Ketika Konklaf memilih Jorge Mario Bergoglio sebagai Paus pada 2013 lalu, Bergoglio memilih nama Fransiskus sebagai gelar kepausannya. Dunia tahu ia tidak hanya sekadar naik ke pimpinan tertinggi umat Katolik sedunia itu saja. Nama itu bukan cuma simbol, melainkan sebuah deklarasi. Sejak ia mengabdikan dirinya sebagai Paus, Paus Fransiskus menegaskan posisi berbeda dari para penghulunya.
Sebagaimana sosok di balik namanya, Santo Fransiskus dari Asisi yang terkenal sederhana dan dekat dengan rakyat miskin, ia hadir sebagai seorang rohaniawan yang membumi. Ia berani menyambung lidah rakyat tertindas yang sejak lama menjadi kebungkaman hierarki Gereja Katolik. Hidupnya berada jauh dari gemerlap kemewahan. Sikap politisnya pun semakin berani dengan menjadi gembala rohani yang mendekatkan Gereja kepada rakyat miskin.
Baca juga:
Kini, ia telah pulang ke pelukan Bapa. 88 tahun umurnya ia abdikan kepada Kristus dan kaum miskin yang diberkati oleh kasih-Nya. Mendengar berita kematiannya membuat saya teramat sedih. Walau saya Muslim, kekaguman saya terhadap keberanian Sri Paus membela kaum miskin melarutkan saya untuk ikut takzim berduka bersama kawan-kawan Katolik sedunia.
Sebagai Muslim saya sebenarnya miris, bahwa hati saya terasa lebih dekat kepada Sang Paus daripada kebanyakan (bukan semuanya) pemuka agama Islam, terutama di Indonesia. Bukannya saya merasa semua rohaniawan Muslim kurang baik atau bilang bahwa ajaran Islam secara esensial punya masalah, tetapi saya ingin menyuarakan perlunya rohaniawan dan kaum Muslim, setidaknya di Indonesia, untuk belajar beragama dengan ikut ke pinggir bersama rakyat tertindas.
Sang Paus dan Rakyat Tertindas
Kita tak dapat menyangkal bahwa Paus Fransiskus berbeda dengan paus-paus lainnya. Ia punya komitmen yang kuat atas keadilan sosial dan dekat dengan kaum miskin. Dalam Evangelii Gaudium, ia mengkritik sistem ekonomi global yang menciptakan kesenjangan ekstrim antara si kaya dan si miskin. Baginya, kapitalisme adalah bentuk baru penyembahan berhala dengan manusia sebagai pesakitan yang dikorbankan demi akumulasi kekayaan. Karenanya, ia menyerukan agar Gereja menjadi “miskin untuk orang miskin” dan bukan sekadar rumah Kristus yang jauh dari derita umat.
Sri Paus membuka Vatikan untuk pengungsi Suriah. Ia menyuarakan perdamaian di Gaza. Ia menyebut homoseksual sebagai anak-anak Tuhan yang layak dicintai. Ia mencium kaki para pemimpin Sudan Selatan demi perdamaian. Bayangkan jika para pemuka agama kita memiliki keberanian seperti itu.
Belajar Hablum Minannas dari Sri Paus
Walau tak punya komitmen terhadap ideologi tertentu, posisinya mengandung semangat Teologi Pembebasan (Liberation Theology). Teologi ini lahir di Amerika Latin, tempat Paus Fransiskus dibesarkan. Dalam Islam, spirit teologi ini juga menggema dalam cara-cara bergama yang menempatkan keadilan sosial di atas kekakuan doktrin yang tak jarang jadi alat penindasan dan pembenaran atas kekuasaan.
Spirit keadilan sosial mensyaratkan umat Muslim agar tidak hanya fokus pada urusan hablum minallah (hubungan seorang muslim dengan Allah) saja, tetapi juga hablum minannas (hubungan seorang muslim dengan sesama manusia). Semangat hablum minannas inilah yang belum menjadi pilar kuat yang menyangga praktik keagamaan umat Islam di Indonesia.
Sering saya menghadiri khutbah Jum’at dan mendengarkan ceramah para rohaniawan dengan topik syariat dan akidah yang terlalu fokus pada religiusitas individu untuk mencapai surga. Praktik beragama direduksi hanya soal beribadah untuk mengumpulkan pahala tanpa melirik penindasan yang masih terus terjadi.
Dalam syiar Islam arus utama, saya jarang mendengar seruan untuk membela si miskin dari penghisapan oleh sang kaya dan bertanya mengapa si miskin akan selalu miskin. Paling-paling, ajaran hablum minannas direduksi jadi hubungan privat belaka, seperti relasi suami-istri, orang tua-anak, dan etika-etika sosial yang apolitis – jauh dari realitas ketidakadilan yang terjadi. Ironisnya, ada ustaz datang ke pengajian dengan mobil mewah, lalu mengajak jamaah bertawakal dalam kemiskinan dan rajin beramal agar menjadi kaya seperti dirinya.
Padahal, Asghar Ali Engineer dalam Islam and Liberation Theology mengingatkan bahwa Nabi Muhammad sendiri adalah seorang revolusioner yang membebaskan rakyat tertindas dari masyarakat jahiliyah. Contoh lakunya menunjukkan bahwa hablum minannas bukan cuma soal menjaga harmoni sesama manusia, tetapi juga berjuang melawan ketidakadilan. Karenanya, hablum minannas juga bersifat politis.
Baca juga:
Memang, solidaritas yang kuat atas ketidakadilan umat Islam Indonesia sudah terbangun dalam membela sesama umat Islam yang ditindas, seperti Muslim di Gaza yang berjuang menghadapi genosida. Tanpa bermaksud mengecilkan perjuangan yang mulia ini, sikap politis itu masih ekslusif terhadap penindasan yang spesifik berkaitan dengan identitas Muslim, tetapi masih buta terhadap bentuk-bentuk penindasan sehari-hari yang dialami sesama rakyat Indonesia.
Solidaritas yang pilih-pilih ini terlihat jelas dalam demonstrasi anti-Ahok pada 2016 lalu. Elemen-elemen muslim lebih mudah tersulut oleh potongan video viral Ahok – yang telah dipotong dan menyebabkan misinformasi – menghina surat Al-Maidah ayat 51, tetapi sunyi ketika Ahok menggusur secara sewenang-wenang pemukiman warga Jakarta jauh-jauh hari sebelum video viral itu.
Memang benar aksi massa yang masif itu menunjukkan bagaimana politik Islam dapat menjadi kekuatan besar untuk menantang status quo, tetapi melihat sebab mereka menjatuhkan Ahok masih jauh dari hablum minannas yang universal; dasar pertentangan mereka dengan Ahok tersulut hanya ketika ada yang menyenggol identitas keislaman mereka, dan patut disayangkan gerakan politik itu diwarnai dengan rasisme terhadap identitas tionghoa Ahok.
Padahal, Muhammad tak harus menunggu keislamannya diusik untuk membela keadilan. Pun, beliau tak memakai rasisme sebagai bahan bakar perjuangannya yang mulia. Spirit Nabi Muhammad itulah yang juga tercermin dalam diri Paus Fransiskus. Mereka menyiarkan agama yang peka terhadap ketidakadilan tanpa mensyaratkan identitas keagamaan sebagai pemicu aksi konkret.
Karenanya, cerminan itu harus menjadi spirit yang tertasbihkan kepada setiap pemuka agama dan umat muslim. Menggeser semangat dakwah dari yang terlalu menekankan aspek hablum minallah kepada hablum minannas penting untuk mewujudkan Islam sebagai agama yang universal dan menjadi rumah bagi rakyat tertindas. Walaupun begitu, bukan berarti aspek hablum minallah ini jadi tidak penting. Ia tetap penting, tetapi penekanan berlebihan kepadanya menciptakan umat dengan religiusitas egois yang lupa pada perintah Allah agar hamba-Nya juga ikut melawan penindasan.
Pun, dalam politik, kita harus melandaskan politik Islam ke ranah yang universal dan inklusif dengan melayani siapapun yang tertindas, tetapi tetap mengenakan jubah Islam sebagai pedoman dan semangat di balik perjuangan membela keadilan itu. Mendekatkan praktik beragama kepada rakyat tertindas dan membangun politik Islam yang universal adalah teladan yang dapat dipetik dari Paus Fransiskus kepada umat Muslim di Indonesia.
Penutup
Saya pun mengakui bahwa Paus Fransiskus bukanlah sosok yang sempurna. Kritik pun tak jarang menyerangnya juga. Namun, langkah-langkah Paus dalam mengajak umat Katolik menjadi penggembala yang selalu ada untuk kaum miskin dan melawan segala bentuk penindasan tentu begitu penting dalam membangun kembali trajektori agama Katolik yang lebih inklusif.
Islam pun juga sama. Kita tak dapat menyangkal bahwa rohaniawan dan umat Muslim di Indonesia cenderung belum memiliki kesadaran yang kuat dalam mengintegrasikan praktik beragama yang membela rakyat tertindas dan membangun politik Islam yang universal. Tauhid bukan sekadar soal mengesakan Tuhan, tetapi juga soal menghapus eksploitasi, diskriminasi, dan ketimpangan sosial.
Di tengah banyak umat muslim yang terlalu bersetia pada akhirat, legasi Paus Fransiskus yang beragama dengan kaki berdebu menjadi pelajaran yang harus direnungkan oleh muslim di Indonesia saat ini.
Requiescat in pace, Paus Fransiskus.
Editor: Kukuh Basuki
jawara88
15. Don’t wait for extraordinary opportunities. Seize common occasions and make them great. – Orison Swett Marden (Jangan menunggu kesempatan luar biasa. Manfaatkan kesempatan biasa dan jadikan mereka luar biasa).