Bising Jalanan
Motor-motor itulah pikiranku yang tidak
berhenti meski lampu sedang merah. Jalan kelabu berlubang itulah lidahku yang rusak parah,
bernanah karena bara
apinya melumat-menjilat, sementara
ya, aku pendam semuanya hingga tubuhku
meledak dan kepingannya disajikan sebagai
makanan ringan di warung-warung kopi pinggir jalan.
Bising suara tak mengenyahkan
kesepianku dan knalpot-knalpot berisik itulah
suara-suara dari dalam kepala. Semua orang
membencinya, begitu juga aku. Besok
kita berkendara. Besok kita mengembara.
Apa bedanya? Jalan pulang tak pernah tetap.
Tersesat sudah setiap hari. Rumah mahal
tak terbeli dan senyumnya terbit satu purnama sekali.
Seandainya kubisa hidup ganjil-genap. Ganjil
kutidur, genap kuhidup. Ganjil kuhidup, genap
kutidur. Apapun, asal tidak harus selalu
menapaki aspal panas di bawah terik
matahari, sendiri, atau tidur di trotoar yang
keras sekali, sepi. Apapun itu asal tidak ada
kembang api yang meledak dalam kepalaku meskipun belum tahun baru.
–
Kue Bolu
Ingatkah kau saat kaumemanggang
kue bersama Ibumu?
Kepadanya kaubilang,
terima kasih telah melahirkan
pelawak terbaik yang mengisi
hari-hariku dengan tawa.
Ibumu tersenyum dan di sampingnya,
sambil memegangi bolu,
kautersipu.
Katamu, perasaanmu selembut kue bolu
dan sesegar perisa lemon kue itu.
Dan, ya, akulah piring yang kemudian kosong
ketika habis kue itu dan akulah
yang kaubanting pecah saat tak bersisa
lagi rasa itu. Remah-remah di meja ialah
kenangan manis yang disemuti,
yang berserakan tanpa arti.
Kautatap Ibumu kini dan kukatakan padanya,
“Mungkin sebaiknya ia menjadi koki
yang pandai memasak
berbagai hidangan dengan beragam rasa.
Tawa memang menyenangkan,
tapi tak mengenyangkan,” lalu tersenyum
dan pergi dari rumahmu.
Hari ini, aku menyantap
leluconmu yang basi,
yang kuambil dari dalam kulkas
sambil meminum air yang
menetes dari langit-langit mata,
dan gelas yang kaulukis dua tahun lalu
retak dalam genggaman.
Tisu-tisu basah sejak dalam kemasan,
adakah merembes kesedihanku
ke dalamnya?
–
Pasar Ayah
Hari ini perilisan keluarga baru.
Orang-orang berbondong-bondong mengantre demi mendapatkan keluarga idaman mereka. Ramai sekali, sampai rasanya dunia tidak cukup luas untuk menampung mereka. Tetapi, mereka tahu diri. Tiada tempat di dunia bagi mereka yang tak punya keluarga. Itu sebabnya mereka berlari ke tempat ini sejak dini hari, berbaris rapi demi akses awal ke produk keluarga paling mutakhir. Semua datang dengan pikiran yang sama: “Aku ingin keluarga yang bahagia.”
Banyak yang mencari ayah.
“Aku ingin seorang guru sebagai ayahku. Pelaut jarang pulang dan uang yang dibawa pulang tak sebanyak ongkos berangkat. Rugi.”
“Aku ingin ayah yang lemah lembut, yang tidak cepat marah saat aku buat salah.”
“Aku ingin ayah yang mapan secara finansial, punya sawah banyak untuk ditanami. Supaya kami tidak hanya tutup dan gali lubang lagi.”
“Aku ingin ayah yang setia, tak banyak main mata. Aku ingin seorang ayah yang penuh cinta, bukan sibuk mengasuh nafsu belaka.”
Banyak yang mencari ayah.
Tapi ayah sulit sekali ditemukan.
Ayah yang baik selalu habis terjual, produk terlaris. Stok selalu tidak banyak, karena pemasok pun bingung harus cari ayah yang baik di mana, produksi juga berkurang banyak, karena tak banyak bahan baku bermutu. Tidak ada cukup laki-laki yang bisa menjadi ayah dan yang menjadi ayah seringkali tidak cukup laki-laki untuk mengemban tugas ayah. Padahal, permintaan untuk ayah yang baik sangat tinggi.
Jika sudah seperti ini; pemasok bingung, penjual bingung, pun pembelinya.
–
Untitled
Yang menghidupimu
membunuhmu paling cepat:
ibu, bapa; kedua
orang tua.
–
Pergi (1)
Papa tak pulang
Entah ke mana
Rumah dingin tak bertuan
Gelap menyiksa, tak tahan—
Ibu menangis sendirian
–
Pergi (2)
Parasit itu kupanggil ayah
Enak hidupnya, hanya menadah
Rabu lalu, syukurlah . . .
Gagak bilang:
Ia telah jadi arwah.
*****
Editor: Moch Aldy MA