“Aku takut jadi orang kaya, Mas.” Warsih menyandarkan kepala pada lengan kanannya, memandangi sang suami yang sedang mengobrak-abrik laci di sisi ranjang.
“Mana ada orang takut kaya?” Marsudi memasukkan kupon-kupon undian ke dalam saku celana bututnya. Disatukannya lembaran demi lembaran kupon dengan sebuah karet gelang agar tidak tercecer. Dia bisa rugi kalau sampai hilang selembar.
Sudah beberapa pekan Marsudi diajak seorang kawan untuk memasang taruhan dengan kupon-kupon berharga murah. Beberapa orang konon sudah menerima uang hingga jutaan hanya dengan menghemat uang rokok sebulan. Ini sangat menggiurkan.
Pak Untung, si juragan kupon, menggunakan kaleng kerupuk untuk mengundi kupon. Biaya operasional kecil, maka untungnya lebih besar. Pak Untung menjual kupon-kupon seharga sebungkus rokok. Namun, syaratnya, orang-orang harus membeli segepok kupon dengan iming-iming kemungkinan menang lebih besar.
Benar saja, Marsudi menjadi salah satu yang rela menahan nafsu mengisap tembakau, yang penting bisa cepat kaya. Siapa pula yang bisa kaya dengan cuma-cuma?
Sementara bagi Warsih, perbuatan suaminya itu tidak ada salahnya juga, setidaknya suaminya mengurangi konsumsi rokok. Lebih sehat dan lebih baik dipakai untuk berjudi. Bukannya Warsih tidak tahu kalau berjudi itu haram, tetapi perut terkadang tidak bisa diajak kompromi. Tidak hanya takut kaya, Warsih juga takut mati kelaparan. Kontradiksi ketakutan yang hanya dipahami oleh Warsih dan kemiskinannya.
“Yang penting bisa punya tabungan, Mas. Enggak usah kaya seperti Pak Santun dan Bu Baik. Secukupnya saja.”
Marsudi ogah-ogahan menyimak. Dia sedang menghitung hari baik, kira-kira kalau disetorkan hari ini, seperti apa keberuntungannya.
“Setor saja dulu lima lembar, kalau lagi sial, ya tidak sial-sial amat.” Warsih kini berganti posisi, telentang menatap langit-langit kamar kontrakannya. Sebentar lagi musim hujan. Kalau suaminya beruntung, uang hasil kupon undian bisa untuk memperbaiki atap seng yang bocor.
Marsudi sebenarnya masih ragu dengan petunjuk buku primbon, tetapi lebih baik dia keluar daripada mendengarkan omongan istrinya yang belum apa-apa sudah menjatuhkan semangat.
Kalau dipikir-pikir, bila mengikuti saran istrinya, setor lima lembar, lalu akhirnya kalah, Marsudi memang hanya akan sedikit menyesal. Namun, jika setoran lima lembar kupon membuatnya menang, perhitungannya hanya lima kali jumlah isi kaleng kerupuk Pak Untung. Sekonyong-konyong di benak Marsudi berkelebat bayangan tiga puluh dikali nilai kupon dalam kaleng.
Tiga puluh adalah jumlah kupon di sakunya. Marsudi pun mengalikan, menambahkan, mengurangkan, lalu membagi. Ilmu matematika yang didapatnya dari tiga tahun bersekolah dasar mungkin sudah cukup untuk memperkirakan keberuntungannya itu.
Kalau dia tidak mengikuti saran istrinya, bukan tidak mungkin dia mendapat uang tiga puluh kali nilai kupon dalam kaleng. Jangankan memperbaiki atap bocor, Marsudi mungkin bisa sekalian mengganti kontrakan. Pindah ke rumah yang lebih layak dan tidak berbau kotoran.
***
Pagi itu Warsih harus berjalan cepat menuju rumah Pak Santun, tempatnya bekerja. Cucian Bu Baik sudah menumpuk akibat malas mencuci selama berlibur di luar negeri. Andai saja suaminya menang undian, Warsih ingin sekali membeli sepeda motor agar tidak perlu jalan kaki setiap berangkat bekerja.
“Sih, kalau cucian piring dan pakaiannya selesai, kamu temani anak-anak dulu. Soalnya semua suster mau istirahat. Masih jet lag,” kata Bu Baik sambil mengeluarkan beberapa barang dari dalam koper.
Warsih menebak-nebak, atasannya itu pasti akan berbagi oleh-oleh. Tidak apalah jika hari itu cucian lebih banyak, asal ada oleh-oleh dari Eropa. Kalau ada pajangan dari luar negeri, tetangga mungkin menghargainya juga. Bisalah untuk pamer sedikit.
Lamunannya buyar saat suara Bu Baik terdengar dari balik punggung kurus Warsih yang sedang mencuci piring.
“Sih, jangan santai-santai, ini bantu masukin cokelat-cokelatnya ke kulkas. Nanti oleh-oleh yang dari Korea dikeluarin saja. Sudah dua bulanan, kulkasnya juga penuh.”
Belum selesai satu pekerjaan, Warsih sudah dibilang bersantai. Padahal dia harus menyapu, mengepel, menyikat toilet, mencuci piring, mencuci pakaian, membersihkan kulkas, merapikan oleh-oleh, kemudian ditambah menggantikan tugas suster menjaga anak-anak majikan.
Tidak hanya itu, alih-alih mendapatkan oleh-oleh dari Eropa, Warsih hanya disuruh merapikan oleh-oleh yang akan dibagikan kepada relasi-relasi kerja Bu Baik. Sisa oleh-oleh makanan yang nyaris membusuk di kulkaslah yang menjadi bagiannya. Andai Bu Baik memberikan oleh-oleh itu dua bulan yang lalu, Warsih pasti bisa lebih menikmati. Apalagi jika menyantap makanan luar negeri bersama suaminya.
Ah, kalau dipikir-pikir, menang undian juga bisa beli makanan enak. Tidak perlu lagi Warsih menelan ludah melihat makanan-makanan enak menumpuk sembarangan di atas meja Bu Baik. Cukup berdoa kaleng kerupuk Pak Untung memberi mereka uang secukupnya. Jangan terlalu kaya seperti Bu Baik.
Begitulah karakter Bu Baik. Dia rajin berbagi dengan sesama, sesama orang kaya, sesama pengusaha sukses. Kalaupun ada jatah orang miskin seperti Warsih, maka bisa dipastikan barang-barang itu sudah lebih pantas menjadi sampah.
Lain lagi ceritanya dengan Pak Santun, suami Bu Baik. Dia kerap memaki-maki para pekerja. Keberatan nama, begitu kira-kira pemikiran Warsih. Sopir Pak Santun, Yatmo, salah satu korban yang paling sering kena makian. Pria bermata sayu karena sering begadang itu pernah harus bolak-balik Serpong-Bogor hanya karena Pak Santun sedang flu berat dan mau makan soto bogor.
Sialnya, Yatmo membeli soto bogor di Baranangsiang, sementara Pak Santun ngotot harus makan soto bogor yang dijual di Suryakencana. Alasannya pun cukup penting, menurut Pak Santun, soto bogor di Suryakencana bisa ditambahkan risoles kampung yang besar dan enak. Sementara yang dibeli Yatmo tidak seperti itu. Habislah si Yatmo kena maki.
Warsih iba melihat Yatmo. Andai soto bogor Baranangsiang diberikan saja kepada Yatmo, setidaknya Yatmo bisa mengisi perut yang kejang karena dimaki-maki. Ujung-ujungnya, semua soto masuk ke kulkas lagi.
“Sudah tidak mood,” kata Pak Santun.
Yatmo hanya melengos di hadapan Warsih dan tukang kebun. Tentu saja dia tidak mungkin memasang muka jeleknya di depan hidung Pak Santun dan Bu Baik. Bisa jadi campuran soto dia.
“Yatmo, nanti kalau Mas Marsudi punya uang banyak, kalian aku traktir makan soto sampai begah. Sabar saja, ini cobaan orang miskin. Padahal seharusnya mereka itu baik sama kita. Yang mengurus mereka, kalau bukan kita, siapa?”
“Sih, kalau berharap dari orang kaya itu jangan muluk-muluk. Harus ada timbal baliknya. Saya ngasih, ya kamu ngasih,” jawab Yatmo ketus.
Timbal balik? Warsih terpekur. Bukankah waktu, tenaga, dan keikhlasan sudah cukup untuk dibalas dengan kebaikan? Warsih kembali teringat kupon undian Marsudi. Kalau jadi kaya, dia takut membeli kesewenang-wenangan dengan uangnya. Apalagi seperti Pak Santun dan Bu Baik yang menukar kesewenang-wenangan itu dengan jumlah rupiah yang kecil.
Ya, gaji Warsih dan kawan-kawan tidaklah besar. Kalau ada keperluan mendesak, Bu Baik sebenarnya rela memberi pinjaman. Hanya saja, peminjam harus sabar saat Bu Baik menceritakan kebaikannya kepada pekerja-pekerja lain atau tetangga atau kawan bisnisnya. Dihitung-hitung, pinjaman itu dibayar dengan potongan gaji dan rasa malu. Mau bagaimana lagi?
“Yat, apakah kita harus jadi kaya?” Warsih berbisik lirih. Pertanyaan itu mungkin tidak ditujukan untuk Yatmo, melainkan untuk dirinya sendiri.
Yatmo tertawa geli. “Sih, sadar, kalau mau kaya, usahanya bukan mulai besok pagi. Mulainya sejak lahir.”
Warsih mencebik. Malam itu dia pulang dengan sekantong makanan nyaris basi dan segenggam keinginan untuk memenangkan undian kupon.
***
Marsudi dan Warsih bersepakat. Tiga puluh lembar kupon undian disetorkan ke Pak Untung gara-gara Marsudi terus dihantui perkalian tiga puluh. Sementara Warsih terus dihantui wajah sewenang-wenang Pak Santun dan Bu Baik. Ingin sekali dia angkat kaki dari rumah orang kaya itu, tetapi modal hidup belum cukup. Jika ingin menukar kebebasannya dari kesewenang-wenangan mereka, Warsih harus menang undian banyak.
Lembar demi lembar peruntungan Warsih rupanya beruntung saat diadu. Kaleng kerupuk Pak Untung berpihak kepadanya. Warsih kecanduan, walau dia masih mengatakan tidak ingin kaya.
Marsudi lalu mengajak istrinya pindah ke rumah kontrakan dengan plafon yang kokoh. Warsih pun meninggalkan rumah Pak Santun dan Bu Baik meski mereka memohon agar Warsih tetap bekerja. Sebuah motor terparkir di halaman kontrakan, meski bekas, tetapi mulus dan tidak rewel.
Semua keinginan Warsih sudah tercapai, tetapi hasil perkalian tiga puluh lembar kupon itu sebentar lagi habis. Masalahnya, Warsih tidak lagi bekerja. Marsudi pun sudah lama berhenti merokok. Kalau mau membeli kupon undian lagi, berarti Marsudi puasa tembakau lagi sekitar sebulan mulai dari hari itu. Warsih pikir-pikir, apakah tidak apa-apa membiarkan suaminya puasa terus-terusan? Namun, Warsih lupa menyiapkan modal untuk usaha.
“Habis? Lah, biaya untuk modal menjual es lilin dan kripik singkong juga kamu habiskan?” Marsudi tampak geram.
Warsih tidak dapat menjawab pertanyaan suaminya. Dia ingat-ingat lagi, sisa uangnya dipakai untuk mentraktir Yatmo dan si tukang kebun untuk menikmati makanan lezat.
Marsudi melongo lalu jatuh terkulai lemas di ranjang barunya. “Habis? Bukannya kamu cuma mau secukupnya? Tukar tiga puluh lembar masih enggak cukup?”
Warsih mematung. Secukupnya ternyata masih belum cukup.
***
Editor: Ghufroni An’ars