Sebab Kenangan dan Puisi Lainnya

Ahmad Rizki

2 min read

Kangen
: buat Mutia

hidangan belum matang.
bibirku retak di antara serbet plastik
dan suara lelaki yang
tak kunjung turun alkimia.

aku menyimpan marah dalam saku jaket
bercampur namaMu
yang kutulis di tiket sobek, dan
pulau Jawa berjalan di tumitku
membawa sepasang sandal yang patah.

aku berbicara pada garpu
dan kata kerja masa lampau
menyulam rinduku di kursi kereta.
obrolan belum jadi bunyi
peluit kondektur
dan bintik hujan di jendela
masih belum berwarna.

anak-anak mengejar layang-layang
di jalan tol
ibu-ibu menggulung
tubuh dalam nasi sisa semalam
lelaki tua memeluk tanah
menggumamkan kamu
sebagai musim yang belum tiba.

bulan merah tergantung di rambutku.
aku ingin menjaganya dari ludah remaja
yang menjual cinta di status dunia
dan menertawakan puisi tentang peluk
dan ciuman yang tidak sempat takluk.

hidangan hampir matang.
aku menunggu tanganmu
yang belum menggenggam
pundakku seperti pagi yang bersih
tapi kini, dada ini
gemetar. belingsatan.
karena kamu belum juga di sini.

(2025)

Sebab Kenangan

waktu menggigil dalam takdir bulan
di kelopak sajak yang belum
sempat kita bacakan.
ia datang tanpa jubah
hanya membawa sepotong napas
yang pernah jatuh di lehermu.

ciuman itu seperti nubuat yang keliru
terselip di sela lidah yang mencela
adegan dada dan daun-daunan itu.
luka keemasan menunduk di tepi kali
mendengar batu-batu berkhotbah
tentang mukjizat yang tak akan kembali
dan suara dedaunan yang
belum berani mengucap amin.

sepaket masa lalu menggelinjang
di permukaan air yang tak jernih
dan, aroma tubuh yang terbalut
keraguan, pelukan yang bermetrum
kebencian, takut menyentuh
cahaya keberuntungan
yang mungkin adalah dosa
dan doa dari tangan yang
tak jadi saling membuka.

dan apakah ini kenangan?
atau sekadar bayangan
yang disimpan pohon nangka—
yang pernah melihat tubuh kita menyatu
tapi memilih diam seperti kitab yang tertutup.

nyamuk menggema seperti doa takut
mengitari pinggang malam
dan udara menyusup perlahan ke dada
seolah mencari rumah di rongga yang penuh puing.

di tubuhmu, kamar-kamar terbuka
mata menatap ke langit-langit
tempat liur menunggu
seperti puisi yang belum diucap.

burung hantu di cabang tertinggi
menatap segala yang gugup—
ciuman, napas, keraguan
dan lidah yang tergelincir
dari puisi yang seharusnya lembut

aku mendengar tubuhmu
seperti dengar nyanyian jauh
tentang rumah yang dulu kita kutuk
karena terlalu tenang
terlalu mirip keagungan:
diam
dan abadi

(2025)

Dalam Kangen

tapi ketika kautemukan bibir makrifat
belum selesai mencium bulan perak
kenangan telah menghancurkan
rumahnya sendiri dan
jeritan melandai-landai
di penghujung rima Asmarandana
yang terlupakan seperti batu delima
atau gerombolan metrum
yang merobek bibir makrifat
tampak berkeliaran
di celah gincu coklat, dan
iman yang sesat
membusukkan hati
dan membekukan puisi

tidak ada hari ini tanpa tulang
belulang dari bendera kematian
itu, sebelum bibir makrifat, telah
menelan bulan perak yang
meringkuk kepanasan
menggelinjang di langit yang terpotong
tanpa metafora, tanpa kasih
dan usia berkarat dalam
nafas hujan yang memar
limbung, tanpa arah, sekarat

yang menggumpal dari kenangan keropos
adalah usaha menyirami pori-pori
setiap matahari yang mati
menembus tanah yang telah terlupakan
tanpa petunjuk, tanpa jawaban.

tapi ketika kutemukan bibir makrifat
belum mengubah niat dan tekad
kenangan telah melampaui batas
menyeret waktu ke kegelapan yang berputar
berteriak, menghantamkan dirinya
seperti irama yang meledak
menyalakan kebekuan
dengan api yang terkubur.

(2025)

Mungkin Kangen Harus Ditelan

pada butiran gula
yang bergidik di lidah pagi
kunyahlah ia perlahan
seperti perut yang menyimpan doa
dalam kantong empedunya

setiap rasa adalah juru masak kenangan

ia meracik masa lalu dengan rempah air mata
dan menyajikannya dalam piring waktu
yang retak di atas dada kita

kau tahu, rindu bisa digoreng
dengan minyak dendam
dan disajikan mentah pada
tenggorokan yang gagal bicara

aku pernah memanggang namamu
di tungku lambungku
sampai darahku menyebutmu
dalam bahasa yang hanya
dikenali oleh usus buntu
yang terlalu sepi untuk berfungsi.

pada ayat-ayat yang mengental seperti karamel
aku mencatat tanggal jatuhnya pelukmu
namun jam di hatiku hanya berdetak
ketika digigit oleh kecewa

tulang-tulang ini pernah membuat sup
dari harapan yang direndam semalaman
dalam keringat dan kabut

dan kau meminum kaldu yang mengandung
semua metafora yang tak jadi kita ucapkan

kunyahlah manis itu!
sebelum gigi-gigi kita patah
oleh rasa yang terlalu kenyal untuk dijelaskan

sebab cinta
selalu menyelip di antara gusi dan niat

dan bila tubuh ini adalah meja makan
maka kau adalah sendok yang hilang
sementara puisi ini
tulang ayam yang dikerat waktu
dengan pisau bernama jarak

mungkin rindu sekadar
roti gosong yang tetap kita kunyah
meski lidah menjerit-pait
karena kita terlalu malu untuk memuntahkan
kenangan yang sudah telanjur kita kunyah
sampai ke sumsum

mungkin butiran gula
yang bergidik di lidah pagi
telah berkongsi dengan puisi
setelah santapan mencoba
percaya sesuatu yang luar biasa:

maka telan semua
sebisanya

(2025)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Ahmad Rizki

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email