungnya mereka telah dibekali kesabaran seluas samudera.
Pin dan dua makhluk itu melanjutkan perjalanan mereka.
Di sudut sana—dunia fisik sedang berkabut. Berkerumun orang-orang menangisi seonggok daging yang katanya tak lagi bernyawa. Aku tertawa melihatnya. Pin juga mengetahuinya. Dia melihat apa yang tak ingin dilihat. Wajahnya terlihat muram. Dia sendiri. Di selubung metafisik yang nyata.
Splash!
Pin membuka matanya. Aku tertawa lagi melihatnya. Untuk apa ia menutup mata. Dia tetap bisa melihatnya. Dengan jelas!
Dengan napas yang memburu, keringat yang mengucur begitu deras, Pin meraih sesuatu di meja seberang ranjangnya. Segelas air minum. Pin meraih dan menenggaknya. Dia tidak menyadari bahwa akulah yang telah meletakkan segelas air itu. Pin memegang wajahnya. Menggenggam tangannya. Memastikan dirinya barusan bermimpi. Napasnya masih memburu. Pin berdiri, menatap cermin yang terselip di bagian depan lemari kayu. Pin menatap lekat-lekat bayangannya. Itu memang dia. Dengan wajah berantakan. Kusut. Mata sembab. Ya, dia memang baru saja tidur. Lampu di kamarnya masih remang. Pin beranjak kembali ke ranjang, duduk di tepiannya.
“Sudah ingat?” seseorang atau sesuatu menepuknya dari belakang.
Pin menoleh dan mendapati dua makhluk itu berada di kiri dan kanannya. “Di mana aku?” lagi-lagi Pin bertanya hal yang sama. Bukankah tadi dia sedang berada di kamarnya. Mengapa kini dua makhluk itu kembali lagi bersamanya?
“Batas antara yang nyata dan yang fana. Ucapkan selamat tinggal pada mimpi metafisikmu itu,” gumam salah satu dari keduanya. Sebuah gumaman yang begitu jelas di telinga Pin. Telinga? Hei! Pin baru menyadari bahwa dirinya sudah tak bertelinga lagi. Pin melihat tubuhnya. Menyaksikan semuanya serba transparan. Serba putih. Tak berbentuk lagi. Seketika Pin merasa begitu asing dengan tubuhnya sendiri. Asing dengan dirinya. “Mengapa wujudku menjadi begini?”
“Kau baru menyadarinya?” tukas salah satu dari dua makhluk itu.
“Inilah wujud metafisikmu. Wujud aslimu,” ucap yang lain.
Pin menunjuk sebuah gugusan cahaya yang berputar-putar ke berbagai penjuru. Tujuh pintu—kalau boleh disebut begitu—berdiri di tiap-tiap sudutnya. “Apa itu surga?”
“Anggap saja begitu.”
“Di mana taman-taman yang diceritakan itu? Di mana sungai-sungai, pepohonan, istana dari emas dan perak yang dijanjikan? Di mana bidadari yang melayani dengan wajah berseri-seri? Di mana itu semua?”
Kedua makhluk itu tertawa. Aku juga tertawa. “Begitukah yang kau dengar tentang surga?”
Pin mengangguk.
“Sayangnya tidak begitu, Pin.”
Pin menoleh, terbelalak. “Hei, kau tahu namaku?”
Keduanya terkekeh lagi. “Kau juga tahu namaku. Sayangnya kau pura-pura lupa.”
Pin berusaha mengingat. Tapi tak ada yang bisa diingatnya kecuali mimpi-mimpinya sendiri. Aku terus menatap perjalanan mereka. Sekarang Pin akan melintasi ruang metafisik yang lain. Melihat sebentuk keabadian yang berbeda. Kali ini Pin tidak menutup matanya. Dia ingin melihat semuanya lebih jelas. Pin baru sadar, selama perjalanan, mereka seperti berada di dalam kotak kaca yang terpisah dengan dimensi ketiga. “Lihatlah!”
Pin mendongak ke bawah. Dia melihat alam semesta dalam bentuk bola—berada di atas telapak tangan seseorang, atau sesuatu—berputar pada porosnya. Di sekelilingnya hanya gelap. Hampa. Kosong. Tak berbentuk. Seperti serbuk yang bergumpal. Abstrak. Pin terus naik ke atas. “Sekarang lihatlah!”
Pin melihat ke bawah. Semesta dan segala sesuatu di sekelilingnya, meliputi kefanaan dan kekosongan membentuk sebuah bola. Ada sebuah benang dari cahaya yang meluncur lurus ke atas. Di bagian paling atas terdapat gumpalan mirip balon raksasa serba putih. “Itu adalah batas dari segala sesuatu yang dapat terpikirkan.”
Pin mendongak ke atas. Gumpalan itu berputar-putar mirip awan ketika akan hujan. Dia melihatnya di mimpinya dulu. “Apa kita akan menuju ke sana?”
Kedua mahkluk itu menggeleng. “Kita akan pergi ke sudut yang lain.”
“Ke mana?”
“Tujuan akhirmu.”
Dua makhluk itu mengibaskan tangannya. Dimensi bergeser. Berputar spiral. Saling membentur dan berkelebat. Semakin lama semakin cepat. Memutar mirip roda yang digerakkan sekencang-kencangnya. Pin menatapnya tanpa berkedip.
Splash!
Seketika suasana menjadi serba putih. Bukan. Tapi lebih ke warna pucat. Semuanya pucat. Tidak ada dinding. Tidak ada warna. Tidak ada cahaya. Hanya sebentuk kepucatan yang menyelimuti. Seperti sebuah karpet yang ditelungkupkan. Pin menatap dengan jerih. Hanya ada dirinya sendiri. Dan dua makhluk asing itu. “Di mana ini?”
“Kalian menyebutnya neraka.”
“Di mana api yang menyala? Di mana siksaan yang begitu mengerikan? Di mana jeritan para pendosa? Di mana itu semua?”
Aku tergelak. Kedua makhluk itu pun tergelak. “Begitukah yang sering kau dengar?”
Pin mengangguk.
“Ucapkan selamat datang untuk tujuan akhirmu, Pin,” ucap kedua mahkluk asing tersebut.
“Aku akan tinggal di sini?”
“Bukan hanya tinggal. Kau akan menyatu dalam kekosongan dan kehampaan ini, Pin. Kau akan bersatu dengan sebongkah metafisik abadi.”
Kedua mahkluk itu melemparkan Pin dengan kasar. Pin hancur dalam sekejap. Menyatu menjadi kenihilan yang abstrak. Mimpi dan nyata telah bersatu. Membentuk dimensi tertinggi dalam algoritma semesta. Peleburan jiwa dan penghancuran mata rantai mimpi kehidupan. Juga penghapusan yang nyata dan maya. Yang tersisa hanya keabadian yang tak sirna. Keabadian yang menembus strata terdalam metafisik.
Yang ada menjadi tiada. Yang tiada sekan-akan nyata. Dan maya menjelma menjadi realita yang tak sempurna. Namun, semuanya palsu. Lebur menjadi satu. Menciptakan keabadian yang khusyuk. Kedamaian abadi di lorong terkecil. Sudut-sudut parsial yang mengimpit. Berpilin dalam fisik yang saling berpisah.
Pin adalah salah satu dari bagian tunggal bercabang. Rangkaian dari anggota semesta yang saling berkelindan. Rantai heliks mimpi dan realita. Nyata dan fana. Fana dan maya.
Pribadi yang hadir melebur dalam kekosongan. Kekosongan bukan bermakna ketiadaan benda. Ketiadaan arti. Apalagi ketiadaan sesuatu yang ada. Kekosongan adalah keberadaan yang tak nampak. Yang tak membenda. Dan tidak pula yang membenda adalah keberadaan yang nyata.
*****