Semua orang selalu menertawakan Mbak Yayuk.
Ia adalah orang gila yang senang sekali duduk di cakruk depan rumahku. Ia sering menari-nari penuh penghayatan, kadang tertawa sendiri, tak jarang pula tiba-tiba menangis tanpa sebab.
Sejak aku kecil, ia sudah ada di sana. Tak jarang aku melihat Ibu memberinya makanan, aku pun turut membagi jajanku kepadanya. Aku sangat ingat wajahnya kegirangan ketika aku memberinya donat gula. Sejak itu aku selalu menyempatkan untuk membeli donat gula ketika diajak Ibu ke pasar. Aku senang sekali jika Mbak Yayuk menyukai pemberianku.
Ibu dan Ayah tak pernah melarangku dekat dengan Mbak Yayuk. Hanya sesekali Ibu memberi pesan untuk berhati-hati, katanya Mbak Yayuk tidak berbahaya tapi ia bisa marah, dan kemarahan orang sepertinya tidak bisa ditebak. Aku selalu mengingat perkataan Ibu karena aku juga tahu bahwa Mbak Yayuk kadang-kadang mengejar anak-anak yang mengusilinya sambil melempar batu.
Mbak Yayuk sering sekali diusili oleh anak-anak di kampung. Seperti dilempari kerikil-kerikil kecil, disiram air. Yang paling parah, dilempari botol plastik berisi air kencing dan memasukkan serangga ke dalam bajunya hingga Mbak Yayuk melompat-lompat sebab geli dan takut. Lalu Mbak Yayuk marah-marah setelahnya, dan anak-anak itu tertawa.
Pada beberapa kesempatan aku mencoba membela Mbak Yayuk, tetapi aku selalu kalah. Ketika aku memarahi teman-temanku, aku malah ikut diserang lalu ditertawakan. Mbak Yayuk semakin marah jika aku diserang oleh mereka, bahkan melebihi rasa marah ketika dirinya sendiri diserang.
Aku tak mengerti, kenapa teman-temanku memandang Mbak Yayuk demikian, seolah ia adalah mainan yang diolok-olok pun tak akan terluka perasaannya. Sementara bagiku, Mbak Yayuk sama saja sepertiku, begitu juga seperti teman-teman yang lain, ia hanya berbeda dalam berpikir dan bertingkah laku. Bagiku, ia tetap manusia yang memiliki perasaan, aku melihatnya dari matanya ketika memandangku.
***
Malam ini perasaanku tidak enak, aku setengah terbangun ketika mendengar langkah terseret-seret dan sedikit keributan di depan rumah. Tapi aku kembali tidur dan berencana untuk menengoknya esok hari karena sangat mengantuk. Jika ada sesuatu terjadi, pasti Ayah dan Ibu membangunkanku.
Pagi harinya aku bangun dengan geragapan, mengingat suara semalam. Mbak Yayuk yang pertama kali kupikirkan. Aku langsung meloncat dari tempat tidur ke arah ruang tamu, dengan terburu aku membuka jendela yang mengarah ke cakruk tempat Mbak Yayuk biasa tidur. Sepi. Mbak Yayuk tidak ada di sana.
“Ibuuuu…, Ayahhh…!” Aku berteriak hingga Ayah dan Ibu pun ikut panik dan segera menuju ke arahku.
“Ada apa? Pagi-pagi begini sudah teriak-teriak,” ucap Ibu panik.
“Mbak Yayuk nggak ada, Buk.” Aku menunjuk ke arah cakruk di luar dari jendela ruang tamu.
“Loh iya, ke mana ya, tumben subuh-subuh begini sudah pergi.”
“Mungkin Mbak Yayuk sedang ingin jalan-jalan pagi, Nak, nggak apa-apa, kita berdoa semoga cepat kembali,” ucap Ayah sambil mengelus pundakku, tak lama setelah itu Ayah keluar mencoba mencari Mbak Yayuk di berbagai sudut.
Perasaanku sangat tidak enak, tidak biasanya Mbak Yayuk tidak ada saat subuh. Ke mana Mbak Yayuk pergi, apa mungkin Mbak Yayuk dijahati oleh orang asing. Aku sedih, takut, dan cemas. Aku berulangkali membuka jendela menunggu Mbak Yayuk kembali. Tapi tidak ada hasil, Mbak Yayuk tidak kembali.
Tiga hari aku menunggu tanpa hasil. Mbak Yayuk tak kunjung muncul. Lubang di hatiku terasa semakin menganga, rasanya seperti kehilangan kakak sendiri. Kemudian aku mencoba keluar. Mencoba membangun harapan bahwa Mbak Yayuk tiba-tiba akan muncul sambil tertawa-tawa dan berlari ke arahku. Aku duduk di cakruk, melihat sekeliling, meraba lantai kayu di cakruk dan tiba-tiba saja terpikir untuk melihat ke kolong cakruk berbentuk pendopo ini.
Betapa terkejutnya aku, Mbak Yayuk meringkuk di sana, menggigil, tiba-tiba air mataku mengalir, ia membalas tatapanku penuh kebencian. Apa yang terjadi dengannya. Aku langsung berteriak memanggil Ayah, kemudian semua orang keluar termasuk Ibu dan beberapa tetangga dekat.
“Mbak Yayuukkk!” Aku berteriak lagi sambil menangis tersedu-sedu. Ayah, Ibu, dan beberapa tetangga bergegas menghampiriku.
“Ada apa Nak?” Ayah melihatku menangis, melihat sekeliling seperti mencari seseorang.
“Mbak Yayuk…” Aku menangis sambil menunjuk ke arah kolong cakruk. Kemudian Ayah berjongkok untuk melihat ke bawah cakruk.
“Astagfirullah…,” ucap Ayah sambil memegang kepalanya, syok dengan apa yang ia lihat. Ibu kemudian ikut melihat lalu memegang dadanya dan ikut menangis.
Para laki-laki mencoba untuk meraih tangan atau kakinya untuk ditarik keluar. Tapi tak berhasil, ia memberontak, ia berteriak seolah menyuruh mereka pergi, ia meraung. Raungannya terasa sangat perih di telingaku.
Aku tak tega melihatnya, kemudian aku terdorong untuk mendekat dan mengulurkan tanganku sambil menatapnya. Bapak-bapak mencoba menghalangiku tapi ditahan oleh Ayah. Ayah membiarkanku mencoba membujuk Mbak Yayuk.
“Mbak, ini Dinar. Mbak Yayuk sekarang sudah aman, ayo sekarang keluar, kita main lagi kayak biasanya,” ucapku lembut sambil menahan air mataku. Aku melihat matanya yang begitu keras dan penuh ketakutan. Lalu tatapan itu kembali lagi, tatapan Mbak Yayuk yang kosong. Ia meraih tanganku, aku merasakan tangannya begitu dingin. Aku membayangkan betapa menderita tidak makan dan tidak minun selama tiga hari.
Mbak Yayuk menggeliat mendorong tubuhnya keluar ke arahku. Ia setengah telanjang, hanya sehelai kaos dengan sobek di mana-mana yang masih tertanggal di tubuhnya. Tubuhnya kurus dan keriput, ia menggigil. Wajahnya sangat pucat hampir seperti mayat, bibirnya kering dan mengelupas.
Ibu dengan sigap melingkarkan handuk ke badan Mbak Yayuk, ia masih nampak waspada. Lalu Ibu berlari ke dalam rumah dan keluar membawa donat gula dan segelas teh hangat yang kemudian diberikan kepadaku. Aku bersyukur masih memiliki donat gula ini. Aku menyodorkannya kepada Mbak Yayuk dan ia tersenyum riang. Tanpa berpikir panjang, ia langsung melahapnya seperti seseorang yang tidak makan empat abad.
Setelah perutnya terisi, aku dan Ibu membawanya masuk rumah, dengan izin Ayah. Sepertinya Mbak Yayuk tidak mau disentuh laki-laki. Kami membawanya ke kamar mandi dan memandikannya di sana. Aku mengguyur tubuhnya dengan air, Ibu menggosok tubuhnya pelan dengan sabun. Kami saling bertatapan saat mendapati leher, payudara, perut, pundak, dan pipinya lebam. Sudut bibirnya juga lecet.
Siapa yang melakukan ini. Apa yang orang-orang itu lakukan kepada Mbak Yayuk. Batinku. Aku masih berpikir postif bahwa tidak ada orang yang berbuat jahat kepada Mbak Yayuk, meskipun tanda-tanda di tubuhnya mengatakan sebaliknya.
Setelah tubuhnya bersih, Ibu mengambilkan pakaian yang sudah lama tidak dipakainya lalu dipakaikan ke Mbak Yayuk. Ternyata ia cantik juga kalau bersih seperti ini. Aku tersenyum melihatnya.
***
Lima bulan berlalu, Mbak Yayuk sudah menjalani hari seperti biasa. Duduk di depan cakruk dan seakan sudah melupakan kejadian lima bulan lalu. Tapi saat aku melihatnya, ada yang aneh dengan tubuhnya, kemudian aku memanggil Ibu.
“Ada apa?” tanya Ibu saat aku masih berdiri memandangi Mbak Yayuk dari jendela.
“Perut Mbak Yayuk kenapa, Bu, kok besar begitu ya, biasanya kan kurus,” jawabku cemas. Mencoba memastikan bahwa Mbak Yayuk baik-baik saja dengan bertanya kepada Ibu.
Ibu kemudian melihat ke arah Mbak Yayuk, tertegun, tak berkata apapun. Aku melihat Ibu menggigit bibirnya menahan diri untuk tidak menangis.
Mbak Yayuk hamil. Ia diperkosa oleh orang yang selalu menertawakannya.
*****
Editor: Moch Aldy MA
Saya merinding baca cerpen ini karena dulu pernah ada kejadian yang sama di kompleks perumahan saya. Seorang anak down syndrome yang sudah di usia remaja (sekitar 18-19 tahun), diajak teman perempuannya main keluar rumah, tidak pulang selama hampir seminggu. Saat pulang badannya lebam dengan baju yang sudah tercorang-coreng. Sekitar tiga bulan kemudian diketahui hamil. Astaghfirullah.