Buruh di Semarang dan kerja paruh waktu sebagai editor di penerbit Semut Api. Bukunya yang sudah terbit berupa kumcer Sekelompok Babi dan Rumah-Rumah (Semut Api, 2021).

Zombi dalam Bus

Farras Pradana

6 min read

Bus berguncang. Aku terbangun dari tidurku. Cahaya matahari dari arah timur menembus kaca jendela dan jatuh di dalam bus. Silau, aku membuka mataku secara perlahan-lahan. Kemudian, memerhatikan para penumpang. Beberapa penumpang sudah tidak ada lagi di tempatnya, termasuk orang di sebelahku. Mereka yang masih bertahan tertidur.

Aku menoleh ke luar jendela. Bus berjalan pelan melintasi area pusat bisnis dengan gedung-gedung perkantoran tinggi menantang langit. Di salah satu gedung itu, tepatnya di lantai dua puluh tiga, merupakan kantor perusahaan tempatku magang. Aku mengamati bagian depan gedung-gedung yang menghadap jalan. Banyak orang keluar masuk gedung, tetap bekerja di hari Minggu seperti ini. Entah karena apa, semakin kuperhatikan, para pekerja itu tampak berbeda. Mereka bergerak dengan cara zig-zag, tangan kiri memegang sesuatu seperti bola, dan bagian kepala tampak sangat kecil. Mungkin ini efek kurang tidur, pikirku.

Bus berhenti lalu pintu terbuka. Seorang penumpang masuk ke dalam. Begitu pintu tertutup, bus melaju, dan penumpang itu mencari-cari tempat duduk. Aku menyadari sesuatu, dia zombi. Dia menyeret kaki kanannya ke depan, menyeret kaki kirinya mengikuti kaki kanan, kemudian menyeret kaki kiri ke depan, menyeret kaki kanan mengikuti kaki kiri, begitulah caranya berjalan. Tubuh bagian atasnya berakhir sampai batang leher saja. Aku awalnya mengira, dia tidak memiliki kepala. Tetapi ketika dia mendekati tempat dudukku, lalu berkata dengan suara seperti radio rusak, “Boleh saya duduk di sini?” aku mendapati kepala di tangan kirinya. Dia tersenyum kepadaku. Dia duduk di sebelahku, dan meletakan kepalanya di pangkuannya.

“Maaf, aku harus mengistirahatkan kepalaku karena terlalu lelah dipasang di atas sini,” katanya, menunjuk bagian atas lehernya.

“Ya, aku juga lelah.” Aku ingin tidur kembali seperti penumpang lain.

***

Aku merupakan mahasiswa tahun kedua jurusan Sastra Inggris. Semester empat ini, aku mengambil kesempatan untuk magang di perusahaan yang bergerak di bidang teknologi yang membikin perangkat keras. Atau lebih gampangnya, perusahaan yang membuat aneka kebutuhan tambahan untuk komputer. Sesuai dengan jurusanku, paling tidak begitu yang kupikir, aku menempati divisi pemasaran luar negeri. Menghubungi dan membalas surel berbahasa Inggris yang masuk.

Aku sadar, dengan mengambil magang, aku telah menjerumuskan diri lebih cepat menjadi seorang pekerja. Tapi, kesempatan itu mau tidak mau harus kuambil. Dengan pengalaman magang itu, paling tidak, aku telah sedikit menyelamatkan masa depanku. Aku bisa memanfaatkannya selepas lulus kuliah, pikirku.

Dari tiga bulan magang yang kuambil, aku sudah sampai setengahnya. Aku magang sembari tetap mengambil mata kuliah. Sehingga, mau tidak mau, aku harus membagi waktu. Kalau aku tidak bisa datang ke kantor dan harus memprioritaskan kuliah, aku dapat bekerja dari mana saja di luar jam kantor.

Senin sampai Rabu, jadwal kuliahku senggang, sehingga setelah beres kelas aku bisa langsung ke kantor. Sementara Kamis dan Jumat, jadwal kuliahku padat, sehingga pada dua hari itu, aku tidur lebih sedikit. Sebab, biasanya, selepas kuliah aku harus menyelesaikan tanggung jawab kerja yang diberikan. Belum lagi aku juga harus mengerjakan setumpuk tugas dari dosen. Waktu istirahatku semakin sedikit.

Kemarin Kamis, selepas kelas, aku langsung kerja dari kos. Membalas surel-surel yang masuk. Dimulai setelah Magrib sampai tengah malam baru selesai. Selama mengerjakan itu, aku berkomunikasi dengan seniorku untuk berkonsultasi terkait hal yang rumit. Untuk bisa menyelesaikan tepat waktu—tidak boleh lewat pukul dua belas malam, aku minum kopi agar tidak mengantuk. Sesudah selesai mengerjakan, aku mencoba tidur. Sayangnya gagal. Hingga pagi datang, aku masih terjaga sepenuhnya.

Hari Jumat, dengan badan yang mulai lemas, aku mengikuti semua perkuliahan. Aku menghabiskan tenaga untuk dua presentasi dan mengerjakan tugas di sela pergantian mata kuliah. Sesudah selesai, aku kembali ke kos. Bekerja seperti kemarin, membalas satu demi satu surel dengan hati-hati. Dibantu dengan secangkir kopi untuk membangun konsentrasi. Selesai tepat waktu, aku menjatuhkan tubuh di kasur. Berusaha untuk tidur. Tetapi, yang datang hanya kantuk, bukan lelap. Aku tidak bisa tidur.

Aku melakukan aktivitas akhir pekan dengan mencuci pakaian dan bersih-bersih kamar. Malamnya, aku membatalkan janji ikut diskusi buku dengan seorang teman karena sudah lemas dan ingin beristirahat. Aku berusaha keras memejamkan mata, mematikan lampu, menutupi tubuh dengan selimut tebal, tetapi sayang tidak terlelap. Aku akhirnya menghabiskan waktu dengan membaca novel, mendengarkan lagu-lagu Paramore dan Green Day, serta pergi keluar untuk makan malam. Tidak ada yang berhasil. Hanya kelelahan yang membuatnya terkantuk-kantuk, tetapi tidak tertidur lelap. Seolah-olah aku tidur dengan mata dan telinga terbuka. Aku akhirnya pasrah. Tidak memaksakan tubuhku. Aku masih terjaga sampai sekarang, pada Minggu pagi, seperti zombi.

***

“Kau kenapa begitu lemas?” Tetangga kosku pasti sedang memandang wajah zombi.

“Gagal tidur.”

Aku diam tidak menjawabnya. Mulutku tidak kuat berbicara banyak.

“Aku mau keluar,” kataku akhirnya.

Aku berjalan menyusuri lorong dengan kaki terserat. Kepala terkantuk-kantuk. Tenagaku sudah hampir habis. Ibarat prajurit di medan perang, aku sudah tertembak musuh. Aku belum mati, hanya sekarat, tanpa pertolongan. Masih ada sedikit sisa kehidupan sebelum aku benar-benar mati. Begitulah kondisiku saat ini.

Di depan gerbang kos, aku sedikit menggigil. Udara subuh menembus tubuh bagian atasku yang hanya ditutupi oleh jaket bisbol tanpa kaos di baliknya. Aku menoleh ke belakang dengan sedikit mendongak. Jendela-jendela gelap. Kecuali jendela kamar kosku. Para penghuni tidur nyenyak, pikirku.

Pelan-pelan aku menyusuri gang kecil yang ada di depan kosku menuju jalan besar. Sebuah kupu-kupu berwarna hitam tiba-tiba muncul di hadapanku. Awalnya, aku tidak langsung menyadari keberadaan kupu-kupu itu. Selain karena mataku yang sudah kelelahan, warna hitamnya menyaru dengan subuh yang masih gelap. Aku harus berkedip beberapa kali untuk memastikan yang ada di hadapanku adalah kupu-kupu sungguhan dan bukan bayangan akibat kelelahan. Kupu-kupu itu terbang meliuk-liuk sejajar dengan mataku. Dia lalu terbang ke atas kepalaku, berputar-putar mengikutiku terus.

Sudah tiga hari aku gagal tidur nyenyak. Aku tidak menyebutnya tidak bisa tidur, karena aku bisa menutup mata barang satu hingga dua jam. Namun bukan tidur yang pulas, karena kesadaranku masih ada, tidak terenggut sepenuhnya ke alam mimpi. Aku masih bisa merasakan bermacam hal dalam kondisi tidur semacam itu.

Kepalaku terus-menerus terayun ke depan karena terasa berat. Bagian belakang leherku terasa menonjol seperti ranting pohon yang akan dipatahkan. Sudah sejak kemarin kepalaku mulai pening dan mataku tidak fokus. Tubuhku lemas seolah darahku mengering, lenyap entah ke mana. Untungnya, pikiranku walau terasa semakin berkurang ketajamannya, tetapi masih bisa untuk mengendalikan seluruh sirkuit tubuhku yang tidak bertenaga.

Aku duduk sendirian di halte bus dekat mulut gang di pinggir jalan besar. Di jalanan, hanya mobil-mobil bak terbuka yang mengangkut sayuran yang terus berseliweran. Para tunawisma yang beralaskan kardus masih meringkuk nyenyak di trotoar dan di samping gerobak sampahnya. Mereka bahkan bisa tidur di tempat terbuka seperti ini, pikirku.

Ketika aku melamun, seseorang duduk di sampingku. Dengan lemas aku menoleh ke arahnya. Usianya kira-kira sepantaran denganku. Dia mengenakan pakaian yang rapi, kemeja lengan panjang berwarna biru dengan dasi kuning, celana kain, sepatu pantofel hitam mengkilap seperti habis disemir, dan rambut disisir rapi. Kontras dengan penampilannya yang segar itu, wajahnya begitu pucat dan kantung matanya menghitam. Kondisinya mirip denganku.

“Apa tadi sudah ada bus yang lewat?” tanya orang itu tiba-tiba.

Tanpa menoleh, aku menjawab, “Tidak ada.”

“Biasanya sudah banyak.”

Orang ini sepertinya memang tidak bisa berpikir. “Ini hari Minggu,” kataku.

“Astaga, bagaimana ini?”

Dia pasti panik, karena akan terlambat datang ke kantor. Aku mencoba menenangkannya, “Jangan khawatir, nanti pasti ada satu dua bus yang lewat. Kau istirahatkan matamu dulu, nanti aku bangunkan.”

Dia menempelkan punggungnya pada sandaran kursi halte. Matanya dengan cepat tertutup.

Aku kembali melamun. Sesekali mataku terpejam, dan aku akan tertidur. Namun, saat kepalaku jatuh, aku tersadar, lalu lekas membetulkan posisi duduk.

Tak lama kemudian, sebuah bus berhenti di depan kami. Aku hampir tidak menyadari kehadiran bus itu. Mataku yang hanya terbuka sedikit, cuma menangkap secara samar-samar. Apalagi bus itu muncul tanpa suara. Atau sebenarnya memiliki suara, tetapi aku tidak mendengarkan karena telingaku juga ikut bermasalah.

“Bangun.” Aku menggoyangkan orang di sampingku. Dia kemudian bangun dengan wajah kebingungan.

“Sudah sampai mana?”

“Apa maksudmu? Kau bermimpi?” tanyaku. “Busnya sudah sampai itu.”

Dia menenangkan diri. “Ya, aku mimpi tadi. Terima kasih, sudah membangunkanku.”

Dia bangkit dari tempat duduknya dan masuk ke dalam bus.

Bus itu belum kunjung pergi.

Apa bus itu menungguku? Aku bertanya-tanya.

Lama, bus itu tidak lekas menjauh.

Akhirnya, kuputuskan untuk ikut bersama bus itu keliling kota. Pikirku, mungkin aku bisa tidur di dalam bus.

Saat aku masuk ke dalam, kursi-kursi sudah terisi. Orang yang menunggu bus bersamaku duduk di bagian belakang dengan mata terpejam. Beberapa penumpang  mengenakan pakaian rapi seperti orang itu. Beberapa yang lain mengenakan pakaian yang sejenis, tetapi sudah tidak rapi lagi. Rambutnya acak-acakan. Mereka semua kelelahan dan kantuk tampak jelas. Aku memilih duduk di bagian tengah.

Pintu sudah tertutup dan bus akan berangkat. Namun, seseorang muncul mengetuk-ketuk pintu yang membuatnya terbuka kembali. Orang itu langsung naik, lalu mengambil tempat di sampingku. Bus kemudian bergerak.

Setelah melaju beberapa lama, aku menyadari bus ini sedikit berbeda. Meskipun tubuhku lemas dan telingaku menjadi tidak awas, aku menyadari tidak ada suara dari mesin bus ini. Bus bergerak seolah-olah tidak menapak aspal jalan, tetapi melayang tanpa guncangan. Pantas saja semua penumpang tampak duduk dengan nyaman.

Orang di sebelahku berkata, “Susah mencari bus pagi-pagi begini.”

Aku mengiyakan perkataannya. Tidak ingin banyak bicara, dan lekas tertidur.

“Aku tadi sudah berjalan beberapa ratus meter dari kantor karena tidak ada bus yang lewat. Tapi, untungnya bus ini muncul. Aku bisa segera sampai di rumah dan lekas tidur. Sejak kemarin aku di kantor, belum tidur sama sekali.”

“Aku juga belum tidur.” Aku memejamkan mata.

***

Bus berguncang. Aku terbangun, langsung terkejut. Seekor kupu-kupu berwarna biru tua melintas di hadapanku. Dia terbang meliuk-liuk di dalam bus. Penumpang di sampingku tertidur pulas. Aku menoleh ke arah ke luar. Sebentar lagi, aku sampai di halte dekat kosku, tempatku naik bus tadi. Aku bersiap-siap, tidak boleh tertidur karena kantuk belum kubayar tuntas.

Aku turun dari bus dan kupu-kupu berwarna biru itu mengikutiku. Terpapar sinar matahari, kantukku serasa menguap. Kupu-kupu itu tampak berkilau saat terbang di depanku.

Aku membuka gerbang kos dan masuk. Sebelum masuk ke dalam, aku berhenti ambang pintu. Kupu-kupu itu tidak lagi terbang di sekitarku. Dia bermain-main di sekitar tanaman-tanaman yang tumbuh dalam pot yang dijejer di teras. Aku tidak tahu nama tanaman-tanaman itu. Namun, beberapa tanaman memiliki kelopak bunga dan kupu-kupu itu hinggap di salah satunya. Aku mengamati pergerakan yang tenang dan lamban, ada kedamaian dalam hubungan keduanya.

Aku masuk ke dalam lalu naik ke lantai dua. Masuk ke dalam kamar lalu merebahkan tubuhku. Aku sudah melalui perjalanan panjang dari keluar hingga kembali ke kos. Saat perjalanan panjang begitu melelahkan, aku akhirnya dapat tertidur. Kemudian aku terbangun, dan tetap sampai di tujuanku. Apakah aku akan tetap sampai tujuanku, jika sekarang memutuskan berhenti dari semua yang membuatku lelah ini?

*****

Editor: Moch Aldy MA

Farras Pradana
Farras Pradana Buruh di Semarang dan kerja paruh waktu sebagai editor di penerbit Semut Api. Bukunya yang sudah terbit berupa kumcer Sekelompok Babi dan Rumah-Rumah (Semut Api, 2021).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email