Tubuh yang Gatal

Amina Gaylene

2 min read

Pagi kembali datang. Sekali pun ruangan ini gelap, ada seberkas cahaya matahari yang menyelinap masuk melalui celah kayu di jendela. Aku bangun dari rebah, punggungku sangat sakit. Seingatku, ini hari ke tiga aku dikurung dan tidur tanpa alas apa pun, tetapi nampaknya punggungku masih belum saja terbiasa.

Aku melakukan peregangan sedikit sambil memuku-mukul punggung dengan harap ia akan membaik. Aku pergi ke kamar mandi. Aku meraba-raba dalam remang. Aku membersihkan wajah lalu menyikat gigi.

Sebenarnya, ruangan ini adalah kamarku sendiri. Kecil, tetapi aku menatanya sebaik mungkin, karena bagiku kamar ini adalah tempat pelarian terbaik. Namun sejak kejadian tiga hari lalu, atas nasihat dari Nanang—dukun yang konon sangat sakti—ibu dan ayah mengosongkan seisi kamar, tanpa alas tidur, tanpa listrik, tanpa buku, tanpa handphone, hanya aku, sepi, dan beberapa helai baju. Pintu kamar mereka kunci dari luar lalu mereka memaku jendela dan menutupnya dengan kayu, sehingga tidak ada sedikit pun kesempatan bagiku untuk kabur.

Setiap pagi dan petang, ibu dan ayah membacakan mantra dengan cukup lantang di depan pintu, setelahnya mereka menaruh beberapa kerikil. Aku mengintip melalui lubang kunci. Aku sama sekali tak mengerti apa yang sedang mereka lakukan. Untuk apa sebenarnya kerikil itu? Benakku bertanya-tanya. Namun belakangan aku tahu, kerikil itu konon sudah diisi dengan jin baik yang akan menghalau jin jahat yang berusaha membuka pintu kamarku.

Aku diberi makan dua kali sehari, pagi dan petang. Tepat setelah mereka selesai dengan ritual depan pintu. Aku diperintahnya untuk memasuki kamar mandi, lalu ibu atau ayah akan membuka pintu dan menyimpan makanan untukku.

Aku biasanya melamun agar waktu tidak membunuhku dalam sepi, atau aku akan memutar musik dalam otak lalu menari, mempertahankan tubuhku agar tetap sadar dan tidak kaku. Tidak kupungkiri, sesekali aku pun menangis, membentur-benturkan kepala, dan mencakari tubuhku. Biasanya itu terjadi pada malam hari, saat aku tak kunjung tertidur.

Kata ibu, aku terlahir dengan tubuh yang gatal. Gatal dengan musik, gatal dengan suara gemerisik daun, deburan ombak, dan irama-irama lainnya. Gatal itu harus digaruk dengan tarian. Sedang kata ibu lagi, menari akan membuatku celaka, sehingga aku dijauhkan dari hal-hal yang membuat tubuhku gatal.

Namun ibu tak tahu, saat aku menggaruk gatal itu dengan menari, aku menemukan rasa puas dan bahagia yang amat sangat. Sehingga, aku kerap diam-diam menari di kamar. Sesekali aku bergabung dengan teman-teman yang juga memiliki ‘tubuh gatal’. Hingga tiga hari yang lalu, aku diajak pergi menyeberangi pulau. Konon di sana tersimpan segunung kesempatan untukku mempelajari tari lebih dalam.

Tanpa pikir panjang, aku terima ajakan tersebut. Namun entah bagaimana, rencanaku untuk pergi secepat itu diketahui ayah dan ibu, sehingga aku diseret paksa saat sedang menunggu bus di terminal. Beberapa teman yang berusaha membantuku mendapat pukulan di sana-sini dari orang-orang kepercayaan ayah. Aku merasa bersalah atas lebam yang kemudian muncul pada wajah dan tubuh mereka.

Kejadian itulah yang membuatku berakhir di kamar ini. Kamar yang setelah dikosongkan menjadi tempat yang tidak lagi memberi rasa aman dan nyaman. Seisi kamar ini dipaksa keluar sebagaimana aku pun dipaksa terpisah dari apa yang menjadi bagian diri.

Aku meraba dan merasakan setiap inci dari tubuhku. Semua yang terdapat dalam tubuh ini adalah prasyarat adanya aku, ia milikku, kami seharusnya saling memiliki. Lalu mengapa aku jadi tidak berhak atas apa yang kumiliki? Apa lagi nilai yang pantas untukku jika kemerdekaan atas diriku saja dicerabut begitu ganasnya?

Hari demi hari terus berlalu, kini aku tak tahu sudah berapa lama dikurung dalam ruangan ini. Yang kutahu pasti hanya datangnya pagi dan petang, karena itu bersamaan dengan ritual depan pintu lalu makanan untukku. Aku mulai kesulitan membedakan mimpi, lamunan, dan kenyataan. Aku sangat resah dengan apa yang terjadi, hingga aku memohon pada ibu dan ayah untuk mengeluarkanku.

Namun kata mereka, aku tak akan dikeluarkan hingga proses ritualnya selesai. Saat ritualnya selesai, gatal itu akan sembuh dari tubuhku, sehingga aku akan selamat dari petaka besar.

Suatu waktu, entah apa yang sedang kulakukan saat itu, ada suara ribut di balik jendela. Aku menggigil sangat ketakutan. Apakah aku berhalusinasi? Pikirku saat itu. Suara itu cukup lama, tetapi nampaknya ibu dan ayah tak menyadarinya.

Sesaat setelah suara tersebut berhenti, jendela tiba-tiba terbuka. Aku menutup wajah sambil menekuk lutut di sudut kamar. Kejadiannya begitu cepat tapi mulutku ditutup saat itu, lalu aku mendapat rangkulan yang sangat hangat, rangkulan yang kukira tak akan kudapatkan lagi di sisa hidupku.

Saat aku membuka mata, kulihat lima orang temanku datang. Mereka menjemput dan menyelamatkanku. Mereka memberi aba-aba bahwa waktu yang mereka miliki tidak banyak. Kami langsung pergi, aku sempat menengok ke belakang, mengucapkan perpisahan pada ruang gelap yang pernah menjadi rumah. Terima kasih, kuharap kita bisa berjumpa lagi dalam terang.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Amina Gaylene

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email