Mau Dibawa Ke Mana Cerita Ini, Murakami?

Fahma Ainurrizka

4 min read

Tidak ada kalimat yang sempurna. Sama seperti tidak ada keputusasaan yang sempurna. –Murakami, dalam Dengarlah Nyanyian Angin

Bermula dari Aku, tokoh tanpa nama, yang menganggap menulis merupakan percobaan-percobaan kecil sebagai upaya menyembuhkan diri. Menurutnya, membubuhkan makna pada semua kalimat terasa lebih mudah jika dibandingkan dengan kesulitan hidup. Ia terobsesi dengan Derek Heartfield—tokoh rekaan Murakami yang melulu dibahas nyaris setengah dari total halaman novel—seorang pengarang hebat yang selama ini tokoh Aku agung-agungkan karena suatu ironi; kalimat-kalimat dalam karya Heartfield sulit dipahami, plotnya berantakan, dan temanya kekanak-kanakan. Heartfield bunuh diri pada Juni 1938 setelah loncat dari puncak Empire State Building, sambil mendekap lukisan Hitler di tangan kanan dan payung terbuka di tangan kiri.

Membaca Dengarlah Nyanyian Angin terasa seperti mendengarkan seseorang bercerita tentang kisah hidupnya secara acak pukul tiga pagi (kalau tidak ingin dibilang sebagai racauan). Hal itu terjadi secara berulang selama delapan-belas hari. Dimulai pada 8 Agustus 1970 dan berakhir pada 26 Agustus di tahun yang sama. Pertama, ia akan bercerita tentang kelesuan dan keputusasaannya terhadap hobi menulis yang berusaha ia rawat, sebab ia merasa tidak mampu bercerita banyak. Usai menguap dan menahan kantuk, ia akan mulai melantur tentang pengarang Heartfield yang menurut tokoh Aku setara dengan Hemingway dan Fitzgerald.

Kemudian, di tengah kepulan asap rokok dan perasaan mendung, ia akan menceritakan pertemuannya dengan tokoh Nezumi pada musim semi. Nezumi adalah sahabat tokoh Aku yang gemar merutuki orang kaya, karena baginya mereka tidak perlu berpikir. Mengutip dari perkataan tokoh Nezumi:

“Untuk menjadi kaya, orang memang perlu memakai otaknya sedikit, tapi untuk terus menjadi kaya, orang tidak memerlukan apapun … Mereka cukup berputar-putar di tempat yang sama. Tapi aku tidak seperti itu, kau juga. Kita harus terus berpikir untuk dapat hidup. Mulai dari memikirkan cuaca besok sampai ukuran sumbat lubang air di bak mandi.”

Perempuan, Musik, dan Isu Psikologis

Murakami kerap mendeskripsikan dan menceritakan perempuan dalam cara yang—kalau tidak bisa dibilang berlebihan—agak menyebalkan. Akan selalu berakhir seperti ini: tokoh laki-laki (kadang bernama, kadang tak bernama) berhasil meniduri 2878978 perempuan yang ditemuinya di bar, di stasiun bawah tanah, di toko barang bekas, di jalan ketika pulang bekerja atau latar aneh lain yang memungkinkan mempertemukan keduanya—dalam cara yang tidak masuk akal sekalipun. Kemudian, tokoh perempuan tersebut akan dikaitkan, diidentikkan, atau berhasil mengingatkan tokoh laki-laki pada sebuah lagu jazz lawas.

Dalam Dengarlah Nyanyian Angin, lagu California Girls milik Beach Boys menjadi lagu yang paling sering disebut, karena pembahasan tentangnya cukup solid. Alasannya: seorang perempuan di masa SMA pernah meminjamkan piringan hitam California Girls, Beach Boys kepada tokoh Aku. Pencarian piringan hitam ini akan mempertemukan tokoh Aku pada gadis dengan tangan kiri berjari empat yang pernah ia tolong di Jay’s Bar karena pingsan usai mabuk hebat.

Isu kesehatan mental tidak luput dari perbincangan Murakami. Mulai dari kasus bunuh diri, berita kematian, hingga kondisi psikis tokoh Aku semasa kecil sebagai orang yang pendiam sehingga mendorong orangtuanya untuk membawanya ke psikiater. Cerita mengalir dari sang psikiater; ia  memulainya dengan wejangan bahwa peradaban adalah informasi dan apabila seseorang tidak bisa mengekspresikan sesuatu, berarti sesuatu itu tidak pernah ada.

Antiklimaks dan Minim Konflik

Tokoh Aku terlihat misterius dan kadang tampak pesimis, melankolis, dan nyeleneh. Ia tidak banyak bereaksi terhadap apa pun; sulit memahami perasaan sedih, kecewa, senang, gelisah, cemas tokoh Aku. Ia terlihat bebas dari segala keharusan, keinginan, cita-cita, impian, dan ekspektasi. Rasanya seperti melihat orang yang tidak mempersoalkan ketidakpastian dan ia hanya hidup untuk hari itu, sedangkan hari setelahnya bukan menjadi tanggungannya.

Kita dapat melihat pada awal pertemuan tokoh Aku dan tokoh Nezumi. Suatu ketika, mereka mengendarai Fiat 600 hitam dalam keadaan mabuk berat sehingga mobil yang mereka tumpangi menerobos pagar taman, melindas bunga azalea, dan menabrak pilar batu. Alih-alih menjerit panik dan kelimpungan, keduanya memilih merayap naik ke atap mobil, duduk berdampingan, kemudian mendongak menatap langit, dan mengisap beberapa batang rokok tanpa berkata apa-apa. Kemudian, seperti tak terjadi hal yang penting atau sesuatu yang mendesak mereka untuk menonjok diri sendiri, keduanya memilih minum setengah lusin kaleng bir, berjalan ke laut, tidur-tiduran di atas hamparan pasir sambil memandangi laut. Mungkin hal yang dapat merangkum ini semua adalah: sesuatu menyebalkan terjadi, dan kita tidak bisa berbuat sesuatu untuk itu, tetapi itu bukanlah masalah.

Pada akhirnya memang tidak ada kejelasan plot dan tidak ada jawaban untuk pertanyaan “mau dibawa ke mana cerita ini?”

Murakami menuliskan hal-hal yang semestinya sentimental menjadi sesuatu tanpa reaksi emosional. Hal itu terjadi pula saat tokoh Aku mengencani seorang mahasiswa jurusan Sastra Prancis yang ia kenal di perpustakaan kampus. Nahasnya, pada suatu musim semi, perempuan tersebut mati gantung diri di dalam hutan kecil di samping lapangan tenis; tidak ada satu pun yang menemukan mayatnya sampai dua minggu setelahnya. Tokoh Aku mendeskripsikan hal-hal sentimental sama seperti membeberkan fakta; semisal kita dihadapkan secara langsung dengan tokoh Aku mungkin ia akan bicara secara lempeng, tanpa menambahkan sodoran opini atau omong kosong tentang firasat.

Tidak ada konflik berarti yang menimpa tokoh penggerak. Tiap pertikaian atau pun gejolak yang datang, selalu direspon sebagaimana adanya. Seakan-akan Dengarlah Nyanyian Angin memang tidak untuk dipahami secara muluk-muluk, tetapi kita hanya diminta untuk menyatu dalam penuturan dan atmosfer cerita.

Perasaan Kosong dan Terasing

Hal yang paling saya suka dari Murakami adalah gaya penulisannya. Selalu muncul atmosfer “kosong” dan perasaan “terasing” ketika membacanya. Murakami dengan apik kerap mengasosiasikan sesuatu secara unik. Seperti ketika ia ingin menggarisbawahi bahwa pada saat tertentu, kondisi semua orang sama saja:

“Sama seperti ketika kita naik pesawat rusak. Tentu saja di situ ada orang yang bernasib baik dan bernasib buruk. Ada yang tangguh, ada juga yang lemah; ada yang kaya, ada pula yang miskin. Hanya saja, tidak ada orang yang memiliki kekuatan yang jauh lebih besar daripada orang lain. Semua orang sama. Orang yang memiliki sesuatu selalu khawatir, jangan-jangan apa yang dia miliki sekarang akan hilang, sedangkan orang yang tidak memiliki apa-apa selalu cemas, jangan-jangan selamanya aku akan tetap menjadi orang yang tidak punya apa-apa. Semua orang sama!”

Tidak ada sesuatu yang bisa dikatakan spesial dalam penceritaan tokoh Aku (atau mungkin hal ini justru yang membuat ia spesial). Ia bukanlah sosok yang gampang dicintai, bukanlah sosok penuh kejutan, ataupun sosok yang membuat seseorang menoleh dua kali hanya untuk membuat percakapan basa-basi. Secara singkat, ia orang biasa.

Hal biasa itulah yang membuat tuturan tokoh Aku terasa nyata, manusiawi, dan menyiratkan bahwa terkadang hari-hari berjalan dengan membosankan, stagnan, tanpa ada lonjakan, tanpa ada sesuatu untuk digapai ataupun target-target semu. Sebab, terkadang kita harus menerima bahwa adakalanya beberapa hari dalam setahun hanya dipenuhi oleh percakapan tidak penting atau rentetan omong kosong.

Adakah Keputusasaan yang Sempurna?

Dengarlah Nyanyian Angin tidak memberikan kejelasan pada ceritanya; terasa seperti nukilan kisah di masa lalu dan seseorang mencoba membuat dongengnya di masa depan. Mungkin, hal itulah yang coba tokoh Aku bicarakan di paragraf pembuka—atau secara tidak langsung ia berusaha meminta maaf, sebab tokoh Aku merasa putus asa tiap kali menulis karena ketidakmampuannya bercerita banyak. Mengutip tuturannya: karena ruang lingkup yang bisa kutulis sangat terbatas. Setidaknya, kata-kata tersebut tidak mengantarkan tokoh Aku pada akhir tragis atau mengambang. Sebab, pada akhirnya, layaknya penggalan hidup manusia lain: ia hanyalah laki-laki berusia 29 tahun yang telah menikah kemudian tinggal di Tokyo.

Serupa dengan tidak ada kalimat yang sempurna, tidak ada pula keputusasaan yang sempurna. Di antara keputusasaan tersebut, tokoh Aku pada akhirnya menemukan dirinya terselamatkan dan menutup kisahnya dengan mengunjungi makam Heartfield. Ia merapalkan perkataan Heartfield dalam harap:

Dibandingkan dengan alam semesta yang jelimet, dunia kita ini hanya seperti otak cacing.”

***

Editor: Ghufroni An’ars

Fahma Ainurrizka

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email