Membicarakan seks dalam kehidupan sehari-hari di negeri kita sangatlah tricky. Masih sangat lekat konotasi jorok bagi mereka yang dengan terang-terangan mendiskusikan seks; terlepas mereka benar-benar membahasnya secara ilmiah ataupun sekadar menggunakannya sebagai guyonan cabul. Asalkan ada kata kunci seks, penis, vagina, ejakulasi, orgasme, dan sebangasanya, maka pembicaraan itu dianggap tidak layak dan amoral. Oleh sebab itulah diskusi tentang seks seringkali absen dalam lingkungan sosial kita.
Selain kondisi moral yang mengikat dan serba membatasi, ada juga hal yang sangat urgen dalam pembicaraan seks itu, tetapi kondisinya sangat-sangat langka. Yaps, literatur seks. Dari sedikit artikel yang membahas seks, sebagian besar diisi oleh tulisan ilmiah dan laporan-laporan penelitian. Jenis tulisan seperti itu sangat kecil kemungkinan terjamah oleh masyarakat awam atau non akademik. Bacaan populer berkualitas yang membahas seksualitas masih sangat-sangat langka.
Dari sedikit buku populer yang muncul di permukaan, nama Ester Pandiangan menjadi penting. Ada dua hal yang membuatnya menjadi begitu. Pertama, Ester adalah seorang perempuan. Tulisan Ester menjadi sumbangsih untuk semakin mengikis wacana seks yang sangat didominasi laki-laki. Kedua, dan menurut saya ini sangat substansial, Ester membahas seks dari sudut pandang positif.
Baca juga:
Di buku yang keempat, Seks Kita Memang Perlu Dibantu (2024) terbitan Warning Books ini, Ester masih konsisten dengan pendekatannya terhadap seks yang penuh kegembiraan. Gaya penulisannya semarak, renyah, dan asyik. Ester berhasil lepas dari jebakan khotbah moral tentang seks seperti yang terjadi pada sebagian besar penulis yang terjun dalam tema tersebut.
Walaupun buku ini ditulis dengan gaya ringan, Ester bisa memberikan bobot maksimal pada esai-esainya. Dalam Memang Berapa Sih Harga Kondom?, Ester mengulas tentang fenomena unik, yakni malasnya orang menggunakan kondom di negeri ini. Entah malu saat membeli atau alasan berkurangnya kenikmatan dalam bercinta sepertinya menjadi pembenaran untuk ngeseks tanpa alat kontrasepsi. Hal itu tentunya menjadi masalah besar ketika angka kehamilan di usia sekolah di negara kita masih sangat tinggi, pun begitu pula dengan kasus penyebaran penyakit menular seksual yang belum juga menandakan angka penurunan. Hal yang sangat ironis tatkala harga kondom relatif murah, bahkan bisa didapat gratis, dan keberadaannya semakin mudah dijangkau.
“Kenapa sih orang-orang nggak mau pakai kondom? Memang berapa sih harga kondom? Apa sebelas dua belas dengan harga tanah di Yogya?” (Halaman 41)
Ester juga menelisik pernyataan-pernyataan yang dianggap benar tentang seks dengan jiwa yang penuh penasaran. Salah satu yang membuatnya penasaran adalah apakah benar laki-laki memberikan uang, perempuan memberikan seks? Pertanyaan itu merangsangnya untuk membuat sebuah tulisan dengan judul yang menggelitik Modal KFC Dapat Threesome. Dalam artikel ini, Ester menceritakan pengalaman temannya yang gagal meraih ekspektasi seksualnya yang fantastis. Alih-alih dapat kesempatan threesome, dia malah tekor karena terjebak mentraktir banyak orang di bar.
Begitu pula dalam artikelnya yang berjudul Rebound Sex: Obat Patah Hati?. Judul yang sudah mengandung pertanyaan tersebut mencoba menguak fenomena hubungan seks sebagai obat kegagalan dalam percintaan. Hal yang menarik dari artikel ini adalah penulis mengulasnya dengan film (Uncoupled) dan lagu (Glimpse of Us). Dengan pendekatan produk artistik tersebut, Ester menyelipkan pesan bahwa risiko terkena penyakit menular seksual tidak sebanding dengan kenikmatan sesaat yang didapatkan dari aktivitas seks yang penuh pelampiasan tersebut. Sebuah pilihan cara yang cerdik sehingga menghindarkan Ester dari bentuk tulisan petuah yang berkesan menggurui.
Satu judul provokatif lainnya yang penting untuk disimak adalah Ngewe Digital. Artikel ini sangat menarik karena mencoba membaca fenomena perkembangan perilaku seksual manusia berkat pesatnya perkembangan teknologi informasi. Komunikasi digital dengan berbagai rupanya membawa konsekuensi semakin cairnya perilaku seksual sehingga menembus batas-batas konvensional yang belum pernah terjadi pada era-era sebelumnya.
Salah satu ekses dari berkembangnya internet adalah semakin mudahnya kita dalam mencari pasangan bercinta. Media sosial seperti Instagram, Facebook, dan X juga memungkinkan kita memilih jenis perkencanan atau ragam seksual apa yang kita inginkan. Hal itu membuat pilihan seks kita menjadi seolah tak terbatas. Kemudahan dan pergeseran norma ini juga membawa konsekuensi yang problematis. Keterburu-buruan dalam mengambil keputusan membuat pertimbangan-pertimbangan rasional terabaikan.
“Seringkali terjadi, kita sebenarnya belum tahu apa yang kita cari dari hubungan seks sehingga tersesat di labirin emosi sendiri. Sehingga, ketika akhirnya eksekusi seks terjadi, kita terlambat menyadari kalau bukan itu yang kita butuhkan.” (Halaman 54)
Seks Kita Memang Perlu Dibantu sendiri diambil dari judul artikel dalam buku setebal 207 halaman ini. Pemilihan judul buku ini bukan semata-mata karena menarik secara fonetik ataupun imajinatif, melainkan karena artikel ini mempunyai kedalaman pembahasan sekaligus bisa menjadi benang merah dari keseluruhan artikel dalam buku ini.
Baca juga:
Alat bantu seks selalu muncul dalam kehidupan manusia dari waktu ke waktu. Pergantian era dan perkembangan zaman juga semakin menambah varian alat bantu seks untuk menghadirkan sensasi yang belum pernah ada atau setidaknya sulit direalisasikan di era sebelumnya. Munculnya vibrator elektrik dengan berbagai varian bentuk, pembersih anus, dan juga terciptanya lingerie dengan berbagai bentuknya seperti memberi sinyal bahwa manusia, apa pun keadaannya, selalu membutuhkan alat bantu seks untuk mencapai puncak kenikmatan yang paling imajinatif.
Inilah buku ringan yang cocok digunakan sebagai alat bantu kita dalam memahami problematika dan kompleksitas seks di era kontemporer. Alat bantu yang harus selalu ada agar perbincangan seks kita tidak kaku, akademik, dan ndakik-ndakik hanya karena untuk menghindari stigma dan prasangka. Untuk kesekian kalinya, Ester berhasil dengan mulus menyisipkan literatur seks di rak-rak toko buku yang mudah dijangkau masyarakat.
Editor: Emma Amelia