Mendengarkan Coldplay di Liquisa
Di Liquisa
ketukan semi pelan
juga lanskap ungu
lagu Violet Hill
mengingatkanmu pada
Desember silam–yang jauh
dan kelam.
Ada warna merah
di angka ke-7–
Seroja! Ini Seroja!
Dari langit
bukan hujan, Sayangku
tetapi peluru, berhunjaman
(hampir) tanpa jeda.
Ketika itu
bulan Desember
yang panjang dan gelap,
dari atas atap kuingat,
turun salju, salju putih–
tetapi tak mungkin itu salju
sebab kita
di Liquisa, Sayangku.
Barangkali maut
telah turun seputih kertas;
selembut awan;
dan jadi pungkas
yang membekukan.
Di Liquisa
dalam kelenaan
lantaran ketukan semi pelan,
kau mengingat dengan lengkap:
para pendeta mendekap Alkitab
hollowed out
to fit
their rifles–
and a Cross
held aloft.
(Yogya, 2022)
–
Variasi Sketsa Kekalahan
: Mataram, 1894
Kau
mendaratkan lutut,
mengadu
(seperti
daun layu).
Kau
telah berjalan
dari sangkar
ke sangkar
muslihat
dan penaklukan.
Kau
akhirnya menemukan
yang terbakar
di Mataram–
tetapi api itu
telah jadi panas abadi
sampai kini
dalam waran,
dalam ingatan.
(Praya-Yogya, 2022)
–
Praya, di Antara Ribuan Pasang Mata
: 1891-1895
“Tetapi di Praya,
kuda-kuda sesisa
patahan batang ketela
tak lekas tumbang jua,”
katamu pada pagi
yang (hampir) pekat itu.
Kau tahu, ke Mataram
orang-orang telah pulang
dari penyerangan–
seperti arus Sungai
Meninting yang melemah.
Maka
pelan-pelan kau pun mulai
mendengarkan sisa
dari pengepungan
dan pembelotan:
“Hampir!
Hampir berakhir!”
Demikian ketakutan
berbisik sesekali
di sela
ruas-ruas rusuk
sebelah kiri.
“Khianat dan pembelotan
bagi sejarah kami
setamsil garam di pendidihan
masakan koki
paling sakti!”
pungkasmu dalam lisan
di lingkup nasib
yang lunas pedis-panas.
(Praya-Yogya, 2022)
–
Sungai di Jemarimu
: Hangganararas
Masih kurasakan
arus sungai kecil
perlahan menderas
di ruas jari-
jemarimu.
Ke situlah aku
menyelinap dan berdiam
dalam keranjingan:
ulang-alik berenang;
lalu serupa kerikil tenggelam
aku mencipta riak
pada lemparan pertama, kedua,
dan seterusnya–
dan dalam kejut tubuhmu
arus makin menderas,
aku selamanya semayam,
terbenam
di kedalaman.
(Yogya, 2022)
–
Ketukan di Luar Pintu Kaca
: Hangganararas
Masih kedengaran jelas
sayup derit sendi dari buku
jari-jemarimu.
Gerimis jatuh
dan tumbuh jadi hujan–
kafe yang kita singgahi
menutup pintu hingga
basah dari cakrawala
selesai pada senja.
Hanya sisa sepi
pada tatapan kita–
di luar pintu kaca
rentetan ketukan tiba
lantaran pertanyan
dari hari-hari depan.
Di sakuku,
cuma tersisa sekumal kertas–
cuma secarik; mungkin muat
sahaja selarik rencana.
(Yogya, 2022)
*****
Editor: Moch Aldy MA