Siapakah yang muncul pada sepertiga malam mengetuk pintu rumah nenek Darti? Malaikatkah? Orang sucikah? Atau sekadar gembel iseng yang senang mengganggu kekhusyukan ibadah perempuan tua itu?
Ya, mula-mula memang terdengar seperti sebuah ketukan. Bunyi tok-tok-tok pelan yang berubah menjadi cepat seperti memburu.
Seperti biasa nenek Darti mengabaikannya sebentar, mendekatkan telinganya ke dinding papan untuk memastikan, lalu bangkit berdiri.
Bertumpu pada tongkat kayu yang telah menuntunnya selama lebih dua belas tahun kebutaan, nenek Darti melangkah hati-hati ke pintu, menarik gerendelnya. Pintu kayu terbuka, angin malam yang dingin membawa serta masuk keheningan kota. Di kakinya sejumlah bungkusan berisi beras, ikan kaleng, dan biskuit tergeletak seperti biasa.
***
Nenek Darti tak pernah ingat kapan dan bagaimana semua hal ajaib itu bermula. Yang dia tahu semuanya diawali dengan ketukan. Lalu seseorang yang tak dikenal akan menaruh makanan di depan pintunya. Tapi siapakah orang tersebut? Jika dia seorang dermawan mengapa harus melakukannya di saat seperti itu? ketika semua orang sedang terlelap?
Perempuan tua itu semula tinggal bersama suaminya yang bekerja sebagai pengayuh becak. Beberapa tahun lalu sang suami terlindas kereta ketika secara ceroboh menerobos perlintasan rel kereta api. Semenjak suaminya meninggal nenek Darti hidup nyaris hanya mengandalkan kebaikan hati orang-orang. Tetangga yang kasihan akan muncul membawa bubur atau sisa-sisa sarapan dan makan malam mereka agar dia tidak mati kelaparan. Nenek Darti bersyukur, meski tak setiap hari dia bisa mendapatkan kebaikan hati tetangganya itu. Mereka semua hidup di perkampungan pinggiran kota dan tak ada seorang pun yang memiliki kehidupan lebih baik dibanding yang lainnya.
Suatu malam nenek Darti terbangun karena kelaparan yang sangat menyiksa. Dia belum makan sejak pagi dan terlalu malu untuk membangunkan tetangganya. Dia hanya bisa berbaring lemas di atas ranjang. Sampailah dia kepada pemikiran bahwa beginilah kehidupannya akan berakhir. Malaikat maut akan menemuinya dengan perut kosong. Ya Tuhan, betapa memalukannya mati kelaparan. Aib ganda bagi si miskin.
Tiba-tiba, dia teringat satu sore ketika sekelompok ustad muncul di perkampungan tersebut. Mereka berpakaian putih-putih panjang dengan ransel besar. Semuanya laki-laki dan menumbuhkan janggut panjang. Mereka menginap di masjid dan mendatangi gubuk-gubuk warga secara bergiliran. Mereka tak membawa apa-apa, tidak seliter beras atau uang sepeser pun. Orang-orang ini hanya berbicara dan berbicara, mengajak setiap orang kepada hal-hal baik. Satu-satunya hal yang selalu diingat nenek Darti tentang orang-orang ini adalah nada bersahabat dan ceria dalam suara mereka. Mereka memeluk si nenek dan menangis, meski seperti terdengar menangisi diri sendiri, dan memberi nasehat tentang betapa pentingnya untuk tidak berlemah hati pada pertolongan Tuhan.
“Jika Anda dalam masalah pelik, bangunlah, dan laksanakan sembahyang Tahajjud,” begitu katanya, “Insyaallah, Tuhan akan mengutus malaikatnya untuk turun di sepertiga malam dan membantu menyelesaikan masalah seorang buta sebatang kara seperti Anda.”
Dulu, nenek Darti betul-betul tak paham apa itu sembahyang. Dia tak hafal satu pun bacaan atau doa. Tapi kebutaan membawanya lebih dekat kepada Tuhan. Sembahyang membuat perasaannya tenang dan rindu pada suaminya berkurang.
Nah, pada malam ketika dia mulai melaksanakan tahajjud itulah, seseorang mengetuk pintu rumahnya dan menaruh makanan di sana.
Segera dia berpikir bahwa apa yang dikatakan ustad itu memang benar. Malaikat sungguh turun ke bumi dan mengendap-endap muncul di pintu rumahnya untuk menaruh makanan. Malaikat muncul dua kali seminggu, membawa beras dan susu, biskuit juga sabun. Kadang juga sekali seminggu atau lebih lama dari itu. Malaikat itu seperti tahu kapan persediaan makanan si nenek habis. Timbullah kepercayaan dalam dada si nenek.
Namun, sudah beberapa hari ini, nyaris sebulan lebih pertolongan itu tidak muncul. Persediaan menyisakan biskuit dan sebotol air mineral. Diam-diam Bu Darti mengadukan masalahnya kepada Tuhan. Apakah Tuhan telah lelah dengan doanya, atau ada yang salah dengan caranya berdoa? Nenek Darti berdoa dan berdoa tapi pertolongan tak kunjung datang. Maka pagi itu, dia kembali duduk di depan depan gubuknya menunggu belas kasihan orang-orang. Diliputi rasa ragu yang berubah menjadi cemas dia berpikir, Mungkinkah malaikat penolong itu telah meninggalkanku?
***
Ah, Andai nenek Darti tahu bahwa malaikat penolongnya sama sekali tidak meninggalkannya. Malaikat itu tidak jauh-jauh darinya. Dia justru berada di sana, mengambil bentuk dalam diri seorang pemuda berusia delapan belas tahun, berdiri di balik sebuah tiang telepon memperhatikannya bersedih. Tapi si malaikat tak berani mendekat, karena jangankan memberi sesuatu untuk dimakan, akhir-akhir ini dia sendiri juga sedang kesulitan mengurus dirinya sendiri.
Dan yang lebih penting, si malaikat sangat khawatir dengan keselamatan dirinya.
***
Sudah sebulan ini warga kota dibuat cemas dengan operasi gabungan polisi dan Satpol PP yang menyisir pemukiman pinggir kota. Banyak anak-anak muda maupun pekerja kuli yang pulang malam diangkut mobil patroli begitu saja. Ada yang langsung dijebloskan ke penjara dan sebagian kembali esok paginya dengan luka-luka bekas penyiksaan. Penyebabnya karena ribuan laporan masuk tentang perampokan malam hari. Akhir-akhir ini hidup memang serba sulit; pandemi, PHK massal, harga kebutuhan pokok yang meroket, semuanya. Dan setiap kali angka kriminalitas di kota naik, maka telunjuk polisi tak pernah jauh-jauh dari perkampungan tersebut, tempat para gembel dan kere menjalani hidup tak layak mereka dari hari ke hari.
Oke, jika kalian masih belum mengerti, inilah sebenarnya yang terjadi. Pemuda inilah yang menaruh bingkisan makanan di depan rumah nenek Darti. Seperti sebagian kriminal di wilayah itu, mereka mendatangi rumah, toko-toko, dan minimarket di pusat kota untuk mencuri segala macam. Tapi tak seperti orang lain yang mencuri untuk kesenangan dirinya sendiri, pemuda ini punya pembelaan sederhana atas tindakannya.
Jadi, katakanlah, pemuda ini tak pernah menganggap mencuri sebagai sesuatu yang salah. Mengapa demikian? Semata karena dia selalu membagi dua hasil curiannya dengan nenek Darti. Tak pernah sekalipun pemuda ini menikmati hasilnya sendirian. Jika yang lain merampok tanpa kenal bulu; karyawan kere yang berjalan pulang ke kostnya di malam hari, warung rokok pinggir jalan, seorang lelaki yang baru saja menurunkan rolling door kafenya, atau membegal sepasang kekasih miskin yang sedang berduaan di taman gelap, pemuda kita ini tak pernah mencuri lebih dari sekadar kebutuhan sehari-hari. Itu pun dilakukannya di gudang-gudang besar, kompleks perumahan elit, yang dalam istilahnya sendiri, milik orang kaya.
Bukan begitu. Pemuda ini sama sekali tak membenci orang kaya. Dia juga tak pernah mendengar kisah Robin Hood. Dia sadar mencuri itu buruk tapi di sisi lain dia juga percaya bahwa membantu nenek tua yang kelaparan adalah sebuah kebaikan. Dia berpikir mencuri untuk kebaikan tak bisa sepenuhnya disebut kejahatan, karena ada kebaikan di dalamnya. Memang tak bakal banyak yang memahami logika kusut macam ini. Tapi bukankah sering kali kerumitan justru lahir dari hal-hal yang terlihat sederhana? Seperti rasa aman yang diam-diam diyakininya setelah fakta bahwa sepanjang karirnya sebagai maling tak pernah sekalipun dia ditangkap polisi. Pemuda itu yakin, keberuntungan selalu terhubung dengan ridho Tuhan.
Jadi ketika pada malam selanjutnya, si pemuda keluar untuk beraksi sekali lagi, dia tentu paham betul segala konsekuensinya. Penjagaan di pintu masuk perumahan diperketat, satpam tak lagi bermalas-malasan di kursinya, ronda-ronda digalakkan, CCTV pertokoan ditambah. Meski demikian, tetap saja dia bisa beraksi dengan mudah. Pemuda itu berhasil meloloskan diri setelah membawa kabur satu setel perhiasan emas dengan merusak pintu belakang sebuah toko.
Tepat ketika dia telah yakin Tuhan sekali lagi berada di pihaknya, tiba-tiba seseorang dari lantai dua seberang jalan memergokinya. Cahaya senter mengarah lurus ke wajahnya dan sekonyong-konyong terdengar teriakan, ‘maling’ yang segera disusul oleh teriakan lain. Pemuda itu segera lari tunggang langgang.
Di belakangnya, warga berkumpul mengejar, tiang listrik dipukul-pukul dan sirene mobil patroli terdengar di kejauhan.
Tak ada jalan untuk lari. Orang-orang yang kesal telah bersiaga di tiap persimpangan. Mereka membawa kayu dan balok dengan marah. Inilah waktu yang ditunggu-tunggu oleh mereka. Pencuri yang meresahkan, tamatlah riwayatmu. Pemuda yang terjebak oleh lautan manusia dari berbagai penjuru itu hanya bisa berdiri lemas ketika melihat sekelompok lelaki berjalan ke arahnya memancarkan mata penuh amarah.
“Akhirnya ketemu juga kau, bajingan,” lelaki itu mengangkat kerah baju si pemuda. Orang-orang tak sabaran di belakangnya sudah bersiap untuk ambil bagian dalam hal paling menyenangkan ini.
“Sumpah, demi Tuhan, saya tidak melakukan apa-apa.” Jelas dia tak pandai berbohong.
“Dasar pencuri,” teriak yang lain memukul tengkuknya, “masih saja kau mengelak, heh. Sumpah pakai nama Tuhan pula. Kami akan cincang kau…”
“Tolong, Pak,” pemuda itu memelas, “saya tidak tahu…”
“Apa yang tidak kau tahu? Jelas-jelas orang melihatmu membobol toko emas itu. Hei, periksa tasnya.”
Seseorang merampas ransel pemuda itu. Jadi beginilah akhirnya. Pemuda kita telah pasrah atas apa yang akan menimpanya. Dia rasa nyawanya sudah di ubun-ubun. Tiba-tiba, pada saat itu juga, muncul sejenis rasa penasaran yang aneh dalam dadanya. Benarkah tindakannya selama ini? Apakah Tuhan akan benar-benar membiarkannya mati mengenaskan di tangan orang-orang marah ini? Apakah kebaikannya memberi makan nenek Darti adalah kesalahan? Juga rumus sederhananya tentang kejahatan yang dikurangi dengan kebaikan menjadi separuh jahat, atau separuh baik. Tidakkah Tuhan melihat bahwa semuanya semata dilakukan untuk menyambung hidup? Semacam tak adakah keringanan bagi orang-orang miskin seperti mereka.
Ah tiba-tiba dia merasa malu kepada semuanya. Malu kepada diri, nenek Darti, dan juga Tuhan.
“Hei,” bentakan itu membuat si pemuda terbangun dari lamunannya.
“Apa ini?” Seseorang melempar ransel itu ke tanah. Isinya berhamburan keluar.
“Eh, itu….” Si pemuda memandangi orang-orang yang kini menampakkan perubahan pada air wajahnya. Buru-buru ia menjawab, “Itu makanan untuk nenekku. Saya baru saja membelinya…”
Semua orang terkejut. Tak ada yang bisa mengerti apa yang terjadi, bahkan pemuda kita. Jelas-jelas dia baru saja memasukkan dua setel perhiasan gelang dan cincin emas juga uang beberapa ratus ribu rupiah. Lalu, mengapa yang ada di dalam tas itu sekarang justru sekantong sembako. Tidak bisa dipercaya.
Semua orang berpandangan satu sama lain. Pemuda itu melepaskan cengkeraman di lehernya. Dia berjongkok dan memasukkan kembali sabun, susu, dan ikan kaleng ke dalam tas. Dia bangkit dan berjalan meninggalkan orang-orang yang berbisik-bisik kebingungan di belakangnya.
***
Di depan pintu gubuk nenek Darti, pemuda itu meletakkan kantongan berisi makanan. Dia mengetuk pintu seperti biasa, tiga kali pelan dan sedikit cepat setelahnya.
Sepanjang jalan pulang dia berpikir keras untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Pemuda itu berjalan gontai tanpa arah. Dia bersyukur karena orang-orang itu tak sampai membunuhnya, tapi bagaimana pun juga peristiwa yang menimpanya barusan membuatnya ketakutan. Hatinya lemah, kepalanya tidak bisa menghubungkan segala sesuatunya. Rasa-rasanya, sepasang mata di suatu tempat yang jauh tengah mengintai, seperti tersenyum memperhatikannya. Satu persoalan yang akan selamanya menghantui si pemuda bahkan kita semua adalah siapakah yang telah menukar gelang emas dan uang tunai itu dengan makanan dan susu?
*****
Editor: Moch Aldy MA