Tak ada yang dapat menolak fakta bahwa suatu perlawanan massa rakyat terhadap penguasa sering mengalami kekalahan. Jikapun itu berbuah kemenangan, tentu suatu momentum emas menjadi kuncinya. Sayangnya, momentum itu tak mesti datang, sering tak tepat waktu, dan barangkali situasi jadi makin buruk, seperti yang saya ulas dalam esai Kiat Waras Menghadapi Indonesia Gelap di platform ini. Namun, di balik setiap kekalahan, ada warisan yang tetap hidup dan menginspirasi perlawanan selanjutnya.
Situasi inilah yang kini dialami oleh kita dan rakyat tertindas di berbagai horison dunia. Menguatnya cengkraman neoliberalisme, meningkatnya kesenjangan ekonomi, dan bangkitnya pemerintahan otoritarian di banyak negara demokratis menjadi sinyal tanda bahaya. Termasuk untuk rakyat Indonesia yang getir menghadapi situasi ini.
Sekarang, sirine tanda bahaya meraung keras dengan ketukan palu Puan yang mengesahkan revisi UU TNI di Parlemen. Revisi itu memungkinkan TNI menduduki lebih banyak jabatan sipil dan terlibat lebih banyak dalam urusan sipil. Bagi rakyat yang trauma 32 tahun hidup di bawah injakan sepatu lars, kembalinya dwifungsi militer dalam bentuk baru jadi nasib buruk yang diwanti-wanti. Kita telah melawannya, tetapi gas air mata dan bogem mentah polisilah yang menyambut kita. Di antara kemenangan kecil yang dapat kita raih, pengesahan revisi UU TNI ini adalah satu dari banyak kekalahan yang harus kita terima.
Belajar Kalah dari Minke
Kita telah melawan, dengan “sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya,” sebagaimana ungkap Nyai Ontosoroh dalam penutup Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Ungkapan itu adalah pengakuan atas kekalahan perlawanan Minke dan Sang Nyai atas hak asuh sekaligus status istri Annelies. Sayangnya, upaya keras Minke dan Nyai Ontosoroh tak berbuah kemenangan apapun di hadapan hakim yang memihak pada hukum kolonial. Kekalahan itu, dan kekalahan lain yang akan mereka alami di sekuel Tetralogi Pulau Buru, adalah gambaran kita yang saat ini sedang melawan.
Baca juga:
- Dari Bumi Manusia ke Istana: Refleksi 100 Tahun Pramoedya dalam 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran
- Seratus Tahun Pramoedya Ananta Toer
Max Lane, dalam Indonesia Tidak Hadir di Bumi Manusia, dengan tegas menyebut Tetralogi Pulau Buru pada dasarnya berkisah tentang kekalahan perjuangan Minke dan kawan-kawannya. Setelah kehilangan Annelies, Minke dan Nyai gagal mempertahankan perusahaan Boerderij Buitenzorg milik Nyai Ontosoroh pada Anak Semua Bangsa. Menapak di novel ketiga, Jejak Langkah, pemerintahan kolonial Belanda mengasingkan Minke yang praktis meruntuhkan fondasi pergerakan yang ia bangun. Pada seri terakhir, Rumah Kaca, para aktivis kemerdekaan dibabat habis dan Minke meninggal selepas pulang dari pengasingan.
Kekalahan Minke menjelaskan satu hal penting yang telah saya jelaskan dalam esai sebelumnya: bahwa David tak selalu bisa mengalahkan Goliath. Minke adalah kita: ia adalah subjek resisten yang inferior di hadapan suatu sistem besar yang hegemonik dan represif. Kita tak dapat menghitung berapa kekalahan politik yang kita alami walau ada kemenangan-kemenangan yang maha penting di antaranya. Tanpa bermaksud mengecilkan perjuangan politik yang sampai saat ini kita perjuangkan, merenungkan kekalahan politik patut mendapatkan porsi lebih untuk mentransformasikannya sebagai sesuatu yang positif.
Kekalahan dan Warisannya
Apa yang bermakna dari kekalahan? Barangkali, jejak langkah yang mengecap permanen di jalan perjuangan kita menjadi petunjuk penting untuk mencapai kemenangan yang nun jauh di sana, sebuah warisan (legacy). Minke atau Tirto Adhi Soerjo, dan kompatriotnya, walau “sesungguhnya kalah total”, tetapi “menjelang akhir cerita kegagalan mereka ini – dijelaskan di keempat buku itu secara langsung maupun tidak langsung – Pramoedya memberikan petunjuk dari mana kira-kira akan datang energi dan daya intelek yang akhirnya akan berhasil membuat perubahan,” ungkap Lane.
Ketika membaca Jejak Langkah, Minke mengalami radikalisasi yang mencolok dari Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Perenungannya tak hanya berhenti pada perkembangan karakternya, atau perlawanan dirinya terhadap ketidakadilan yang ia dan orang terdekatnya hadapi, melainkan bertransformasi menjadi perlawanan terorganisir untuk membela kaum papa. Ia mendirikan pers berbahasa Melayu pertama di Hindia Belanda, Medan Prijaji. Melalui Medan Prijaji, Minke dengan lantang menyampaikan pembelaannya kepada kaum tertindas.
Selama membangun pergerakan itu, ada tokoh-tokoh yang kini kita kenal sebagai tokoh pergerakan nasional, seperti Mas Marco Kartodikromo, Ernest Douwes Dekker, dan Soewardi Soerjaningrat. Walau mereka hanya jadi kameo di sepanjang roman Pram, mereka akan menjadi “tokoh-tokoh revolusioner pergerakan kelas pekerja yang akan mengguncang Hindia Belanda satu dasawarsa atau lebih setelah Adhi Soerjo”. Misalnya Marco, dalam uraian Takashi Shiraishi di Zaman Bergerak, ia berguru pada Tirto sebagai anak magang di Medan Prijaji. Selepas Medan Prijaji gulung tikar, Marco berkembang menjadi salah satu jurnalis paling radikal di Hindia Belanda.
Baca juga:
Seperti halnya Minke yang membuka jalan bagi Marco, perjuangan dari generasi ke generasi terus tersambung melalui berbagai bentuk perlawanan yang dibangun oleh masing-masing generasi. Perjuangan para revolusioner menghubungkan satu tali ke tali lainnya dengan tradisi yang terus berubah yang terilhami oleh pelajaran, kritik, bahkan penghancuran atas tradisi pendahulunya; sampai Indonesia merdeka, kini, dan nanti, selama dunia belum kiamat.
Warisan yang ditinggalkan oleh tiap generasi bagai merpati yang membawa pesan bagi generasi selanjutnya untuk membawa spirit perjuangan sampai ke medan penghabisan. Tanpa Minke dan kawan-kawannya, sulit untuk membayangkan ke mana trajektori sejarah Indonesia yang kita kenal sekarang. Spirit itu terus hidup sampai sekarang dengan membakar semangat generasi baru untuk terus melawan ketidakadilan dalam bentuk apapun.
Dari Minke dan para kawannya kita belajar, melawan ketidakadilan yang terus direproduksi oleh sistem besar di mana kita hidup berarti mengakrabkan diri dengan kekalahan. Kekalahan adalah bahasa sehari-hari kita dan kita harus selalu mahfum berakrab diri dengannya. Seperti kata Hannah Proctor yang saya kutip dalam esai sebelumnya, kita tak dapat bergantung pada harapan karena kemenangan bukan hasil akhir yang par exellence. Kondisi kita mungkin bisa jadi lebih baik, tapi ia juga bisa semakin buruk kapanpun.
Bukan soal menang atau kalah yang penting dari perlawanan, tetapi tentang bagaimana ia menghasilkan serangkaian konsekuensi yang akan diambil alih oleh generasi selanjutnya. Dengan perlawanan, kita bertaruh atas konsekuensi-konsekuensi yang akan ditangkap oleh generasi selanjutnya. Namun, tidak melawan sama sekali berarti menjatuhkan konsekuensi itu pada hasil yang absolut: kekalahan total. Tiada yang menjamin apa yang terjadi di masa depan, tetapi warisan yang kita tinggalkanlah yang mungkin dapat membangun masa depan yang lebih baik bagi generasi selanjutnya, seperti Pram yang mengingatkan kita untuk adil sejak dalam pikiran dan Tan Malaka yang suaranya semakin keras dari dalam kubur. (*)
Editor: Kukuh Basuki