Bulan lalu, Albert Bandura, salah satu tokoh Psikologi dunia, baru saja berpulang di usia yang terbilang panjang yakni 95 tahun (1925-2021). Kepergiannya bukan saja menyisakan kepedihan serta kekaguman mendalam di kalangan para sarjana psikologi, tetapi juga pada para akademisi terutama bagi mereka yang setiap hari berkecimpung dalam dunia kependidikan.
Hal ini bukanlah hal yang mengherankan, sebab hampir setiap mahasiswa kependidikan yang menjalani studi bisa dipastikan pernah mengambil mata kuliah teori belajar atau pun psikologi pendidikan di mana mereka akan berkenalan atau minimal mendengar nama Bandura beserta prespektif teori kognitif sosialnya. Tentunya, di samping beberapa tokoh dan teori behavioral lainnya.
Melalui teori belajar yang ia cetuskan beberapa puluh tahun silam itulah, dunia pendidikan amat terbantu dalam urusan pengajaran anak. Di samping teori tersebut juga telah menjadi pijakan awal guna mempermudah memahami bagaimana cara individu (anak) belajar dari lingkungan di masa perkembangannya.
Dalam Ingatan
Saya masih ingat betul ketika pertama kali menjadi mahasiswa baru semester pertama dan mendapat mata kuliah psikologi pendidikan. Dari sekian banyak analisa teori yang penulis pelajari waktu itu, boleh dibilang pendekatan behavioralisme adalah pendekatan yang amat menarik dan paling mudah penerapannya bagi penulis.
Berbeda dari beberapa pendekatan yang cenderung abstrak dan sukar dipahami untuk ukuran mahasiswa awal, pendekatan behaviorisme menurut penulis justru sebaliknya. Tak mengherankan ketika proses tanya jawab berlangsung banyak sekali teman-teman satu kelas yang begitu antusias untuk ikut menjawab.
Di samping itu, sebagai bagian dari pendekatan behaviorisme, teori belajar Bandura yaitu Social Learning atau lebih dikenal sebagai teori belajar sosial sangat menekankan bahwa sebuah perilaku individu tidak akan pernah akan lepas dari hasil pengamatannya (observasi) terhadap lingkungan di mana ia tinggal.
Penulis ambil contoh sederhana berupa tren memanggil bus dengan teriakan “Om telolet om” yang pada awal-awal mahasiswa baru begitu popular di Indonesia. Tren yang awalnya hanya dilakukan oleh segelintir anak-anak kecil di sebuah daerah, berubah diikuti oleh banyak anak-anak di berbagai daerah di Indonesia, karena mendadak viral di media sosial.
Jika kita telaah, fenomena di atas tentu menegaskan hipotesis teori Bandura bahwa pengaruh lingkungan dalam konteks ini media sosial memiliki andil besar dalam mempengaruhi tindakan anak dalam memanggil bus dengan teriakan “Om telolet om”.
Masalah Hari Ini
Pada era serba digital saat ini, masalah tingkah laku seorang anak tak akan jauh berbeda dari apa yang ia lihat dan amati di dunia digital. Sebagai anak generasi Alpha (kelahiran 2010-2025), yang ciri utamanya antara lain sangat akrab dan mahir dengan teknologi digital, sulit lepas dari gawai, kurang bersosialisasi, dan cenderung menginginkan serba instan (McCrindle, & Wolfinger., 2010).
Apalagi para orang tua kini cenderung membebaskan dan abai untuk memberi pendampingan pada anak dalam mengakases layanan digital, sehingga berdampak pada ketidakmampuan dalam menyaring terkait hal-hal yang ia lihat dan amati di dunia digital. Semisal, munculnya fenomena sujud freestyle di kalangan anak SD yang viral di media sosial beberapa bulan lalu hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) ikut menanggapi masalah ini (detikNews, 25/4/2021). Fenomena itu ditengarai berasal dari meniru adegan dalam game online “Free Fire”. Terlepas dari perdebatan ada, fenomena tersebut juga menjadi contoh lain dari teori belajar Bandura hari ini.
Lebih lanjut, para orang tua nampaknya perlu memahami ulang terkait lingkungan anak bahwa makna lingkungan tidak hanya terbatas pada tempat dan orang-rang di sekitar anak, melainkan dunia digital sekarang juga menjadi bagian dari lingkungan tersendiri bagi anak. Dengan belajar pada kasus di atas kita para orang tua juga diharapkan semakin sadar, jika tidak semua konten digital utamanya game online itu aman untuk dikonsumsi oleh anak.
Oleh karenanya di masa pembelajaran daring ini, sudah sepatutnya seorang anak tidak dibiarkan sendirian mencerna konten-konten digital. Orang tua harus memberi batasan dan pemahaman terkait konten digital yang ada di dunia maya melalui ruang dialog hangat antara orang tua dan anak tanpa perlu langsung menghakiminya. Diharapkan melalui pendekatan ini akan terjadi win-win solution di antara anak dan orang tua.