CIKINI
Gereja tua bersenandung hujan
Memisah apa-apa yang tidak kita ketahui
Juga perasaan yang tak semuanya bisa disebutkan
Terkadang rasa asing masih berhimpitan
Meski ini hari bukan pertemuan pertama,
bukan pertemuan kedua
Senyum sesekali pecah saat lelucon tentang angka tahun diucapkan
Kemudian dari jalanan yang basah,
percakapan Perang Eropa terurai perlahan, enyahlah keheningan
‘Ini buku Revolusi’
‘Bukan, lebih tepat disebut Agresi’
Diam-diam ada hati yang berderap pada corak kedai
Haruskah kembali ke Laut Tengah?
Bukankah Sisilia adalah proses menuju Salerno?
Tapi, dalam mendung warna logam
mulai kupahatkan garis matamu di langit malam Cikini
Tuhan kemudian bertanya,
Siapa yang lebih bahagia:
Aku, atau seorang perempuan Nasrani?
(2024)
–
YANG BELUM SELESAI
-buat P
Sore itu, perselingkuhan tidak pernah kita sepakati
Tapi matamu bimbang
Apakah kita pernah berpisah sebelumnya?
Kemudian ratap tanda salib, patung Isa
mengendap di langit
Angin, warna magenta berubah jadi asma yang begitu
menekan-nekan dada
Pada senyummu
juga rasa lindap yang selalu kau sembunyikan
Adegan persetubuhan terlepas,
terbang seperti kapuk di musim panas
yang dipaksa melupakan kelopak dan masa lalunya
Lalu salahkah kita di sini?
Kaupun memandangi diam di sebuah liang sunyi
Tanpa cahaya
Tanpa kata
Hanya ada lagu Perancis:
C’est lui pour moi, moi pour lui dans la vie
(2019)
–
TUHAN (2)
Terbukalah cahaya di kejauhan itu
Jam mulai meleleh
Lepaslah rahasia
Manusia di padang panjang ini telah menjadi gema
yang suaranya terlontar sebelum mencapai batas
Satu-persatu mengerang, memandangi hangus salju
Dingin, dingin
Pada tegalan debu-Mu
Mereka yang kalah jubahnya penuh darah
Dosanya terbang dalam sebentang gulma dan seluas samun…
Sebelas Roperite pun menyambut girang
Juga burung-burung malam yang terus melompat
di antara sajak Julio Vicuna Cufuentes
Seratus tahun kemudian lanskap ini masih sama:
Tuhan, aku selalu ingin tak ada
(2021)
–
TUHAN
Rembulan menempa malam
Kau berdiri
dengan tangan-Mu yang memeluk air mata
di mana di sini tak ada perigi
Sebuah montase
dan gambar jurang penuh cahaya
Kau tunjukkan
Juga burung-burung bercadar yang bercinta
di atas gurun
Scylla,
Centaur,
Youwarkeee dan pernikahannya dengan pelaut yang kehilangan sekoci
Matamu mendekat
dengan bayangan kuda betina di tengah hutan pinus,
Dari atas pelananya Kau berbisik pelan: Tinggalah…
(2014)
–
MALAM NILA
Kita telah memilih cara bahagia
pada belantara malam yang datang tak begitu panjang
Siluet rembulan tua,
Bintang-bintang rabun,
saling beradu dengan ciuman yang terburu-buru
Di bawah lembah tanpa alamat ini
Kau adalah anak kecil dalam sajak Tagore sayangku…
dan apa-apa yang tak kita setujui lekas luntur
seperti Satish dan Sukumari
yang selesai berdebat tentang pakaian Inggris
Oleh matamu
Kata-kata sedih itu hanya sebuah fonem samar
dari sisa getir yang disayat-sayat menjadi silase
Lampu pun pulang ke tenggara
Kukalamkan namamu, doa kita
Abadi…
(2014)
–
PERSETUBUHAN PERTAMA
Maka lahirlah kutuk berahi itu
Ketika waktu memintas ke arah malam yang enggan berkerak
dan pagi belum menjelma jadi tropika
Aku menyentuh bibirmu yang demam
Lalu akhirnya
Sebuah prosesi tubuh perempuan
setengah telanjang
Melulur ke arah jerit lirih, Maithuna!
Nagarjuna dan Dharmakirti telah menjauh
ke arah lampu kota di sekitar ranjang kita
Adakah garis lintang yang tersisih
dalam kegelapan ini?
Kau masih meringkik bersama
Harum lehermu yang menguap menuju warna kaca
Kemudian
Di luar dingin kian berayun-ayun
Mengitung selembar dosa demi dosa
Maithuna! Satu dalam dua
Dua dalam satu, tiada…
(2011)
*****
Editor: Moch Aldy MA