Sesekali menulis puisi, sesekali menulis cerpen, seringkali kehilangan diri.

Sambat Apa Hari Ini? dan Puisi Lainnya

Eko Setyawan

2 min read

Sambat Apa Hari Ini?

menata punggung yang pegal
kudapati anak sungai yang kering
dan daun-daun ranggas.

seekor ular melata
mencari tempat semadi
melepas segala lelah
selepas usai hari ini.

dunia sungguhlah pejal
punggung yang kuat jadi rapuh
ngilu berkawan dan enggan meninggalkan.

sesekali, di kepala kita
pernyataan tercipta:
“kupikir, hari ini usai.”
tapi usia memperpanjangnya
bahwa hidup memang perlu berlanjut.

pada akhirnya
kita menata punggung yang pegal
melahap dunia yang pejal
meski berkawan ngilu. bersahabat kelu.
berkarib ngilu, di kepalaku dan kepalamu.

(Karanganyar, 2022)

Kejutan di Seberang Flyover

hidup ini tanda tanya dan teka-teki
ketika di suatu hari
jembatan akan dibongkar dan diperbaiki.
kejutan, seperti ular yang gagal melata
dan berhenti selepas mendapati kenyataan
bahwa di seberang flyover itu
masa depan terhenti tiba-tiba.

“hajinguk!”
jelma kata sakti yang terlontar dari bibir
ketika jalanan sesak
namun buah apel telanjur dilahap
tapi ular itu tak segera beranjak pergi.

kejutan yang diberikan
seperti halnya membuka kartu domino qiu-qiu
sewaktu punya angka lima diikuti lima berikutnya.
“blug!”

akhirnya, kegelisahan menyelimuti
dan pertanyaan tak bisa dihindari:
“kapan penderitaan ini akan berakhir?”

(Jembatan Jurug, 2022)

Pertengkaran dari Seberang Jembatan
: Febriana KF

hari ini kita tak jadi bertemu, ayang.
jarak telah menjadi pemisah
sebab kau di seberang sungai dan aku sebaliknya.

jembatan yang harusnya jadi penghubung
menjelma jurang pemisah
dan kita tak mampu berbuat apa-apa
sebab kemacetan terjadi di mana-mana.

kemacetan ini
seperti halnya papan catur.
aku dan kau ialah pion
yang sering kali dikorbankan
dan dipaksa menerima kenyataan.
sebab kita bukan patih atau kuda
apalagi menteri atau raja
yang bebas menentukan ini-itu
tanpa berpikir sebelumnya.

tapi tak apa, ayang.
meski dengan jarak yang terbentang
aku masih akan tetap selalu mengirim pesan
titik dua bintang secara maya di keningmu
: meski tak berasa apa-apa.

kau harus tenang, ayang.
sala tetap terlihat dan berjarak dekat dari sini
dan kelak akan kubisikkan padamu
kata-kata yang kau suka
dan tentu kau tahu itu apa.

“alaview?”

“bukan ayang. jangan lagi ikut pemilu!”

(Jembatan Jurug, 2022)

Bersikutan di Atas Jembatan

menuju kota yang kian banal
orang-orang kabupaten telah jadi
manusia paling menderita.

saban hari
kemacetan tak terhindarkan.
sebab orang kabupaten
sudah selayaknya dikorbankan.

di jembatan, kita saling bersisian
seolah bertengkar siapa yang harusnya duluan.
di lajur kita, dunia berjalan sangat pelan.

laju yang pelan dan berdesakan
seperti halnya para orang-orang partai
yang sering ndakik-ndakik menjelang pemilu
: tapi lupa setelahnya.

tentu kita tahu, semua itu hanya untuk
merebut simpati dariku dan darimu.

sungguh, ndakik-ndakik itu akan menyiksa kita.
lantas, kita akan mengeluhkan dengan kata yang sama.

“lemes, bestieee!”

(Jembatan Jurug, 2022)

Pertanyaan Orang-Orang Kabupaten

hidup kian menggemaskan
ketika hari-hari dijalani
tanpa peta.

jalan yang membentang
tak pernah pasti.
selalu dan akan selalu berisi kejutan.

kejutan itu
seperti halnya kemacetan yang panjang.
kita tak pernah tahu
ke arah mana kita menuju.

hidup memang menggemaskan
ketika kita dipaksa memilih kejutan
atau mencari jalan lain
untuk menghindari kemacetan.

tapi kita tahu
kemacetan itu tak akan pernah dihindari
sebab orang-orang kabupaten
selalu jadi anak tiri.

jembatan dibangun
dan kita dipaksa memilih
antara menembus kemacetan
atau melewati jalan liyan.
tapi jalan liyan itu belum kita temukan.

lantas kami bergantung pada kalian:
“infone, maszeh?!”

(Jembatan Jurug, 2022)

Menyusuri Rute di Telapak Tanganmu

kita gegas pergi.

rute seperti garis telapak tangan
yang bercabang dan samar.
sebab hanya mampu ditafsir.

langkah kaki, seperti anak-anak yang riang
pergi ke sekolah, pada mulanya.
jalan yang dilalui seolah tanpa celah.
pada akhirnya, kaki itu seperti tercengkeram
masa lalu dan muskil ditinggalkan.

kabut merambat turun.
udara dingin menjelma pelukan dan rasa benci.
sesekali menjelma bisikan-bisikan yang menggetarkan.
setelahnya hanya kegelisahan-kegelisahan.
sebab yang ditumbuhkan ialah harapan
dan putus asa.

di suatu pagi
cahaya matahari niscaya mukjizat
yang turun dari langit.
tanpa suara. hanya cahaya.
dari sana, harapan telah dicipta.

namun seringkali harapan
dan mukjizat tampak semu.
bagi kita yang terbelenggu jemu.

tapi kita telanjur pergi.
seperti tak tahu arah kembali.
hanya menyusuri garis tangan untuk pulang.
diekori ingatan. diiringi kenangan.

(Karanganyar, 2022)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Eko Setyawan
Eko Setyawan Sesekali menulis puisi, sesekali menulis cerpen, seringkali kehilangan diri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email