Ketika berbicara tentang potensi pasar domestik Indonesia, sering kali kita hanya membayangkannya tanpa benar-benar menyelidiki seberapa besar potensi aslinya. Namun, melalui contoh nyata seperti JKT48, kita bisa memahami bahwa pasar domestik Indonesia luar biasa besarnya, terutama jika dikelola dengan tepat. Sebagai grup idola yang berakar pada budaya Jepang, JKT48 telah membuktikan bahwa Indonesia memiliki kekuatan ekonomi yang bisa dioptimalkan, bahkan dalam sektor hiburan.
Baca juga:
JKT48 berhasil membawa tradisi Keluarga 48 ke industri hiburan Indonesia dan mencetak berbagai pencapaian mencengangkan. Salah satu yang paling mencolok adalah pemilihan umum untuk menentukan center single terbaru mereka. Dalam waktu enam bulan, acara ini menghasilkan pendapatan yang diperkirakan mencapai Rp. 26 miliar, hanya dari voting. Jumlah ini belum termasuk penghasilan dari konser di Indonesia Arena yang dihadiri lebih dari 15.000 orang, serta pemasukan dari platform streaming dan penjualan merchandise.
Angka ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia memiliki daya beli yang tinggi terhadap hiburan yang mereka cintai. John Maynard Keynes dalam teori Keynesian menekankan bahwa konsumsi masyarakat adalah faktor utama dalam pertumbuhan ekonomi. Kasus JKT48 membuktikan bahwa ketika produk atau layanan mampu menarik keterlibatan emosional yang kuat, konsumen bersedia mengeluarkan uang lebih banyak. Konsep consumer surplus dalam ekonomi mikro juga berlaku di sini—penggemar merasa mendapatkan nilai lebih dari sekadar uang yang mereka keluarkan, karena mereka membeli bukan hanya produk, tetapi juga pengalaman.
Ekonomi Kreatif dan Efek Jaringan
Indonesia sendiri adalah negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, dengan lebih dari 270 juta penduduk. Jika kita memperhatikan lebih rinci, Jawa Barat saja memiliki jumlah penduduk setara dengan Malaysia, sementara gabungan populasi Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur lebih besar daripada Thailand. Ini berarti bahwa dalam satu pulau saja, Indonesia memiliki pasar domestik yang cukup besar untuk bersaing dengan beberapa negara tetangga. Namun, banyak pelaku industri di Indonesia masih terlalu terobsesi dengan pasar internasional tanpa menyadari bahwa pasar domestik sendiri memiliki potensi yang jauh lebih besar dan beragam.
Kesuksesan JKT48 tidak hanya mencerminkan potensi daya beli pasar domestik, tetapi juga menegaskan bahwa ekonomi kreatif adalah salah satu sektor yang mampu berkembang pesat di Indonesia. Richard Florida dalam teorinya tentang ekonomi kreatif menyebutkan bahwa kreativitas adalah pendorong utama ekonomi modern. JKT48 adalah contoh sempurna bagaimana inovasi dalam hiburan dapat menjadi sumber pertumbuhan yang besar. Mereka tidak hanya mengadaptasi konsep grup idola Jepang, tetapi juga menyesuaikannya dengan budaya dan karakter pasar Indonesia.
Baca juga:
Selain itu, keberhasilan JKT48 juga mencerminkan efek jaringan atau network effect, sebagaimana dijelaskan dalam Metcalfe’s Law, yang menyatakan bahwa nilai sebuah jaringan bertambah seiring dengan jumlah pengguna yang terlibat. JKT48 membangun jaringan penggemar yang solid, di mana setiap individu yang bergabung menambah nilai ekonomi bagi keseluruhan ekosistem mereka. Semakin banyak orang yang berpartisipasi dalam voting, menghadiri konser, membeli merchandise, atau berlangganan platform streaming, semakin besar dampak ekonomi yang mereka hasilkan.
Membangun Kekuatan Ekonomi dari Pasar Domestik
Di era digital, faktor ini semakin diperkuat oleh teknologi. Dengan memanfaatkan media sosial, platform streaming, dan e-commerce, JKT48 mampu menjangkau penggemar di seluruh Indonesia, dari kota besar hingga daerah terpencil. Hal ini membuktikan bahwa digitalisasi bukan sekadar alat promosi, tetapi juga kunci utama dalam mengoptimalkan pasar domestik. Model bisnis seperti ini dapat ditiru oleh berbagai industri lain, dari sektor fesyen, kuliner, hingga teknologi.
Lebih dari sekadar strategi bisnis, JKT48 juga menjadi contoh bagaimana pasar domestik sering kali diabaikan oleh para pelaku industri. Banyak perusahaan lebih fokus mengejar ekspor atau ekspansi ke luar negeri tanpa menyadari bahwa Indonesia sendiri memiliki pasar yang sangat besar. Dalam teori pembangunan ekonomi, ada pendekatan industrialisasi endogen yang menyarankan bahwa negara berkembang sebaiknya memperkuat industri dalam negeri terlebih dahulu sebelum bersaing di pasar global. JKT48 menjadi contoh bagaimana sebuah brand dapat sukses dengan lebih dulu mengakar di pasar lokal sebelum melirik ekspansi global.
Selain itu, model bisnis JKT48 juga sejalan dengan konsep two-sided market, di mana mereka tidak hanya menarik penggemar, tetapi juga sponsor dan mitra bisnis yang ingin beriklan dalam ekosistem mereka. Dengan cara ini, mereka tidak hanya bergantung pada penjualan tiket atau merchandise, tetapi juga membuka berbagai jalur pendapatan lain. Hal ini menciptakan ekosistem bisnis yang lebih berkelanjutan dan terus berkembang.
JKT48 membuktikan bahwa pasar domestik Indonesia memiliki potensi besar jika dikelola dengan baik. Mereka mampu menciptakan keterlibatan emosional yang mendalam dengan penggemar, mengoptimalkan media digital, dan menunjukkan bahwa pasar domestik Indonesia memiliki daya beli yang luar biasa. Jika industri lain dapat belajar dari model ini, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi kekuatan ekonomi yang lebih mandiri dan berdaya saing tinggi.
Sebelum terlalu fokus pada ekspansi global, kita harus memastikan bahwa potensi “go national” telah dimanfaatkan secara maksimal. Indonesia memiliki semua elemen yang dibutuhkan untuk menjadi raksasa ekonomi, tidak hanya di Asia Tenggara tetapi juga di dunia. Jika kita bisa belajar dari model JKT48 dan menerapkan prinsip yang sama di sektor lain, masa depan ekonomi Indonesia akan semakin cerah—bukan karena meniru tren luar, tetapi karena berhasil mengoptimalkan kekuatan pasar domestik sendiri. (*)
Editor: Kukuh Basuki