Jejak Waktu
sebab waktu akan tunduk pada mereka yang tenang
maka jarak bukan musuh, hanya bulevar yang panjang.
kehilangan jadi bagian dari ingatan
yang menumbuhkan, seperti akar di tanah.
hujan pun mesti reda,
agar bumi sempat mengingat terang.
jejak, sekecil apa pun, adalah peta,
yang diguratkan dalam kenang.
luka, meski sembilu menghunus sukma,
adalah cara bicara pada sunyi.
tak ada yang abadi, kecuali asa
yang tertinggal di sehelai bayang mimpi.
dan bila kelak malam menjahit gulita,
biarkan bulan jadi rahasia yang menyala.
hidup memanggilmu untuk bertanya,
dan cahaya menunggu, seperti pagi yang masih akan tiba.
–
Jangan Lupa Pulang
kawan, jangan merengek
sendu cuma menambah beban saku celana,
sudah cukup berat dengan doa dan sisa koin parkir,
jalan putar terlalu panjang untuk basah.
jangan gemetar
sebab gentar hanya memperpanjang antrean
di warung kopi yang tak pernah bertanya
kenapa kau datang dengan kantuk setengah utuh.
jangan takluk
biar saja malam menyusun kabar buruk
di sela-sela tikar yang kau lipat terburu-buru,
hidup ini perjalanan, bukan alasan menunggu.
jangan lupa pulang
di tempat tidur, kata-kata sedang berkemas,
menunggumu kembali dengan cerita
yang hangat seperti sup jagung ibumu.
–
Memo untuk Lupa
lupa, tak usah datang
aku sudah membayar ingatan dengan harga, sayang
tapi, kenapa kau nyelonong seperti utang
menagih rindu di saat aku tenang?
ah, lupa, kau memang nakal
mengendap di kantong hati yang kosong total
seperti pesan basi di notifikasi ponsel
kutinggalkan, tapi kau tetap nyelip di benak yang bebal.
–
Celana yang Mengendap di Mimpi
: buat JokPin
celana siapa ini?
kenapa ada di laci mimpiku?
apakah ia sengaja ditinggalkan
untuk menampung rinduku yang sudah kepenuhan?
aku mencium bau perjalanan,
jingkat kaki yang kerap pulang.
mungkin ia pernah dipakai seseorang
yang rajin menyembunyikan luka di saku belakang.
celana ini,
mungkin cuma butuh istirahat.
dilipat diam-diam oleh malam
seperti rahasia yang tak selesai,
tapi tak perlu diselesaikan.
–
Bayangan Senja
ini bayangan tersesat
di balik lipatan waktu.
ia menggigil, meraba sunyi
dalam kelam yang tak berbatas.
adakah angin menuntunnya?
atau sekadar gemuruh rindu?
langkah-langkahnya memeluk sepi,
mencari ruang yang tak bernama.
di lembah malam, ia bertanya,
pada bintang yang berkilau pucat
soal sisa-sisa mimpi
dan debu yang terlupa.
namun fajar mengusap wajahnya,
menyalakan bara yang tersembunyi.
bayangan pun tinggal luka,
yang berbisik di ujung senja.
–
Laku Luka
ada luka tercecer di lantai stasiun.
waktu menjahitnya ke langit-langit kereta:
sebuah kursi patah, jendela memantulkan peta yang kabur,
dan tubuh—terlipat dalam saku jaket,
bercakap dengan kantong plastik.
langkah-langkahnya melubangi trotoar,
menemukan sunyi di mesin fotokopi.
kertas-kertas tercetak ulang:
gambar sepi, gemuruh televisi,
rindu yang terselip di tanda baca.
bintang-bintang hanya neon mati di atap toko,
ia bertanya pada etalase:
“apakah aku selembar struk belanja
atau alamat yang salah dikirimkan?”
pagi datang seperti suara sepeda tua,
menggerakkan debu ke pojok-warung-roti.
luka itu lalu jadi obituari
yang lupa diterbitkan,
berdesis pelan:
“semua yang dicatat,
akhirnya hilang dalam gelas kopi.”
*****