“Nothing in the world is harder than speaking the truth;
and nothing easier than flattery.”
– Fyodor Dostoyevksy dalam Crime and Punishment (1866)
Dalam medan luka sosial hari ini, mustahil untuk membicarakan pembungkaman tanpa memahami bagaimana cara kerja kekuasaan yang tak hanya bersifat eksternal, melainkan telah menyusup ke dalam sendi-sendi kejiwaan manusia itu sendiri. Di sinilah konsep core delirium—sebuah istilah dalam kajian psikoanalisis—dapat menjadi alat bantu untuk menerawang kondisi tersebut.
Baca juga:
Sebelum berangkat lebih jauh, kita terlebih dahulu perlu memahami konsep core delirium itu sendiri. Dalam satu pengertian, core delirium dapat dipahami sebagai keadaan ketika seseorang mengalami kekacauan mental yang ditandai oleh gangguan dalam memperhatikan lingkungan sekitarnya, perubahan kesadaran, dan fungsi kognitif yang menurun secara tiba-tiba.
Bila dibaca lebih lanjut, core delirium bukan sekadar kebingungan biasa. Ia adalah distorsi kesadaran yang mengakar; kondisi di mana individu, bahkan komunitas, hidup dalam realitas yang sudah dimanipulasi sejak dari dasar bangunan jiwanya. Memang, mereka tetap ‘sadar’, mereka tetap ‘rasional’, tetapi kesadaran dan rasionalitas itu sendiri telah ditata untuk menyesuaikan diri dengan mekanisme kekuasaan yang memelihara atau bahkan hendak melampaui status quo.
Dalam konteks sosial-politik, core delirium melampaui gangguan mental individual. Ia menjadi modus hidup kolektif, terintegrasi ke dalam keseharian kita: dalam bahasa media, dalam prosedur akademik, dalam manuver komunitas, dalam laku sehari-hari yang pada mulanya tampak biasa saja. Delirium ini membuat struktur kekuasaan bukan sekadar ditakuti, melainkan diterima sebagai satu-satunya kenyataan yang mungkin. Dalam bahasa lain, delirium bisa dibaca sebagai efek dari represi kekuasaan, di mana subjek kehilangan akses terhadap bahasa yang sah untuk menyuarakan diri, karena bahasa itu sendiri sudah dikuasai dan diseleksi oleh sistem ideologi dominan.
Jika Antonio Gramsci—seorang pemikir Marxis dari Italia—berbicara tentang hegemoni sebagai produksi “persetujuan aktif” dari yang diperintah terhadap yang memerintah, maka core delirium adalah infrastruktur psikis yang memungkinkan persetujuan itu menjadi mungkin. Ia memastikan bahwa bahkan dalam kritik, bahkan dalam perlawanan simbolik, individu dan komunitas tetap bergerak dalam horizon yang sudah ditentukan kekuasaan: menyesuaikan diri, mencari kompromi, merasionalisasi keheningan.
Dengan kata lain, kekuasaan modern tidak lagi hanya mengandalkan represi yang kasat mata. Ia beroperasi secara psikopolitik: menginternalisasi ketakutan, mengubah luka menjadi angka statistik, mengemas protes menjadi produk budaya. Di dunia semacam ini, membicarakan kebenaran tidak hanya sukar; ia menjadi nyaris tak mungkin tanpa terlebih dahulu membongkar delirium itu sendiri.
Dalam situasi semacam ini, individu maupun komunitas publik yang terbungkam sebenarnya tidak sekadar membungkam diri karena tekanan eksternal. Mereka membungkam diri karena di dalam dirinya telah dibangun suatu “nalar baru”—nalar yang mengutamakan bertahan hidup ketimbang dengan berani menyuarakan prinsip, nalar yang mengutamakan keamanan di atas kata hati, nalar yang pada akhirnya melakukan pembiaran ketimbang berupaya mengoreksi setiap kerancuan. Ini adalah nalar yang telah terformat oleh kondisi ekonomi-politik yang mengondisikan kebutuhan hidup sehari-hari mereka sebagai suatu common sense.
Maka, keheningan hari ini adalah keheningan yang disadari. Diam adalah rasionalitas dalam kondisi ketakutan yang terinternalisasi. Dan inilah bentuk baru penjajahan: bukan lagi atas tanah dan tubuh, tetapi atas cara berpikir dan merasa.
Penyanderaan Struktural Melalui Kebutuhan Ekonomi
Pada akhirnya, pertanyaan mengapa komunitas, individu, akademisi, bahkan lembaga-lembaga sosial memilih diam tidak dapat dipisahkan dari operasi struktural yang jauh lebih dalam: penaklukan melalui kebutuhan.
Dalam sistem ekonomi-politik kontemporer, kebutuhan bukanlah sesuatu yang natural, apalagi netral. Ia adalah hasil produksi, hasil konstruksi jaringan kuasa dominan. Kebutuhan akan dana, akan legitimasi institusional, akan akses terhadap sumber daya, bahkan kebutuhan akan eksistensi sosial—semuanya diproduksi, direkayasa, dan diarahkan untuk menjaga stabilitas struktur kekuasaan. Dalam medan ini, komunitas dan individu tidak lagi bergerak atas dasar nilai yang otonom. Mereka bergerak karena keterpaksaan, keterdesakan, keterjebakan—yang pada akhirnya membuat mereka menerima hal tersebut sebagai suatu kondisi yang tak dapat dihindari dan “waras”.
Mereka yang memilih bungkam, dalam banyak kasus, tidak melakukannya karena mereka tidak tahu. Mereka tahu. Mereka merasakan denyut kegilaan yang dilakukan rezim. Mereka melihat runtuhnya ekologi demi akumulasi kapital, ketimpangan sosial yang semakin hari semakin terbentang jauh, korupsi struktural yang—mengutip Taufiq Ismail—“berterang-terang susah dicari tandingan”. Tetapi dalam kondisi di mana bertahan hidup—secara ekonomi, secara sosial, secara eksistensial—bergantung pada kesediaan untuk menyesuaikan diri, diam menjadi keputusan rasional.
Kondisi ini bukan rasionalitas ideal yang dibayangkan dalam filsafat klasik. Ini adalah rasionalitas dalam medan perang. Rasionalitas orang lapar. Rasionalitas komunitas yang dituntut menandatangani MoU dengan korporasi/aktor perusak lingkungan demi sekadar membiayai program-program sosial mereka. Rasionalitas akademisi yang harus menjilat kekuasaan demi hibah penelitian. Rasionalitas LSM yang mengubah kritik menjadi konsultasi. Rasionalitas para penggerak komunitas yang mengalahkan integritas mereka sendiri agar tetap mendapat izin berkegiatan dan dana operasional sebatas untuk membeli rokok ilegal dan kopi murahan.
Di sini, pragmatisme bukan lagi pilihan, melainkan keniscayaan yang dikondisikan. Pragmatisme bukan lagi sebentuk kelicikan personal, tetapi efek struktural dari dunia yang menuntut kelangsungan hidup sebagai harga dari kepatuhan.
Ekonomi politik kapitalisme lanjut memahami ini dengan baik: bahwa dominasi paling efektif bukanlah dominasi atas tubuh, melainkan dominasi atas kebutuhan. Membuat manusia menganggur dan kelaparan, kemudian menawarkan beberapa pekerjaan kotor dengan upah tak seberapa, adalah modus penjajahan yang jauh lebih efektif daripada melalui kekerasan terang-terangan. Dalam posisi ini, si penjajah tampak seperti juru selamat. Inilah kondisi sosial-psikologis yang menciptakan samudera keheningan hari ini: bukan karena keberanian telah tanggal, tetapi penyandraan melalui kebutuhan ekonomi memiliki daya jerat yang jauh lebih kuat.
Kekuasaan sebagai Mesin Produksi Realitas
Dewasa ini, kekuasaan tak lagi bergerak dengan cara merepresi, melainkan telah bergerak lebih jauh dan lebih halus: memproduksi realitas itu sendiri. Realitas sosial bukan sesuatu yang netral. Ia merupakan hasil konstruksi “kebudayaan”: dari berita, dari laporan akademik, dari jargon-jargon bullshit para politisi, dari bahasa sehari-hari di tongkrongan. Ketika semua itu disusun oleh logika kekuasaan, maka yang kita sebut “kenyataan” bukanlah apa yang sungguh-sungguh terjadi, melainkan apa yang diizinkan untuk terjadi dalam horizon pengetahuan publik.
Kekuasaan dalam kapitalisme lanjut memahami bahwa penguasaan atas realitas adalah model paling efektif dalam mempersuasi-merekayasa kondisi sosial budaya, sebab ketika realitas itu sendiri telah diproduksi sesuai kepentingan, maka pertumbuhan ide perlawanan hanya mampu bertahan hidup sampai jadi janin dan tak sempat dilahirkan. Yang tersisa, pada akhirnya, hanyalah konsesus, atau lebih tepatnya: konsensus dalam keadaan delirium.
Melalui media, lembaga pendidikan, forum-forum diskusi, bahkan dalam laku komunitas-komunitas yang tampak kritis itu, kekuasaan memanipulasi parameter realitas: apa yang layak dibicarakan, apa yang boleh dipertanyakan, apa yang harus diterima sebagai sesuatu yang “baik”, apa yang perlu dibungkam atas nama “stabilitas”.
Di sini, pada akhirnya bukan sekadar tidak berbicara. Diam berarti menerima koordinat realitas yang telah ditentukan: Ekspansi tambang sebagai “kebutuhan pembanguan”, privatisasi sumber daya alam sebagai “rasionalisasi ekonomi”, degradasi sosial sebagai “risiko yang harus dibayar demi kemajuan”.
Mereka yang bersuara sekali pun—bila tidak menyadari jebakan ini—seringkali menjadi bagian dari orkestra semu: kritik yang direduksi menjadi seminar, perlawanan yang dijinakan menjadi proyek, jerit masyarakat miskin yang diternak melalui bansos yang disunat anggarannya. Kegelisahan yang melanda kehidupan hanya berakhir menjadi konten.
Inilah gambaran bentuk hegemoni baru, sebuah produksi realitas yang membuat dunia ini tampak berjalan normal walau kenyataannya secara perlahan ia tengah memasuki badai. Inilah mengapa berbicara tentang kebenaran hari ini menjadi begitu sukar. Karena yang kita lawan bukan hanya kekuasaan kasat mata, tetapi realitas yang telah dibentuk untuk melayani kekuasaan itu.
Baca juga:
Dalam lanskap seperti ini, mereka yang memilih diam, sering kali bahkan tidak sadar bahwa mereka sudah terkondisikan untuk diam. Mereka hidup, bekerja, berkarya dalam dunia yang telah ditentukan batas-batas cakrawala imajinasi dan sensibilitasnya. Dan dalam ruang sempit itulah—kebutuhan ekonomi, keterikatan institusional, pembentukan realitas—kebebasan mati bukan dengan ledakan besar, melainkan dengan erosi sunyi hingga terkubur di kedalaman sejarah.
Bagaimana Supaya Kita Bisa Bicara
Di tengah atmosfer penaklukan halus ini, pertanyaan kita bukan lagi sekadar “mengapa banyak yang bungkam?”, tetapi “bagaimana membebaskan kesadaran dari jerat struktur yang mendikte kebungkaman itu?”
Kesadaran yang benar-benar merdeka harus lahir dari keberanian untuk menyangsikan realitas yang dihidangkan. Bukan hanya menolak narasi-narasi dominan yang diproduksi kekuasaan, tetapi menggugat cara kekuasaan itu membentuk horizon berpikir kita. Kesadaran seperti itu tidak mungkin dibangun di atas kenyamanan pragmatis. Ia lahir dari benturan dengan ketidaknyamanan, dari pengalaman kegagalan, dari kemarahan yang tidak dikomodifikasi menjadi hiburan.
Membebaskan kesadaran berarti berani menolak kebutuhan semu yang dipaksakan oleh sistem dan direkayasa oleh elit ekonomi-politik. Berani menerima konsekuensi eksistensial: kehilangan posisi, kehilangan akses, kehilangan rasa aman. Berani hidup di dalam kekurangan, demi mempertahankan hal-hal penting yang membuat manusia tetap dapat dianggap manusia: integritas, prinsip, dan kebebasan. Seperti yang Dostoyevsky katakan—”Nothing is easier than to denounce the evildoer; nothing is more difficult than to understand him.” Lebih sulit lagi ketika si “evildoer” itu bukan hanya aktor tunggal, melainkan sebuah sistem yang menyandra kita melalui kebutuhan, melalui keinginan, melalui rasa takut.
Hari ini, pembebasan bukan hanya soal mengangkat suara. Ia adalah soal membongkar dunia semu yang membuat kita percaya bahwa diam adalah pilihan terbaik. Ia adalah soal berani melangkah keluar dari struktur kebutuhan yang membelenggu kita—meski artinya berjalan sendirian dalam dunia yang kian asing. Maka berbicara kebenaran hari ini, lebih dari sekadar keberanian moral. Ia adalah tindakan ontologis: mempertaruhkan eksistensi kita melawan realitas palsu yang dibangun untuk menjinakkan kita. Ia adalah upaya jalan keluar dari labirin delirium, keheningan yang akhirnya memilih pecah menjadi perlawanan. Karena ketika menyuarakan sesuatu berarti mengundang risiko besar, bungkam juga memiliki risikonya sendiri. “Every word has consequences. Every silence, too,” ujar Jean-Paul Sartre.
Dalam dunia yang dipenuhi represi dan pembungkaman terstruktur, setiap suara yang menolak untuk dibeli adalah tanda umat manusia masih bisa diselamatkan. (*)
Editor: Kukuh Basuki